Pernahkah terlintas di pikiran kalian, bahwa kita bangsa Indonesia sangat beruntung hidup dalam keberagaman?
Kita patut bersyukur atas identitas bangsa kita. Keragaman budaya Indonesia menjadi suatu ciri khas dari Tanah Air tercinta. Diversitas di Indonesia bukan menjadi alasan pemecah bangsa, namun seharusnya menjadi harta berharga bagi bangsa untuk dijaga.Â
Sebagai makhluk sosial, mau tidak mau, kita akan menjalin interaksi dengan orang lain ketika berada di suatu tempat. Tak bisa dipungkiri bahwa ada saatnya ketika kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia, bertemu dengan saudara kita yang berasal dari daerah lain. Mengingat bahwa Indonesia terbentang luas dari Sabang sampai Merauke, ada beragam suku, budaya, ras, dan agama di Indonesia.
Sekilas informasi mengenai penulis, saya sudah lama tinggal di Papua, namun saya bukan orang asli Papua. Orang tua saya berasal dari Indonesia Timur. Namun, saya dilahirkan di Jogja, kemudian keluarga saya pindah ke Papua karena pekerjaan mereka.Â
Gambaran tersebut merupakan suatu pemahaman bahwa memang menjadi bagian dari Indonesia, kita tinggal dalam keberagaman. Layaknya semboyan negara kita yaitu 'Bhineka Tunggal Ika', yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan tersebut sangat menggambarkan kehidupan bangsa Indonesia, meskipun latar belakang kebudayaan kita berbeda namun tetap satu tumpah darah Indonesia.
Dalam menjalin interaksi dengan orang-orang yang berasal dari daerah berbeda, tentu pada saat tersebut kita sedang membangun komunikasi antar budaya dengan orang lain. Komunikasi antar budaya tidak hanya dijalin atau dicerna sebagai suatu mata kuliah dalam bidang studi ilmu sosial dan humaniora saja. Tanpa disadari sejak berada di jenjang pendidikan sekolah dasar, kita telah diajarkan konsep dasar dari komunikasi antar budaya.Â
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, meskipun secara spesifik fokus kajiannya bukan mengenai komunikasi, namun mata pelajaran ini mengajarkan pentingnya toleransi. Toleransi bukan hanya mengenai memaklumi perbedaan, namun menghargai dan menjaga keberagaman budaya di Indonesia. Menjalani kehidupan di Indonesia dengan beragam suku dan budaya, membuat komunikasi antar budaya menjadi agenda penting untuk dipahami oleh semua masyarakat.Â
Menurut Mulyana,komunikasi antar budaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya. Â (Heryadi & Silvana, 2013, h. 96)Â
Dalam menjalin interaksi dengan orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda, tentu saja ada beberapa perbedaan yang dapat ditemukan dalam proses komunikasi. Perbedaan tersebut juga dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan masing-masing individu. Mempelajari komunikasi antar budaya dapat membantu individu dalam memahami individu lainnya.
Menurut Hall (dalam Baldwin, dkk., 2014, h. 5) salah satu manfaat dari mempelajari komunikasi antar budaya adalah terbebas dari ketidakpedulian. Kebebasan dari ketidakpedulian yang dimaksud adalah dengan mengetahui kebudayaan orang lain, kita dapat menjadi individu yang bertanggung jawab, yang terbebas dari ketidakpedulian dan atribut negatif, sehingga dapat membangun hubungan yang lebih baik (h.6).Â
Tak perlu berbicara lebih jauh mengenai mempelajari komunikasi antar budaya dalam ranah internasional, alangkah baiknya kita perkecil pada cakupan nasional. Bahwasannya, komunikasi antar budaya dalam cakupan nasional sangat penting untuk dipahami bagi bangsa Indonesia.
Bagaimana menurut teman-teman? Apakah masyarakat Indonesia sudah memahami dan menjalin komunikasi antar budaya yang benar? Sayangnya, bagi saya pribadi jawabannya adalah belum. Masih banyak masyarakat Indonesia masih memiliki pengetahuan yang minim terhadap pentingnya komunikasi antar budaya untuk ditegakkan.Â
Nyatanya, pada tahun kemarin, kita digemparkan oleh berita mengenai perkataan rasisme terhadap suku Papua. Sebagai penduduk yang menetap lama di Papua, saya merasa kesal dan miris akan perlakuan masyarakat rasis terhadap saudara kita, yakni orang asli Papua. Perlakuan rasis sangat tidak mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia, yang notabene berpegang teguh kepada semboyan 'Bhineka Tunggal Ika'. Kita tidak bisa menutup mata terhadap perkara ini, bahwa sesungguhnya masih ada perlakuan rasis di Indonesia.
Sejauh ini, bagaimana pemahaman teman-teman mengenai tindakan rasisme? Kita mengetahui secara umum, bahwa rasisme merupakan suatu tindakan diskriminatif yang dilakukan kepada suatu suku tertentu, atau bahkan terhadap suku minoritas. Mengacu kepada kasus rasisme terhadap suku Papua pada tahun lalu, tindakan tersebut tergolong dalam tindakan yang tidak toleran, yakni etnophaulisme.Â
Etnophaulisme merupakan suatu tindakan penghinaan rasial (julukan yang diberikan kepada kelompok suku tertentu), atau bahkan diskriminasi terbuka, vandalisme, perlakuan yang tidak wajar secara fisik maupun seksual, atau perilaku berbahaya lainnya (Baldwin, dkk., 2014, h. 123).
Akibat dari lontaran kata-kata rasis tersebut membuat orang asli Papua mengajukan protes, hingga terjadi kericuhan di beberapa wilayah di Papua. Kilas balik pada bulan Agustus 2019, konflik kerusuhan di beberapa wilayah tentu meresahkan bagi para penduduk di wilayah tersebut, apalagi bagi mereka yang merupakan pendatang di wilayah Papua.Â
Berbagai aksi pemberontakan yang berakhir pada tindakan anarkis di sebagian besar wilayah Papua, tentu tidak hanya menciptakan keadaan yang meresahkan, namun fasilitas-fasilitas umum pun dirusak oleh oknum-oknum yang melakukan aksi demonstrasi anarkis.Â
Berbagai kabar hoaks di internet bermunculan untuk mengusik dan memancing amarah masyarakat Papua, hingga pada akhirnya pemerintah memutuskan untuk memblokir akses internet di daerah Papua sebagai tindakan preventif, demi memutus mata rantai penyebaran hoaks.Â
Tindakan pemerintah pada saat itu dapat dikatakan bukan menjadi penyelesaian masalah yang tepat. Tidak sedikit kritik pedas masyarakat yang dituai oleh pemerintah atas pemblokiran internet di Papua.
Hal menarik yang menjadi inti dari artikel ini bukanlah bagaimana rasisme ini terjadi, namun lebih kepada bagaimana masyarakat dan pemerintah menyelesaikan konflik setelah kericuhan yang berasaskan protes terhadap rasisme. Konflik kericuhan yang terjadi di Papua merupakan bentuk konflik berupa manifest conflict.Â
Menurut Pondy manifest conflict merupakan kondisi di mana konflik ditunjukkan melalui serangan fisik terbuka, ekspresi verbal, perilaku disfungsional organisasi seperti sabotasi, kerusuhan, perlakuan tidak adil dalam hirarki, dan masih banyak lagi. (dalam Baldwin,dkk., 2014, 281.)Â
Terkait dengan kericuhan yang terjadi karena protes terhadap rasisme, tentu memerlukan penyelesaian secara kepala dingin dengan masyarakat asli Papua. Pada saat ini, peran komunikasi antara budaya sangat dibutuhkan sebagai pemecah masalah.
Menurut Baldwin, dkk. (2014, h. 281-282) ada 5 jenis manajemen konflik, yakni menghindar, akomodasi, bersaing, kolaborasi, dan kompromi. Manajemen konflik yang paling tepat digunakan menjadi acuan untuk menyelesaikan masalah kericuhan di daerah Papua adalah dengan cara kolaborasi.Â
Kolaborasi merupakan suatu pendekatan yang menghasilkan win-win solutions (kedua belah pihak diuntungkan), pendekatan ini akan berjalan dengan baik apabila kedua belah pihak bersedia untuk bekerja sama dalam menyelesaikan konflik (Baldwin, dkk., 2014, h. 282).
Salah satu daerah di Papua yang mencerminkan adanya manajemen konflik menggunakan pendekatan kolaborasi adalah daerah Kota Sorong, Papua Barat. Dikutip dari BeritaSatu (Yud, 2019) pada bulan September 2019, Wali Kota Sorong mengundang aparat keamanan, seluruh kepala suku, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan dalam pertemuan deklarasi damai.Â
Pertemuan tersebut menandakan adanya partisipasi masyarakat dan pemerintah dalam menyelesaikan konflik. Seperti halnya dengan pendekatan kolaborasi, pada pertemuan pihak pemerintah mengajak masyarakat untuk bersama-sama mendamaikan diri dengan yang lain, dan mencari solusi untuk dapat menjaga perdamaian.Â
Langkah tersebut merupakan langkah yang tepat untuk diterapkan, bahwa pemerintah secara terbuka juga mengadakan forum diskusi untuk berlangsungnya demokrasi dan mencari solusi penyelesaian masalah.Â
Dengan demikian, melihat dari berita deklarasi damai di Kota Sorong, penyelesaian konflik diselesaikan dengan baik menggunakan pendekatan kolaborasi. Agaknya, segala konflik yang memang berpotensi mengancam NKRI harus diselesaikan dengan komunikasi terbuka, sehingga kedua belah pihak dapat mengutarakan pernyataan, dan kasus dapat terselesaikan tanpa ada yang dirugikan.
Nah itu tadi sekilas penjabaran mengenai konflik yang dapat terjadi dalam menjalin komunikasi antar budaya, beserta dengan salah satu bukti penyelesaiannya yang tepat. Masih banyak edukasi yang teman-teman dapat temukan untuk menambah wawasan dalam penyelesain konflik. Jangan pernah lupa bahwa kita, bangsa Indonesia, adalah masyarakat yang multikultur. Tetap jaga kesatuan dan persatuan kita!
Referensi:
Baldwin, J., dkk. (2014). Intercultural Communication for Everyday Life. UK: John Wiley & Sons Ltd.
Heryadi, H., Hana Silvana. (2013). Komunikasi Antarbudaya dalam Masyarakat Multikultur. Jurnal Kajian Komunikas, 1(1), 95-108.
Yud. (2019, 06 September). Pemerintah dan Masyarakat Sorong Deklarasi Damai. BeritaSatu. Diakses melalui https://www.beritasatu.com/nasional/573676/pemerintah-dan-masyarakat-sorong-deklarasi-damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H