Mohon tunggu...
Angelica Edelweis
Angelica Edelweis Mohon Tunggu... Mahasiswa - Law Student at Universitas Indonesia

Currently studying Law

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sunat Perempuan: Tarik Ulur Eksistensi demi Tradisi yang Tak Berarti

13 Mei 2022   21:30 Diperbarui: 13 Mei 2022   21:34 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sunat atau khitan merupakan sebuah tindakan medis yang sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Biasanya, sunat dilakukan kepada anak laki-laki. Tetapi, data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukan lebih dari setengah anak perempuan di Indonesia pernah disunat. Sunat perempuan merupakan prosedur pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin wanita bagian luar. 

Dari pengertian singkat saja, praktik ini terkesan sangat menyakitkan, mengingat sunat biasanya dilakukan kepada anak perempuan yang berusia kurang dari 11 tahun. Lantas, mengapa praktik ini tetap dilakukan?

PELESTARIAN TRADISI

Tradisi sunat perempuan diyakini datang dari benua Afrika. Penyebarannya semakin meluas ke daerah Timur Tengah melalui Mesir yang diperkirakan telah terjadi dari masa pra-Islam. Di Indonesia sendiri, tradisi sunat perempuan diperkirakan ada sejak zaman animisme dan dinamisme.

Menurut Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, praktik sunat perempuan masih dilakukan di beberapa wilayah Indonesia seperti Gorontalo, Bangka Belitung, Banten, Kalimantan, Jawa Barat, dan Sulawesi atas alasan pelestarian tradisi. Di Gorontalo, sunat perempuan dikenal dalam adat Mo Polihu Lo Limu yang mana sunat dilakukan pada anak perempuan berusia 2 tahun dengan mencubit dan membersihkan selaput tipis dari kelamin anak tersebut. Berbeda dari Gorontalo, di Banten, praktik ini bervariasi. Mulai dari pemotongan klitoris pada bayi perempuan berusia 40 hari, mengerik kulit kelamin dengan uang logam, sampai menusuk bagian bawah klitoris. 

AJARAN AGAMA DAN SUNAT PEREMPUAN

Selain tujuan pelestarian tradisi, seringkali ditemukan pernyataan bahwa tujuan dari praktik sunat perempuan ini dilakukan untuk menjalankan perintah agama seperti ajaran agama Islam. Berkaitan dengan ijma' ulama di Indonesia mengenai sunat perempuan, telah dikeluarkan Fatwa MUI No.9A/2008 yang berbunyi: "Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Dan khitan terhadap perempuan adalah makrumah (ibadah yang dianjurkan)." Ketika berbicara tentang sunat perempuan, Wahbah al-Zuhayli mengartikannya sebagai pemotongan kulit paling atas alat kelamin perempuan.

Hasbi Ash-Shiddiqi menyatakan bahwa sunat perempuan melibatkan pemotongan sebagian kecil kulit yang menutupi ujung klitoris atau menghilangkan sebagian klitoris. Pernyataan diatas menunjukkan bahwa tidak ada keseragaman teknik pada sunat perempuan. Keberagaman cara tersebut biasanya mengikuti tradisi yang berlaku di setiap negara. 

Ketidakseragaman arti dan teknik sunat perempuan perlu diberikan perhatian lebih oleh Pemerintah. Jangan sampai sunat perempuan ini tidak memberikan manfaat dan malah merugikan perempuan dengan mengatasnamakan tradisi dan ajaran agama. 

ASPEK HUKUM KESEHATAN

Menurut penelitian, sunat perempuan secara medis nyatanya tidak memiliki manfaat dan malah menimbulkan masalah serius. Masalah ini dapat berupa infeksi saluran kemih, penyakit radang panggul, kista, pembentukan keloid, dan masih banyak lagi. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, di beberapa kasus, wanita yang telah disunat ketika melakukan hubungan seksual dan melahirkan, jahitan sunatnya harus dipotong.

Dalam dunia medis, terdapat kaidah bioetika yang yang wajib diikuti oleh tenaga medis. Salah satunya adalah kaidah  non maleficence yaitu setiap tindakan medis dilakukan untuk mengurangi rasa sakit pasien dan tidak menambah rasa sakit. Kaidah ini juga sejalan dengan prinsip dalam dunia medis yaitu Per primum non Nocere yaitu tenaga medis sedapat mungkin tidak menyakiti pasien. Praktik sunat perempuan jelas menyalahi kaidah non maleficence dan sudah seharusnya Pemerintah menunjukkan sikap tegas. 

PEMERINTAH VS. SUNAT PEREMPUAN

Pemerintah telah mengeluarkan peraturan mengenai sunat perempuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan ("Permenkes") No.1636/2010. Dalam peraturan tersebut, sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu, seperti dokter, bidan, dan perawat, yang telah memiliki surat izin praktik ataupun surat izin kerja sekalipun sudah sangat jelas praktik ini menyalahi kaidah bioetika yang seharusnya diikuti oleh tenaga medis.

Sunat perempuan hanya dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan dari perempuan yang akan disunat, orang tua, ataupun walinya. Permenkes juga mengeluarkan serangkaian larangan, yaitu:

  1. Mengkauterisasi klitoris

  2. Memotong/merusak klitoris, baik sebagian maupun seluruhnya

  3. Memotong/merusak labia minora, labia majora, selaput dara, dan vagina, baik sebagian maupun seluruhnya

Dalam perkembangannya, Permenkes tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diberlakukannya Permenkes No. 6/2014. Pertimbangannya adalah pelaksanaan sunat perempuan tidak berdasarkan indikasi medis dan tidak bermanfaat bagi kesehatan.

Akan tetapi, sampai sekarang, masih ada permintaan untuk dilakukannya sunat perempuan sehingga Menteri Kesehatan memberikan mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara'k untuk membuat pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin kesehatan dan keselamatan dari perempuan yang disunat. Namun, tidak ada tindak lanjut dari mandat ini. Akibatnya, pelaksanaan sunat perempuan masih berpotensi membahayakan perempuan.

PENEGAKAN HAK ASASI

Praktik sunat perempuan ini sudah jelas merupakan tindakan melanggar Hak Asasi Perempuan dan Anak. Praktik ini umumnya dilakukan pada anak di bawah umur dan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Praktik ini melanggar hak atas kesehatan, keamanan dan integritas fisik, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat.

Di negara-negara Eropa, sunat perempuan dapat dituntut, baik melalui ketentuan hukum pidana khusus maupun pidana umum. Seperti di Mesir, sudah ada undang-undang yang dibuat untuk menghapus praktik sunat perempuan ini, seperti menjatuhkan hukuman penjara hingga 20 tahun bagi pelaku yang melaksanakan dan meminta dilakukannya sunat perempuan.

Dapat disimpulkan bahwa sunat perempuan tidak hanya menyakitkan, tetapi juga tidak memberikan manfaat medis, bertentangan dengan hak asasi perempuan, dan tidak terdapat kaidah yang secara jelas menyatakan keharusannya dalam ajaran agama. Maka, praktik ini lah yang sebenarnya memerlukan 'sunat' bukan alat kelamin maupun kebebasan perempuan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun