Tapi dibalik kesuksesan terdapat hal buruk yaitu Aceh sering dilanda konflik di antara penguasa kesultanan itu sendiri. Sekitar tahun 1571M hingga 1607, Kesultanan Aceh diperintah oleh delapan orang sultan dan dua di antaranya bukan keturunan Aceh, melainkan keturunan raja Perak di semenanjung Malaya.Â
Tahukah kalian sultan yang memerintah 15 tahun lamanya adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukamil (1589-1604M). Baik kerajaan Aceh maupun di hampir semua kerajaan besar Nusantara, menunjukkan Bahwa keberhasilan penyelenggaran kekuasaan militer sangat bergantung pada seorang penguasa kerajaan yang kuat dan dapat mempertahanjan serta membangun kesepakatan di kalangan elite kerajaan, jadi mereka tentu harus berhati-hati.
Siapakah Sultan Iskandar Mada? Adakah yang tahu? mari kita bahas sama-sama.
Pada masa pemerintah Sultan Iskandar Mada, (bertakhta 1607-1636) Aceh mencapai puncak kejayaannya dengan wilayah kekuasaan meluas dari Deli sampai ke Semenanjung Malaya. Keberhasilannya dalam pemerintahan dilandasi oleh kekuatan militer, terutama angkatan laut.Â
Pada masa pemerintahannya, hidup seorang laksamana perempuan yang bernama Kemalahayati. Pada masa itu, Kerajaan Aceh telah memiliki armada kapal-kapal besar yang dapat menangkat hingga 600-700 prajurit.Â
Di darat, Aceh telah memiliki pasukan kavaleri dan di anatarnya telah menggunakan kuda-kuda yang didatangkan dari Persia, satuan gajah, artileri, dan pasukan milisi infanteri. Dengan seluruh kekuatannya mereka memulai gerakan ekspansi dengan mengalahkan Deli (1612M), Aru (1613 M), dan pada tahun yang sama berhasil mengalahkan armada Portugis di Bintan.Â
Pada 1617 M, Aceh pun berhasil merebut Pahang, mengalahkan Kedah pada tahun 1620, dan berhasil menguasai NIas pada 1624-1625 M. Akan tetapi, gerakan ekspansi dihentikan oleh Portugis pada tahun 1529M.
Pada masa pemerintahan nya, disusun sebuah undang-undang tentang tata pemerintahan yang diberi nama adat Makuta Alam yang ditulis dengan huruf Arab dan berbentuk syair Melayu. Iskandar Muda juga sangat memperhatikan kestabilan dan ketahanan kerajaannya.Â
Oleh karena itu ia membentuk militer yang kuat sehingga secara militer Aceh dianggap kesultanan terkuat pada masa itu. Iskandar muda juga terkenal piawai dalam urusan diplomasi, tidak saja dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, tetapi juga dengan negara-negara di Eropa, seperti Inggris, Belanda, Turki Usmani, dan Prancis.
Meskipun Aceh berhasil dibawa ke zaman keemasan, tetapi kerajaan ini pun tidak lepas dari landasan yang rapuh, karena hal-hal berikut :
Yang pertama masyarakat Aceh bukan merupakan rakyat agraris, sedangkan hasil pertanian sangat diperlukan bagi keberhasilan perang dan perdagangan. Yang kedua Adalah wilayah pedalaman tidak mampu mendukung kebutuhan dasar (pangan) masyarakat kota.Â
Lalu terakhir persatuan penduduk Aceh sangat longgar, Bahasa Melayu sebagai Bahasa penghantar hanya dikenal oleh masyarakat perkotaan, sedangkan masyarakat Aceh yang terdiri dari berbagai suku masih menggunakan bahasa daerah masing-masing. Kemudian perkembangan kota berlangsung cepat dibandingkan kemampuan masyarakat pedalaman dalam menunjang kebutuhan masyrakat kota, juga peran kelompok-kelompok elite kerajaan tidak selalu mudah dikendalikan.
Iskandar Muda digantikan Iskandar Tsani (1636-1641). Pada masa pemerintahannya, hidup sastrawan besar bernama Nurrudin ar-Raniri yang dikenal dengan karyanya berjudul Bustanussalatin yang berarti taman raja-raja. Isinya tentang adat istiadat Aceh dan ajarang islam.