Mohon tunggu...
Angelia Yulita
Angelia Yulita Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru

Penikmat matematika, buku, dan kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekuntum Tulip untuk Mereka yang Sudah Tiada

28 Mei 2020   02:10 Diperbarui: 28 Mei 2020   02:19 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senyuman di Hari Kelabu - karya Angelia Yulita (dokumentasi pribadi)

Aku termasuk insan yang beruntung. Di bulan Februari tahun 2015 aku dinyatakan lulus sidang skripsi dengan nilai yang memuaskan. Tak lama setelah itu, ibuku didiagnosa penyakit kanker. Untung saja perkuliahanku sudah selesai dan aku pun sibuk mengurus ibuku yang kian menurun bobotnya, namun semangat hidupnya masih menyala-nyala. Kami lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit dari pada di rumah sendiri. 

Beberapa bulan setelah diagnosa penyakit itu, akhirnya ibuku berpulang dalam tidur yang nyenyak di rumah kami. Bahkan hingga kini, bayangan tentang hari itu masih jelas terputar di kepalaku. 

Tulisanku ini bukan untuk mengenang seorang ibu terbaik di dunia, namun di tengah pandemi corona ini, mau tak mau aku merasa betapa banyak orang yang mengalami kenangan yang sama denganku saat itu. 

Ketahuilah, kalian yang lelah melewatkan malam tanpa tertidur untuk menjaga keluarga kalian yang sakit, aku bersimpati. Aku mengerti. Aku merasakan kesedihanmu.

Oleh karena jenis kanker ibuku, ia dirawat di ruangan khusus di mana tidak diizinkan satupun anggota keluarga menginap. Kurasa kurang lebih keadaannya saat ini pun sama. Demi mengurangi laju penularan virus, tidak diperbolehkan ada yang menunggui sang pasien. 

Saat itu ibuku hanya memandangku dan berkata, "temenin mama ya.." Tentu tanpa berpikir panjang, aku mengangguk dan berjanji akan berada di sana semalaman. Aku menghormati kebijakan rumah sakit yang tidak membolehkan aku ada di kamar ibuku, jadi aku habiskan malam itu di teras rumah sakit. 

Malam itu sepi dan dingin. Aku meringkuk di lantai rumah sakit yang putih pualam dan menangis sejadi-jadinya. Sulit rasanya memasang wajah cerah di depan ibuku dan selalu menyemangati bahwa ia pasti sembuh. Tidak ada yang bersedia menghadapi kenyataan di persimpangan hidup dan mati. Aku tahu kalian mengalami hal serupa. 

Aku rasa aksiku dilihat seorang suster yang akhirnya tidak tega melihatku tidur di lantai dan esok malamnya ia membolehkan aku tidur di kamar ibuku. Tentu saja dengan syarat aku tidak boleh keluar sampai pagi supaya tidak diketahui keberadaanku oleh orang lain. 

Aku pun percaya saat ini ada yang memperhatikan kalian yang bersikap tegar sendiri. Aku berharap kalian pun memperoleh kebaikan dan kehangatan yang kalian butuhkan, terutama bagi kalian yang hanya bisa melewati waktu dengan menunggu kabar di rumah. 

Saat ini adalah suasana hari raya dan banyak wacana tentang new normal dimana-mana. Tetapi kita tahu tidak ada yang bisa menormalkan apa yang kalian lalui.  Yang bisa kita lakukan hanyalah pasrah kepada yang menerima segala doa manusia.

Pernah suatu kali aku benar-benar muak dengan kewajiban merawat ibuku dan aku marah. Tidak kepada ibuku, tetapi kepada Tuhan dan kenyataan yang Ia izinkan untuk terjadi. Rasa jenuh itu membuatku sulit bersikap ramah pada ibuku dan itu membuatnya sedih. Seperti halnya aku, kalian yang merawat keluarga kalian pun membutuhkan istirahat. 

Berat bagi yang sakit untuk selalu optimis, namun sebenarnya tidak kalah berat mereka yang harus menyemangatinya. Jangan sampai kata-kata motivasi berubah menjadi seperti naskah yang dihapal. Tidak ada lagi dorongan di dalamnya. Hanya pita suara yang mengeluarkan kata-kata yang sama berkali-kali, "pasti sembuh. Pasti sembuh". Aku berharap kau juga memperhatikan kesehatanmu, terutama batinmu.

Seorang dokter pernah berkata padaku bahwa yang ia rawat bukan hanya ibuku, pasiennya, tetapi juga keluarganya. Tidak banyak memang tenaga medis yang bisa dan berkenan meluangkan waktunya untuk mendengar ketakutan kita. 

Mungkin karena itu banyak bermunculan forum-forum untuk penyakit tertentu dimana para caregiver saling memberi dukungan satu sama lain. Keadaan ini adalah keadaan yang sulit dan bisa jadi kau akan menghadapi orang yang akan berusaha mengerti keadaanmu untuk sesaat, lalu ia mengharapkan kau untuk melupakannya. 

Aku berharap kau mengambil waktu sebanyak mungkin yang kau butuhkan untuk bisa menerima kenyataan yang baru ini. Kepada kalian yang kehilangan orang-orang terdekat, yang rela mengorbankan apa saja untuk mengembalikan mereka, yang menyesal dan yang dipaksa untuk melupakan... 

Kepada yang sinis karena orang-orang meributkan kapan pusat perbelanjaan kembali dibuka, kapan bisa kembali bertamasya dan belajar di sekolah, sementara kalian sudah merasa hambar pada segala jenis hiburan... Kepada kalian yang marah dan akhirnya menutup telinga kepada para sahabat... Tulisan ini untuk kalian.

Tentu saja tulisan ini tidak berarti apapun selain caraku untuk berteriak, "aku mengerti! Ya, sakit, sedih, aku mengerti". Terbatas diriku dalam membantu, namun jika tulisan ini menjangkaumu, aku harap kau bisa beradaptasi di hari yang baru ini. 

Langkah-langkah pertama tidak perlu menunggu hati yang yakin. Tetaplah berjalan meskipun kadang kau harus berhenti untuk menangis. Tidak perlu kau paksakan dirimu berpikir bahwa kehilanganmu ini hal biasa sehingga kau menilai kau sudah bersikap berlebihan. Tidak. Di saat seperti ini berbaik-hatilah tidak hanya kepada orang lain yang tidak ingin kau susahkan. Berbaik-hatilah kepada dirimu sendiri.

Hari ini adalah hari baru bagi mereka yang telah kehilangan ayah, ibu, anak, saudara, dan orang-orang terkasih lainnya... Jika orang lain harus beradaptasi dengan pekerjaan atau nominal penghasilan yang baru, kau lebih lagi. 

Jika orang lain masih memperdebatkan kebijakan new normal  itu baik atau tidak, kau sudah terlanjur basah dalam kenyataan yang baru tanpa sempat bersiap. 

Berjalan lah pelan-pelan, kawan. Ketahuilah, tulisan ini pun doa dari seseorang yang tidak mengenalmu, namun tersenyum kepadamu dari kejauhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun