Masing-masing dari kita memiliki jatah untuk berulang tahun sekali setahun. Iya, secara biologis. Sebagai penanda hari pertama kita menghirup udara bumi. Tapi kita pun sebenarnya memiliki kesempatan untuk merayakan 'kelahiran' kita, lepas dari tanggal ulang tahun yang tertera di KTP. Caranya? Dengan berkarya.
Baru-baru ini seorang sahabat baru saja me-launching rumah produksi kecil-kecilan. Memang produknya baru satu: sebuah film pendek berdurasi 15 menit yang bertengger di laman youtube dan instagram. Tetapi, ini pun sebuah gebrakan.Â
Hari ketika rumah produksi itu dipublikasikan rasanya seperti hari ulang tahun sahabatku. Semua orang memberikan ucapan selamat dan doa. Rasa sukacitanya melebihi perayaan hari ulang tahunnya sendiri.Â
Momen saat sebuah karya dilahirkan memang menakjubkan. Kita tengah mengukir sejarah. Tak jadi soal apakah sejarah itu relevan dengan orang lain atau tidak. Nyatanya setelah peristiwa itu, kita tak lagi menjadi orang yang sama.
Berbicara tentang karya, seringkali yang berkecamuk di benak kita adalah perang prioritas. Tunggu menjadi mahir dulu. Tunggu modal terkumpul dulu. Tunggu nanti mendapat mitra. Tunggu ada waktu. Tunggu... Tunggu... Tunggu.Â
Akhirnya sebuah ide yang bisa jadi luar biasa dan inovatif malahan teronggok di dalam ruangan berdebu di kepala kita. Perlahan terlupakan.Â
Dalam pikiran kita akhirnya kata "tunggu" berubah menjadi "tapi". Kesempatan berubah menjadi hambatan. Ide berubah menjadi wacana.Â
Jika kita mau jujur pada diri sendiri, rasanya seperti kegagalan. Malahan lebih parah lagi karena kita bahkan belum memulai apa-apa. Konsep yang tadinya berdenyut itu kini tak bernyawa. Sudah diaborsi sebelum lahir. Dalam hati, kita berduka.
Tak berbeda dengan orang lain, aku pun demikian. Lebih banyak menunggu dan menunda dari pada pusing menciptakan karya. Lebih sering berangan dari pada merealisasikan.Â
Tapi anehnya ketika mendengar sahabatku sendiri berkicau tentang keinginannya menjadi penulis naskah, respon alamiah ku adalah menyemangatinya. Memang benar kalau ada perkataan "menasehati lebih mudah dari pada melakukannya sendiri."
Namun mungkin saja Tuhan sengaja menempatkan aku dalam situasi tersebut karena saat menyemangati orang lain, aku sebenarnya sedang menyemangati diri sendiri. Nyatanya memberi motivasi itu ibarat bermain bumerang: ia kembali padamu. Buktinya saja aku mulai menulis.Â
Ide yang sempat terkubur kembali bernyawa. Lebih baik bahkan karena kini ia bernapas, berjalan-jalan di benak para pembaca tulisanku. Hari ketika aku kembali menulis adalah hari ulang tahunku yang lain.Â
Selanjutnya jika satu lilin sudah menyala, cukup mudah menyalakan lilin lainnya. Aku mulai merancang hari ulang tahun yang baru lagi.
Berkarya itu mudah ketika kita bukan siapa-siapa. Tidak ada panggung, tidak ada penonton. Tidak ada beban dan ekspektasi tak bernalar dari orang lain. Kita bebas membuat kesalahan demi kesalahan yang menuntun pada orisinalitas karya.Â
Seorang bayi tidak pernah merasa malu belajar berjalan meski kerap kali jatuh. Ia bertelinga tapi tuli pada opini yang menjatuhkan dari orang lain. Lalu mulailah ketika ia sekolah dan segala macam standar ditetapkan.Â
Murid yang sudah berhasil mendapat nilai sempurna akan lebih stres menghadapi ujian berikutnya. Ia sudah terlanjur dilabel. Sekali dipuji "pintar!", ia ingin dipuji lagi. Di pundaknya ada banyak harapan dibebankan.Â
Murid lain yang nilainya selalu biasa saja tertawa. Hidup lebih mudah karena tidak ada yang berharap apapun padanya. Celakanya, terpatri pula dalam benaknya untuk tidak pernah berkarya.
Masih menjadi suatu misteri bagaimana supaya kita bisa punya mental yang tangguh: berkarya dengan ambisius tapi merdeka. Tidak ada rumusan yang pakem dalam hal ini. Bukan sepenuhnya salah kita karena masyarakat seringkali menuntut.Â
Ketika belum pernah ada yang melihat hasil gambarku, aku bebas menggambar di tempat umum. Orang yang lalu lalang akan melengos saja karena proses berkarya yang seringkali terlihat carut marut. Tidak menarik.Â
Kemudian setelah hasil akhir ditampilkan dan aku mendapat pengakuan, aku tidak lagi nyaman berkarya di mana saja. Orang akan memperhatikan aku menggambar.Â
Mereka mengharapkan goresan-goresan pensil yang menjadikan sketsa kasar menjadi hidup. Aku terbeban. Aku mengunci diri.Â
Hari ulang tahun karyaku pun tertunda. Jika aku sial, maka hari itu tak akan pernah datang. Lagi-lagi, karena mentalitas.
Karya hanyalah menggambarkan hasil. Inilah yang umumnya diagungkan, diingat, dan disebarluaskan. Padahal yang menentukan harga dari suatu karya adalah proses penciptaannya.Â
Sulit menginspirasi orang lain dengan memperlihatkan hanya karyanya saja. Tapi lukamu yang berdarah-darah untuk berkarya itulah yang menampar orang banyak.Â
Menampar di sini dalam arti menjadi bahan bakar bagi orang lain untuk berusaha lebih baik. Walaupun bisa juga malah jadinya menimbulkan populasi yang melihat segala proses itu sebagai 'kurang kerjaan'.
Tidak semua manusia, secantik atau setampan apapun, memiliki kepercayaan diri yang absolut. Bagi yang merasa penampilannya biasa saja sering mengungkapkan "ah yang tertarik sama aku mah dikit". Se-sedikit apa?Â
1% dari 7 milyar manusia? 0.1% dari populasi manusia saja masih sangat banyak! Sementara untuk membuat kita bahagia lahir batin hanya diperlukan satu orang.Â
Apa bedanya dalam berkarya? Orang lain pengagumnya banyak sekali, sementara kita hanya sedikit. Bukankah 'sedikit' itu hanya menggambarkan keadaan?Â
Kalaupun karyamu hanya dihargai oleh seorang saja, bagaimana kalau ia menghargai dengan sepenuhnya? Bagaimana kau tahu kalau karyamu itu mempengaruhi dia seutuhnya?Â
Jika seorang dokter yang kuliah begitu lamanya, di-training begitu melelahkannya dan sepanjang karirnya ia hanya menyelamatkan satu manusia saja, apakah iya itu tidak pantas disyukuri?Â
Satu manusia yang ditolong oleh karyamu bisa jadi adalah calon pemimpin masa depan yang luar biasa. Atau seorang ilmuwan yang mengubah dunia dengan temuannya. Banyak atau-atau lain lagi yang bisa kita bayangkan... Satu ulang tahun karyamu bisa jadi adalah ulang tahun mereka yang merasa tertolong oleh buah pikiranmu.
Rumah produksi kecil milik sahabatku itu memang terasa hanya perwujudan dari cita-citanya sendiri. Tapi di dalamnya banyak orang yang kemudian mendapat kesempatan kedua untuk belajar sesuatu yang baru.Â
Aku, misalnya, yang merasa beruntung bisa sedikit mendalami dunia akting dalam film pendek yang diproduksi. Orang lain lagi merasa beruntung karena akhirnya bisa mengembangkan minat sebagai seorang videografer, atau ahli tata rias...Â
Satu lilin menyalakan lilin-lilin lainnya. Satu ulang tahun juga menjadi ulang tahun yang diperingati oleh orang lain. Satu keberanian merealisasi mimpi kecil bisa menjadi ladang berbagai kesempatan. Suatu jeram reaksi yang panjang dan beruntun.
Jadi hari ini, ingin ulang tahun sebagai apa dirimu? Berkaryalah! Biarkan ia lahir meski dalam keadaan masih penuh dengan darah dan tangisan.
Biarkan karyamu itu menghirup udara segar dan menjelajah benak manusia. Kau selalu punya kesempatan untuk memperbaikinya, tapi biarkan ia lahir ke dunia ini. Kau tidak pernah tahu siapa yang bisa kau tolong hanya dengan secuil keberanian itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H