Mohon tunggu...
Angela Ayu Putri Mahardika
Angela Ayu Putri Mahardika Mohon Tunggu... Lainnya - mom of three kittens

Live the life or death.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kain Gringsing, Kain Magis Pengusir Penyakit

17 Desember 2020   22:35 Diperbarui: 17 Desember 2020   22:45 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : https://gpswisataindonesia.info/

Bali merupakan pulau yang memiliki berbagai macam budaya. Bahkan budaya yang terdapat di Bali menjadi daya tarik wisatawan. Tidak hanya wisatawan domestik saja tapi juga mancanegara, Bali juga terkenal akan kain yang sering digunakan oleh orang Bali. Apalagi orang Hindu di Bali. 

Kain Gringsing merupakan salah satu kain yang berasal dari Bali. Terdapat satu artikel yang diterbitkan pada tribunnews.com mengenai Kain Gringsing. Artikel ini berjudulkan "Mengintip Pembuatan Kain Gringsing di Bali: Memakan Waktu Lima Tahun dan Punya Daya Magis". 

Artikel ini terbit pada Sabtu, 14 November 2020. Artikel ini menarik perhatian karena menuliskan bahwa Kain Gringsing memiliki daya magis. Lalu apakah sebenarnya Kain Gringsing itu?

 Kain Grinsing merupakan kain yang berasal asli dari Bali. Kain gringsing berasal dari kata "gring" (arti: sakit) dan "sing" (arti: tidak). Bila diartikan secara harafiah bermakna sebagai "tidak sakit" atau "terhindar dari penyakit." (Widianto, 2020). Oleh karena itu kain ini dikatakan memiliki daya magis untuk mengusir penyakit. 

Kain Gringsing dibuat dengan cara yang rumit dan berbeda dari kain-kain lainnya. Proses pembuatannya pun dengan cara teknik ikat ganda, teknik ini dikenal rumit dan membutuhkan kesabaran ekstra (Widianto, 2020). 

Bahkan waktu yang dibutuhkan untuk membuat Kain Gringsing adalah dapat hingga lima tahun. Tentunya lima tahun bukanlah waktu yang cepat untuk membuat suatu kain. Semakin sulit motifnya akan semakin lama dan juga semakin mahal. 

Kain Gringsing masih menggunakan pewarna alami untuk memberikan warna merah dan kuning.   Di pulau Bali Desa Tenganan lah yang menjadi lokasi terkenal memproduksi Kain Gringsing ini. Kain Gringsing ini menjadi suatu identitas budaya Bali.

Kain Gringsing biasanya digunakan pada upacara keagamaan atau upacara penting dalam kehidupan manusia, seperti pernikahan dan upacara potong gigi (Widianto, 2020). 

Kain Gringsing berperan penting dalam budaya Bali. Apalagi Bali merupakah daerah yang masih kental akan budayanya. Masih banyak upacara adat yang terus dilakukan dan dikembangkan hingga saat ini. 

Bali memang cukup berbeda dengan daerah lain. Budaya masih terus diwariskan dan diturunkan ke generasi muda. Salah satu hal yang membuat Kain Gringsing spesial adalah pewarna yang digunakan. Kain Gringisng menggunakan pewarna alami, tidak seperti kain di masa kini yang menggunakan pewarna buatan manusia. 

Untuk warna merah kata Ni Putu berasal dari akar sunti Nusa Penida. Sedangkan warna kuning berasal dari minyak kemiri (Widianto, 2020).  Proses penyerapan warna agar dapat merasuk dan menghasilkan warna dengan sempurna tidaklah mudah. Dibutuhkan sekitar satu bulan agar warna benar-benar terlihat.

Kain Gringsing ini merupakan kain yang cukup mahal. Harga kain dimulai dari 350 ribu hingga puluhan juta. Jika dilihat dari cara pembuatan dari motif yang rumit, pewarna alami yang membutuhkan waktu lama kain ini memang sudah semestinya berharga cukup mahal. 

Apalagi, kain ini dipercayai memiliki kekuatan magis untuk menyembuhkan. Kain ini tentunya tidak dibuat dengan sembarangan. Kain Gringsing ini dapat disebut sebagai kain yang mulai langka. Hal ini disebabkan oleh pembuatannya yang memakan waktu tidak sebentar. 

Kain Gringsing merupakan warisan budaya yang haruslah terus dijaga. Agar tetap menjadi identitas dari budaya Bali. Selain itu agar upacara-upacara yang menggunakan Kain Gringsing dapat terus dilestarikan oleh generasi penerus. Mengingat upacara dengan Kain Grinsing memiliki makna yang baik.

Fong mendefinisikan identitas budaya sebagai "identifikasi komunikasi sistem bersama dari perilaku verbal dan nonverbal simbolik yang bermakna bagi anggota kelompok yang memiliki rasa memiliki dan berbagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma serupa perilaku yang sesuai. (Samovar, Porter, McDaniel, & Roy, 2017, p. 244). 

Masyarakat bali merupakan kelompok yang memiliki dan berbagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma serupa.  Kain Gringsing merupakan nonverbal simbolik yang bermakna bagi orang Bali. 

Kain Gringsing tidak dianggap hanyalah suatu kain tanpa makna. Pada artikel tersebut disebutkan bahwa Kain Gringsing sendiri dipercayai dapat menyembuhkan atau mengusir penyakit. 

Identitas budaya adalah konstruksi sosial (Samovar, Porter, McDaniel, & Roy, 2017, p. 244). Identitas dibentuk oleh anggota dari suatu kelompok tertentu. Lalu, apa itu budaya ?. Kata "budaya" atau "kebudayaan" berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Widyosiswoyo dalam (Sambas, 2016, p. 14)

 Selain itu terdapat identitas sosial. Identitas sosial diwakili oleh banyak kelompok yang Anda ikuti, seperti ras, etnis, pekerjaan, usia, kota asal, dan banyak lainnya (Samovar, Porter, McDaniel, & Roy, 2017, p. 245).  Kain Gringsing dapat menunjukkan suatu identitas sosial bagi yang menggunakannya. 

Orang-orang yang melihat Kain Gringsing akan dapat mengetahui identitas sosial orang yang menggunakannya. Karena bagi yang mengerti asal Kain Gringsing akan sadar bahwa orang yang memakai kain tersebut merupakan orang Bali. 

Orang Bali yang dimaksud dapat orang yang lahir di Bali ataupun orang yang pindah dan menetap di Bali. Tetapi, ada juga yang disebut dengan identitas manusia. Identitas manusia adalah persepsi diri yang menghubungkan Anda dengan keseluruhan (Samovar, Porter, McDaniel, & Roy, 2017, p. 245). Persepsi diri ini yang dapat membentuk identitas seseorang. Seperti orang yang pindah ke Bali dan mengikuti budaya Bali.

 Kain Gringsing dapat menunjukkan suatu identitas lainnya. Identitas tersebut adalah identitas komunal. Identitas komunal "biasanya dikaitkan dengan komunitas [sosial] skala besar, seperti kebangsaan, etnis, jenis kelamin, atau afiliasi agama atau politik" (Samovar, Porter, McDaniel, & Roy, 2017, p. 246). 

Identitas komunal yang dimaksud adalah identitas sebagai masyarakat Bali. Tidak hanya digambarkan sebagai "orang Bali" saja. Tetapi bagian dari masyarakat Bali yang masih melestarikan budaya dan masih menggunakan kain khas Bali.  Identitas juga dapat diklasifikasikan sebagai warisan  atau diakui, berdasarkan bagaimana mereka diperoleh, perbedaan yang mengacu pada apakah suatu identitas diperoleh secara tidak sengaja atau sukarela (Samovar, Porter, McDaniel, & Roy, 2017, p. 259). 

Orang Bali yang menggunakan Kain Grinsing diklasifikasikan sebagai dua. Ia lahir dan besar di Bali sehingga identitas etnis Bali. Tetapi, terdapat kemungkinan lain orang lain yang secara sukarela tinggal atau menikah dengan orang Bali dan mengikuti upacara adat. Dalam upacara adat tersebut ia menggunakan Kain Gringsing.

Kain Grinsing yang mungkin dianggap hanyalah sebuah kain ternyata memiliki makna yang lebih dari itu. Kain Grinsing bukanlah sebuah kain tanpa makna hanya digunakan sehari-hari saja. 

Kain Grinsing dapat menggambarkan suatu identitas budaya bagi yang memakainya. Selain itu, Kain Grinsing dibuat dengan rangkaian yang rumit dan hati-hati. 

Agar, dapat digunakan dalam suatu upacara dengan tujuan sangat baik yaitu terhindar dari penyakit. Kain Grinsing merupakan kain yang unik dan langka hingga menarik hati banyak wisatawan yang datang ke Bali. 

Tentunya Kain Grinsing tidak hanya menarik wisatawan lokal. Wisatawan mancanegara banyak yang tertarik. Apalagi setalah mengetahui makna dari Kain Grinsing. Harganya yang tergolong tidak murah dan pembuatannya yang cukup memakan waktu tidak membuat Kain Grinsing tidak menarik perhatian lagi. Sayangnya karena pandemi covid perajin Kain Grinsing terkena dampaknya karena kurangnya turis yang datang (Widianto, 2020)

Daftar Pustaka

Sambas, D. H. (2016). Antropologi Komunikasi. Bandung: CV Pustaka Setia.

Samovar, L. A., Porter, R. E., McDaniel, E. R., & Roy, C. S. (2017). Communication Between Cultures. Boston: Cengage Learning.

Widianto, W. (2020, November 14). Tribun Lifestyle. Retrieved from Tribunnews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun