Dalam penanggulangan kasus korupsi, kedua strategi baik secara penal maupun non penal, akan sangat mempengaruhi penindakan kasus. Dengan adanya strategi penal (hukum pidana) pelaku mendapat hukuman yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditindak secara tegas dan mengganti kerugian uang sesuai dengan hukum tertulis. Sementara, strategi non penal berupa hukum non pidana, secara langsung pelaku mendapatkan sanksi sosial atas perbuatannya. contoh strategi non penal adalah memunculkan kasus tindak korupsi melalui media massa, banyak terdapat ujaran kebencian, dan hal ini mempermalukan pelaku korupsi. Upaya penanggulangan kejahatan korupsi dapat dilakukan dengan strategi pertama (1) Jalur Penal yang terdiri dari (a) menerapkan dan menguatkan kebijakan hukum pidana, (b) penumpasan dan pemberantasan dengan sifat repressif setelah tindak korupsi terjadi, tidak menunda-nunda dan spontan diberantas, (c) tegas dalam memberi hukuman bagi pelaku tindak pidana, tidak ada perlakuan khusus bagi orang-orang tertentu, seperti membeli kamar saat menjalani hukuman penjara, dan (d) menindak tegas bagi oknum polisi dalam rumah tahanan yang memberi fasilitas mewah bagi pelaku kejahatan korupsi. Strategi kedua adalah dengan (2) Jalur Non Penal yang terdiri dari (a) menerapkan kebijakan pencegahan atau preventif, tanpa melibatkan hukum pidana, (b) menanamkan kebijakan untuk memengaruhi masyarakat mengenai kejahatan dan pidana melalui media massa, penyuluhan, dan pendidikan, (c) merancang ulang sistem pelayanan publik, terutama aparat dan petugas yang diberikan jabatan atau wewenang. aparat pelayanan publik harus memiliki kejujuran dan tanggung jawab yang nyata, dan (d) pluralisme aparat petugas pelayanan publik melalui penghasilan yang sama rata, mencegah agar tidak terjadi kesenjangan ataupun ketimpangan sosial antar aparat.
Penanganan pelaku tindak kasus korupsi di Indonesia masih banyak hal yang perlu diperbaiki, karena pada kenyataannya pelaku yang mendapat sanksi pidana penjara dan membayar kerugianpun tetap tidak menimbulkan efek jera, sehingga kasus korupsi yang terjadi semakin bertambah. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab pelaku kejahatan tidak merasa takut akan hukum yang berlaku, salah satunya adalah perlakuan berbeda kepada narapidana yang mampu "membayar", maka narapidana yang mampu tersebut tidak akan pernah merasa tunduk atas hukum. Penanggulangan kasus korupsi melalui jalur penal menjadi kurang efektif, karena hukum di negara ini seolah dilemahkan, terlebih lagi masih banyak oknum yang terlibat untuk menguntungkan dirinya sendiri. Penanggulangan kejahatan korupsi secara non penal (non pidana) yang dilakukan secara tepat menjadi lebih baik dibandingkan dengan strategi penal. Strategi non penal yang baik mestinya dirancang secara matang, sehingga pelaku pidana korupsi dapat diberantas dengan tepat. Langkah pencegahan dalam upaya penanggulangan kasus korupsi melalui strategi non penal adalah dapat memprioritaskan hal berikut (a) meningkatkan sistem, kinerja, dan pengawasan terhadap aparat pelayanan publik, (b) meningkatkan transparansi, pengawasan, dan sanki terhadap kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia, dan (c) meningkatkan pemberdayaan perangkat pendukung guna mencegah korupsi. Teori non penal policy, pokok-pokok rumusan urgensi pemberantasan korupsi dilakukan sebagai berikut: (a) pejabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi harus didaftarkan kekayaannya sebelum menjabat. sehingga mudah diperiksa pertambahan kekayaannya dibanding pendapatan resmi dan pemberian sanksi yang tegas bagi yang tidak melaksanakan, (b) mencari penyebabnya, kemudian penyebab itu dihilangkan dengan cara prevensi disusul dengan pendidikan (kesadaran hukum) masyarakat dengan gerakan represif atau strategi prevensi (mencegah) sedangkan kepada kedua sisinya masing-masing pendidikan masyarakat, (c) dilakukan secara sistemik dan konsisten dengan pendekatan integral upaya represif dan preventif, (d) dikeluarkannya konvensi internasional mengenai pemberantasan korupsisemestinya UU PTPK direvisi lagi dan disesuaikan serta diselaraskan dengan materi konvensi, agar kerjasama internasional dalam memberantas korupsi dapat berjalan lebih lancar, (e) menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah, (f) menaikkan moral pegawai negeri, (g) legalisasi pungutan liar menjadi pendapatan resmi atau legal, dan (h) strategi penanggulangan lebih diutamakan tindakan preventifnya, utamanya pada Jaksa dan Kajari/Kajati untuk pencegahan melalui perbuatan korupsi dengan cara memberikan advis atau pertimbangan hukum.
KESIMPULAN
Korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang publik untuk keuntungan pribadi. Penyebab utama korupsi bisa terjadi adalah karena kurangya transparansi, lemahnya penegakan hukum, serta rendahnya integritas para pejabat publik. Hal ini didukung oleh laporan organisasi internasional yang mengatakan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang rendah umumnya memiliki sistem pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan didukung oleh masyarakat sipil yang kuat. Hasil laporan ini berkaitan dengan penyebab terjadinya korupsi sehingga aspek-aspek penting yang perlu dilakukan untuk memberantas korupsi adalah (1) meningkatkan transparansi pada sistem pemerintah, (2) memperkuat penegakan hukum, dan (3) meningkatkan kesadaran dan integritas para pejabat publik. Ketiga aspek penting yang perlu dilakukan untuk memberantas korupsi ini dapat diatasi menggunakan strategi penal maupun strategi non-penal.
Strategi Penal merupakan strategi dengan pendekatan jalur hukum pidana, seperti penerapan sanksi hukum pidana yang berat serta memperkuat lembaga hukum, sedangkan Strategi Non-Penal memiliki pendekatan preventif untuk mencegah tindak korupsi dengan membangun integritas, seperti pendidikan antikorupsi sejak dini dan keterlibatan masyarakat ataupun lembaga swadaya masyarakat dalam memantau serta melaporkan tindakan korupsi. Upaya memberantas korupsi ini akan efektif jika melibatkan kombinasi dan pendekatan kedua strategi ini (penal maupun non-penal), kedua strategi ini harus diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Quah, J. S. (2019). Causes and Consequences of Corruption in Indonesia. The Indonesian Quarterly, 47(2), 145-167.
Suwanda, D. (2020). Combating Corruption in Indonesia: An Analysis of Political Will and Institutional Capacity. Journal of Contemporary Southeast Asian Affairs, 34(1), 1-28.
Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index 2022. Diakses dari https://www.transparency.org/en/cpi/2022
Mungiu-Pippidi, A. (2015). The Quest for Good Governance: How Societies Develop Control of Corruption. Cambridge University Press.