Melainkan karena aku sadar ini bukan seperti aku mencari kata-kata "ketuhanan", "kemanusiaan", "persatuan", "kesejahteraan" atau "keadilan" dalam kamus besar bahasa Indonesia, lalu mencatat definisinya. Namun ini adalah sebuah perjalanan untuk terus mawas diri sebagai seorang manusia.Â
Untuk senantiasa mempertanyakan apakah aku, dalam usaha menemukan dan mempertahankan jati diriku, sudah tahu apa itu berkawan dengan Tuhan?Â
Apa itu artinya memiliki nurani untuk membantu sesama, bahkan hewan dan tumbuhan...Â
Aku yang tidak pernah tercatat bertindak kriminal apa sudah termasuk menjaga persatuan bangsa ini?Â
Bukankah selama ini aku hanya bekerja untuk kesejahteraan aku sendiri?Â
Lantas apa aku ini pernah bertindak adil? Jika setiap hari aku memilih dan memang sejatinya sebagai manusia, aku bisa memilih... Bukankah dalam pilihan itu tersirat pemberatan pada salah satu pihak, namun pihak lain berteriak "tidak adil!"?
Ini bukanlah suatu usaha untuk menganalisa lukisan sang maestro. Kita hanya bisa menerka-nerka apa yang ada di pikiran seorang perupa dalam caranya untuk berekspresi melalui goresan kuasnya. Toh lukisan itu ada salah satunya bertujuan untuk menciptakan dialog.Â
Dalam hal ini, Potret Diri membuatku berdialog dengan diriku sendiri. Dialog panjang yang tak akan pernah usai untuk merenungkan apa itu kemanusiaan. Ah, bukan kemanusiaan, melainkan apa yang baik dan benar untuk semua makhluk hidup...
Selamat hari lahir Pancasila, 1 Juni 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H