Mohon tunggu...
Angelia Yulita
Angelia Yulita Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru

Penikmat matematika, buku, dan kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudah Ulang Tahun Berapa Kali Tahun Ini?

5 Juni 2020   18:28 Diperbarui: 5 Juni 2020   19:55 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masing-masing dari kita memiliki jatah untuk berulang tahun sekali setahun. Iya, secara biologis. Sebagai penanda hari pertama kita menghirup udara bumi. Tapi kita pun sebenarnya memiliki kesempatan untuk merayakan 'kelahiran' kita, lepas dari tanggal ulang tahun yang tertera di KTP. Caranya? Dengan berkarya.

Baru-baru ini seorang sahabat baru saja me-launching rumah produksi kecil-kecilan. Memang produknya baru satu: sebuah film pendek berdurasi 15 menit yang bertengger di laman youtube dan instagram. Tetapi, ini pun sebuah gebrakan. 

Hari ketika rumah produksi itu dipublikasikan rasanya seperti hari ulang tahun sahabatku. Semua orang memberikan ucapan selamat dan doa. Rasa sukacitanya melebihi perayaan hari ulang tahunnya sendiri. 

Momen saat sebuah karya dilahirkan memang menakjubkan. Kita tengah mengukir sejarah. Tak jadi soal apakah sejarah itu relevan dengan orang lain atau tidak. Nyatanya setelah peristiwa itu, kita tak lagi menjadi orang yang sama.

Berbicara tentang karya, seringkali yang berkecamuk di benak kita adalah perang prioritas. Tunggu menjadi mahir dulu. Tunggu modal terkumpul dulu. Tunggu nanti mendapat mitra. Tunggu ada waktu. Tunggu... Tunggu... Tunggu. 

Akhirnya sebuah ide yang bisa jadi luar biasa dan inovatif malahan teronggok di dalam ruangan berdebu di kepala kita. Perlahan terlupakan. 

Dalam pikiran kita akhirnya kata "tunggu" berubah menjadi "tapi". Kesempatan berubah menjadi hambatan. Ide berubah menjadi wacana. 

Jika kita mau jujur pada diri sendiri, rasanya seperti kegagalan. Malahan lebih parah lagi karena kita bahkan belum memulai apa-apa. Konsep yang tadinya berdenyut itu kini tak bernyawa. Sudah diaborsi sebelum lahir. Dalam hati, kita berduka.

Tak berbeda dengan orang lain, aku pun demikian. Lebih banyak menunggu dan menunda dari pada pusing menciptakan karya. Lebih sering berangan dari pada merealisasikan. 

Tapi anehnya ketika mendengar sahabatku sendiri berkicau tentang keinginannya menjadi penulis naskah, respon alamiah ku adalah menyemangatinya. Memang benar kalau ada perkataan "menasehati lebih mudah dari pada melakukannya sendiri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun