Mohon tunggu...
Angelia Yulita
Angelia Yulita Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru

Penikmat matematika, buku, dan kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Kembali "Potret Diri" dan Dialog Tentang Kemanusiaan

1 Juni 2020   13:51 Diperbarui: 1 Juni 2020   17:02 2431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun lalu ketika aku masih aktif belajar melukis dari seorang perupa realis senior Indonesia, bapak Guruh Ramdani, aku jadi kegandrungan ke museum. Bertepatan di hari Pancasila ini, dua pameran lukisan yang sangat membekas di hati adalah Goresan Juang Kemerdekaan di Galeri Nasional dan Jati Diri yang diadakan di Museum Seni Rupa dan Keramik. 

Tidak sama sekali kuketahui bahwa akhirnya bukan tentang lukisan yang banyak aku pelajari, melainkan rasa nasionalisme yang terbangun dari kedua pameran itu.

Cerita Soekarno yang menyukai lukisan di pameran Goresan Juang Kemerdekaan, Galeri Nasional (sumber: dokumentasi pribadi)
Cerita Soekarno yang menyukai lukisan di pameran Goresan Juang Kemerdekaan, Galeri Nasional (sumber: dokumentasi pribadi)

Goresan Juang Kemerdekaan diadakan pada bulan Agustus 2016. Aku ke Galeri Nasional sendirian dan mengantre masuk sejak pagi. Bukan aku tak mau pergi bersama teman, tapi kasian nanti kawanku kalau ku abaikan seharian karena aku pasti asyik sendiri. Benar saja, seharian itu entah berapa jam aku di sana. Tahu-tahu sinar matahari sudah syahdu berwarna jingga saat aku berjalan kaki ke terminal transjakarta, hendak pulang.

Namun hari itu aku rasanya bukan sekedar pergi ke pameran lukisan. Aku belajar hal-hal yang cukup menarik dan menambah daftar kekagumanku pada presiden pertama Indonesia, Soekano. Baru di hari itu kutahu bahwa negarawan pencetus Pancasila itu berkawan karib dengan para seniman lawas Indonesia. 

Ia bahkan merayakan peringatan pertama kemerdekaan negara ini melalui pameran lukisan. Andaikan bisa kutanya apa artinya karya seni bagi beliau sampai ketika diasingkan di Bengkulu pun, Soekarno tercatat sangat berhasrat mengoleksi lukisan. 

Ku pelajari pula di pameran hari itu kalau salah seorang bapak senirupa Indonesia, S. Soedjono, memandang seniman adalah seorang individu yang terbeban untuk membantu pergerakan nasional. Sepertinya hari itu membangun rasa nasionalis yang cukup dalam ketimbang saat aku duduk di kelas sejarah. Ah, mungkin saja ini mengapa Soekarno melihat seni sebagai alat bantu pemersatu bangsa. Ini, terutama paska kemerdekaan, saat pancasila dirumuskan.

Jika Goresan Juang Kemerdekaan banyak bercerita tentang hasil karya seniman Indonesia sebelum kemerdekaan, Jati Dari sebaliknya. Di pameran yang diadakan sepanjang bulan Oktober 2016 hingga Januari 2017 itu memajang lukisan paska kemerdekaan. Saat-saat Pancasila itu dicetuskan, saat Indonesia harus menentukan wajahnya untuk berdiri sebagai negara di mata dunia. 

Aku beruntung waktu itu seorang teman yang juga sama-sama murid dari Bapak Guruh, berhasil memasukan kami pada acara pembukaan pameran yang sebenarnya tidak terbuka untuk umum. Wah, jangan ditanya bagaimana gembiranya bisa bertemu dan berfoto langsung dengan para tokoh senirupa Indonesia yang hadir kala itu. 

Salah satunya adalah Kartika Affandi, anak dari perupa Affandi yang tidak perlu dibeberkan lagi sepak terjangnya dalam dunia senirupa negara ini. Saat itu mungkin begitulah rasanya ketika Jack memenangkan tiket naik kapal Titanic ke New York. Bedanya, tentu saja aku bisa sampai kembali di rumahku dengan selamat.

Aku yang bukan siapa-siapa bisa menyusup ke acara seni bergengsi dan bertemu banyak tokoh. Bahkan stan Starbucks pun ada di sana dan melayani para pengunjung dengan kopi gratis. Kapan lagi aku bisa bebas minum kopi dari brand itu, dalam pameran seni pula! 

Intinya, aku bersyukur sekali ada di tengah tokoh-tokoh penting yang pasti sulit sekali aku temui. Termasuk saat itu kulihat Bapak Ahok yang masih menjabat sebagai gubernur Jakarta datang untuk menggunting pita, meresmikan dibukanya museum Seni Rupa dan Keramik Indonesia.

Sepulang aku dari sana, diiringi dengan suasana Kota Tua di malam hari, lagi-lagi aku banyak merenungkan peran para seniman dalam membantu negara ini menemukan jati dirinya. Banyak lukisan memukau dengan nilai sejarah yang tinggi, namun satu yang membuatku termenung: Potret Diri karya Affandi.

Sepenggal pidato Affandi di pameran Jati Diri, Museum Seni Rupa dan Keramik (sumber: dokumentasi pribadi)
Sepenggal pidato Affandi di pameran Jati Diri, Museum Seni Rupa dan Keramik (sumber: dokumentasi pribadi)

Potret Diri adalah salah satu lukisan yang ternyata cukup menjadi trend di masa paska kemerdekaan. Ini erat pula kaitannya dengan peran para seniman untuk menanggapi Indonesia yang kala itu masih berusaha menentukan jati dirinya. Di samping lukisan Affandi itu, ditampilkan pula sepenggal kata-kata dari sang perupa yang melatar-belakangi karya beliau:

"Saya punya perasaan yang kuat terhadap kemanusiaan, 'kemanusiaan' mungkin bukan kata yang tepat, yang saya maksudkan adalah apa yang baik dan benar untuk semua makhluk hidup. ... Tapi, jika saya bukan seorang pelukis, misalnya seorang pengemudi taksi, maka saya ingin mengekspresikan perasaan saya terhadap kemanusiaan dengan mengemudi taksi."

Aku terhenyak membacanya. Hingga saat ini aku menulisnya pun aku masih bergidik. Ketika pulang dari pameran itu, aku dan kawanku mampir di salah satu cafe di Kota Tua. Ia menggambar dan aku ngopi. Kami diam sibuk dalam pikiran kami masing-masing. Aku sejenak menjadi awas dengan sekelilingku dan memperhatikan semua orang di sana.

Aku lihat seorang barista, bagaimana ia mengekspresikan kemanusiaan melalui membuat kopi? 

Aku lihat temanku yang membawa buku sketsanya kemana-mana dan menggambar di tempat umum. Aku lihat seorang bapak tua yang menyapu jalanan Kota Tua. Aku mendengar seorang perempuan muda dengan uletnya mengelap meja di sebelahku. 

Bagaimana jika aku berada di sepatu mereka dan mengusahakan apa yang terbaik bagi semua makhluk hidup? Bagaimana dengan diriku sendiri? Saat itu aku belum menjadi guru, melainkan masih sebagai asisten peneliti honorer di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi milik pemerintah.

Yang aku baca memang hanyalah sepenggal pidato dari Affandi yang mengiringi lukisan Potret Diri karyanya, tetapi perenunganku selanjutnya membuat aku bertekad meluangkan waktu untuk menjadi relawan pendidik. Bukan karena aku sudah paham apa itu kemanusiaan, apa itu yang baik dan benar dan adil bagi semua makhluk hidup... 

Melainkan karena aku sadar ini bukan seperti aku mencari kata-kata "ketuhanan", "kemanusiaan", "persatuan", "kesejahteraan" atau "keadilan" dalam kamus besar bahasa Indonesia, lalu mencatat definisinya. Namun ini adalah sebuah perjalanan untuk terus mawas diri sebagai seorang manusia. 

Untuk senantiasa mempertanyakan apakah aku, dalam usaha menemukan dan mempertahankan jati diriku, sudah tahu apa itu berkawan dengan Tuhan? 

Apa itu artinya memiliki nurani untuk membantu sesama, bahkan hewan dan tumbuhan... 

Aku yang tidak pernah tercatat bertindak kriminal apa sudah termasuk menjaga persatuan bangsa ini? 

Bukankah selama ini aku hanya bekerja untuk kesejahteraan aku sendiri? 

Lantas apa aku ini pernah bertindak adil? Jika setiap hari aku memilih dan memang sejatinya sebagai manusia, aku bisa memilih... Bukankah dalam pilihan itu tersirat pemberatan pada salah satu pihak, namun pihak lain berteriak "tidak adil!"?

Ini bukanlah suatu usaha untuk menganalisa lukisan sang maestro. Kita hanya bisa menerka-nerka apa yang ada di pikiran seorang perupa dalam caranya untuk berekspresi melalui goresan kuasnya. Toh lukisan itu ada salah satunya bertujuan untuk menciptakan dialog. 

Dalam hal ini, Potret Diri membuatku berdialog dengan diriku sendiri. Dialog panjang yang tak akan pernah usai untuk merenungkan apa itu kemanusiaan. Ah, bukan kemanusiaan, melainkan apa yang baik dan benar untuk semua makhluk hidup...

Selamat hari lahir Pancasila, 1 Juni 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun