Aku mendaftar kelas yang berlangsung pukul 7 malam karena pagi hingga sorenya aku masih harus bekerja. Waktu yang ditunggu pun datang dan di kelas pertama itu aku lalui dengan perasaan gembira. Benar dugaanku kalau kelas sungguhannya jauh berbeda dengan kelas pengenalan gratis itu.Â
Aku bersyukur anak kecil dalam diriku yang sudah lama aku abaikan membuat aku sadar bahwa aku terlalu cepat menilai sesuatu. Jika makhluk bernama guru itu terlibat tidak perlu diragukan bahwa ia akan berusaha yang terbaik. Malam itu pertama kalinya aku bersyukur akan adanya kegiatan isolasi diri yang sempat menjemukan.
Kelas online itu berlangsung selama empat minggu dari senin hingga jumat. Jika kebetulan terpotong hari libur, maka akan diganti ke hari sabtu atau minggu. Hebat juga komitmen institusi ini padahal harga kursusnya pun tidak terbilang mahal. Selain dari kelas online, guruku, monsieur Iwan, juga hampir setiap hari memberikan PR melalui google classroom.Â
Awalnya aku khawatir tidak bisa mengikuti ritme kelas yang cukup intensif ini karena pekerjaanku terkadang sangat menyita waktu.
Namun aku sudah berjanji tidak akan menidurkan lagi mimpi masa kecilku, jadi setiap hari aku bangun lebih pagi untuk mengerjakan PR dan mengulas pelajaran.
Menjelang akhir kelas level dasar itu, kami kedatangan tamu seorang guru orang Prancis asli. Monsieur Iwan dengan sumringah mewejangi kami dengan kata-kata motivasi. Kami juga diwajibkan untuk mengobrol dengan Carolle, guru asing itu. Aduh aku bisa tidak ya? Aku yang sebelumnya benar-benar seperti bayi dalam bahasa ini mulai merasa gugup.Â
Namun malam itu berakhir dengan aku bisa bertanya-tanya pada Carolle, bisa mengerti apa yang ia katakan dan bisa tertawa juga dengan gurauannya. Tentu itu semua tidak lepas dari kebaikan Carolle yang berbicara dengan sangat jelas dan pelan.
Aku cukup sedih saat empat minggu kelas ini selesai. Rasanya tidak rela meninggalkan kebiasaan baru yang terbentuk dari dorongan untuk menekuni kelas ini. Di kelas terakhir kami, monsieur Iwan memasangkan kami berkelompok dan meminta kami berdialog layaknya dua orang yang baru kenal.Â
Perasaanku sudah jauh lebih nyaman dan aku bisa menjalankan ujian terakhir itu dengan percaya diri. Tentulah aku masih kagok dan berjeda-jeda saat berbicara, namun jika kuingat belum genap sebulan lalu aku belum bisa apapun, ini sangat membanggakan!
Kami akhiri kelas kami dengan tradisi foto kelas yang hanya bisa berupa hasil tangkapan layar. Aku dan sebagian besar teman-temanku berjanji untuk melanjutkan kelas kami ke tingkatan berikutnya.
Bahkan kami ingin meminta juga supaya diajari guru yang sama. Monsieur Iwan memang orang Indonesia tapi bahasa Prancisnya mahir benar! Aku senang sekali mendengar cerita-cerita beliau yang pernah lama tinggal di negara nan indah itu.Â