Mohon tunggu...
Angela Sunaryo
Angela Sunaryo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fighting~

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Harumnya Coffee Latte

30 Januari 2020   18:35 Diperbarui: 30 Januari 2020   18:30 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik harumnya kopi latte, aku dapat merasakan sebuah rasa yang dibumbui oleh hubungan persahabatan. Aku meneguk secangkir kopi yang berada di atas meja kayu tua dengan sebuah buku di pangkuanku. Rasanya memang sangat lelah setelah sekolah berakhir dan tugas selalu saja menumpuk. Oleh karena rasa lelah, aku memutuskan untuk bersantai di sebuah kedai kopi dekat sekolah. Lagipula, selain bisa menikmati kopi, aku juga bisa bersantai dengan seorang sahabatku yang bekerja sebagai barista di kedai kopi ini. Namanya Billy.

Ia sangat populer terutama di kalangan para wanita. Mereka kebanyakan mengidolakan Billy karena keterampilannya membuat kopi dan juga penampilannya yang rapi dan tampan. Meskipun begitu, ia tetap tidak melupakanku sebagai sahabatnya. Belum lama aku meneguk kopi latte itu, ia langsung menghampiriku dan duduk di seberangku.

" Axel," panggilnya. " Bagaimana sekolah? Kayaknya lu kecapekan gitu."

" Iya nih, Bro. Tugas numpuk banget. Masa hari ini baru dikasih tugasnya besok udah harus ngumpulin.," keluhku. Ia malah menertawakanku lalu ia berkata lagi. " Semangat dong mas bro. Anyway kayaknya sepatu baru tuh." Ia melihat ke arah sepatuku sambil senyum-senyum meledek.

" Iya, baru beli sih kemarin. Siapa tahu derajat gue naik kalau pakai sepatu bermerek begini. Emangnya cuma lu doang yang bisa populer," candaku diikuti dengan tawaan. " Ada-ada aja lu, Bro. Asal lu tahu, gue sendiri juga bingung kenapa gue bisa tiba-tiba populer padahal gue ngerasa diri gue kayak pas-pasan. Bisa beli makan aja gue udah mengucap syukur. Ini aja kalau gue nggak kepepet, gue nggak bakal kerja shift tiap pulang sekolah."

Aku medesah ketika mendengar keluh kesah Billy. Aku tahu dia memang secara finansial kurang, tetapi kepopulerannya sering kali membuatku iri terhadapnya. Setiap hari ia disapa oleh orang-orang di sekolah, kedai kopi, bahkan di jalanan. Semua orang sepertinya kenal dia dan ia sendiri juga disukai oleh semua orang. Di sisi lain, aku merasa tidak ada seorang pun selain Billy yang benar-benar mengenalku. Setiap harinya, aku merasa sendirian dan aku juga merasa tidak ada seorang pun yang mempedulikanku kecuali sahabatku yang satu ini. Aku menatap Billy dan berusaha untuk mengetahui rahasia di balik kepopulerannya itu.

Awalnya aku berpikir dengan memiliki banyak barang bagus dan bermerek, aku bisa jadi terkenal seperti Billy. Demi keinginanku untuk menjadi populer, aku mengikuti beberapa trend yang ada juga seperti memakai baju oversized, celana robek-robek, jam tangan rolex, sepatu nike airmax, dan masih banyak lagi. Semuanya telah kucoba, tapi lagi-lagi, orang yang mempedulikan perubahan-perubahan itu hanyalah Billy, sedangkan orang lain di sekitarku hanya melirik sebentar lalu pergi. Aku merasa tidak puas dengan apa yang aku punya. Rupanya, apa yang aku miliki tidak membuatku populer semudah itu.

Sekali lagi, aku menatap Billy dengan penuh keheranan. " Kenapa, Bro? Ngeliatin gue kayak lagi ngeliatin apa aja," ucapnya yang membuatku malu sendiri. " Jangan-jangan lu gay ya ngeliatin gue mulu?"

" Ihh, nggak lah. Gue cuma penasaran tentang bagaimana lu bisa sepopuler sekarang ini," tanggapku dengan jujur. Ia terdiam sejenak lalu ia mulai berkata lagi. " Jadilah diri lu sendiri aja. Terkadang, menjadi pribadi yang sepenuhnya diri lu sendiri itu jauh lebih baik dibanding mencoba untuk menjadi orang lain yang menurut lu populer. "

" Iya sih. Gue tahu. Akan tetapi, gue kayak merasa menjadi diri gue sendiri doang nggak cukup untuk bikin gue populer. Lu pasti tahu lah." Ia mendesah dan mengangguk. " Lihat dari sisi positif saja. Kamu sering memenangkan lomba karya tulis hingga ke tingkat internasional. Penulis-penulis di Indonesia pasti mengenalmu, Xel. Menurut gue, itu jauh lebih keren dibandingkan menjadi populer di kalangan masyarakat sekitar kota ini."

Ucapan Billy memang ada benarnya juga. Banyak penulis terkenal mengenaliku dan beberapa di antara mereka sengaja membeli buku-buku yang kutulis untuk mempelajari gaya menulisku. Namun, aku tetap saja tidak puas. Terkenal di kalangan penulis menurutku masih biasa saja. Toh, di luar sana, masih banyak yang tidak mengenalku, bahkan di sekolah pun tidak ada yang benar-benar mempedulikanku dan karya-karyaku.

BRAKKK!

Belum lama aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba saja ada sekumpulan orang langsung membanting pintu kedai kopi hingga pintu kacanya pecah. Hal itu membuatku dan juga pengunjung di kedai kopi langsung menoleh ke arah pintu masuk dengan kaget disertai dengan suara teriakan pengunjung.

Salah satu orang yang membanting pintu itu langsung berteriak. " Di sini siapa yang namanya Axel?" Aku langsung menunduk dengan ketakutan. Billy yang berada di seberangku langsung berdiri dan menghadap orang yang berpakaian ala preman itu dengan satu gengnya.

"Ada apa ya, Mas?" tanya Billy layaknya orang yang bertanggung jawab atas kedai kopi ini. " Kami ingin bertemu bocah tengil yang namanya Axel. Tadi salah satu rekan kami ada yang bilang kalau dia pasti nongkrong di sini."

" Mungkin informasi yang Mas dapat salah. Di sini tidak ada pelanggan yang bernama Axel," ucap Billy berbohong. Demi melindungiku, ia berbohong di depan preman itu.

" Halah!" Preman itu langsung mendorong Billy hingga terjatuh. " Bohong! Dia pasti ada di sini." Setelah ia selesai berkata, ia memberi kode kepada anak-anak buahnya itu untuk memeriksa tiap pelanggan yang ada. Aku duduk di meja pojokan sehingga mereka tidak langsung mengenaliku jika tidak memeriksa satu per satu.

Aku berusaha untuk memasang muka datar dan tenang meskipun dalam hati, aku merasakan takut yang luar biasa. Sudah kuduga, mereka pasti mengincarku dan menagihiku. Setelah beberapa menit, rupanya mereka tetap mengenaliku ketika mereka memeriksaku. Saat itu juga, salah satu dari mereka mencengkeram kerah baju sekolahku dan menonjok wajahku. Aku langsung terjatuh setelah menerima pukulan yang sangat menyakitkan itu.

" Cepet, bayar utang sekarang! Kami sudah kasih kamu waktu sampai satu bulan, tapi kamu masih belum bayar-bayar. Memangnya kami kasih duit gratisan gitu." Preman itu menarik kerahku lagi dan menonjokku lagi untuk kesekian kalinya.

Ketika itu juga, pengunjung langsung berlari keluar kedai kopi, sedangkan Billy berusaha untuk berdiri dan menontonku ditonjoki dan dikeroyoki banyak orang.

" Cepetan, mana uangnya!" bentak preman itu. Aku tidak merespon dan aku hanya bisa membisu. Ternyata, dalam sekejap, air panas langsung melayang dari dalam panci ke arah preman yang sedang memukulku. Preman itu langsung melepaskan kerahku lalu meringis kesakitan juga.

" Siapa sih yang ngelempar air panas?" tanya preman itu dan ketika ia tahu siapa pelakunya, ia langsung berlari dan bergulat dengan sahabatku itu. "Dasar bajingan!"

" Jangan ganggu temen gue!" teriak Billy ketika ia sedang bergulat dengan preman itu. Aku dan anak-anak buah preman itu menonton mereka bergulat seakan sedang menonton film action. Tanpa kusadari, sobatku yang satu ini diam-diam juga jago berkelahi. Beberapa pukulan preman itu ditempisnya dan ia menojoki balik. Bukan hanya aku saja yang terpana melihat aksi gulatan itu, tetapi anak-anak buah preman itu juga sepertinya terpana melihat mereka berkelahi.

Meja-meja mulai berserakan dan kini mereka tidak hanya berkelahi tangan dengan tangan, tapi juga dengan barang-barang di sekitar kedai kopi. Beberapa gelas pecah dan serbuk-serbuk kopi terjatuh dan berserakan di atas lantai. Aku ingin membantu, tetapi tubuhku terlewat lemas dan aku merasa sudah tidak berdaya lagi.

Awalnya, aku mengira Billy akan memenangkan perkelahian, namun ternyata dugaanku salah. Salah satu pecahan gelas yang berserakan di lantai menancap sepatu Billy dan seketika itu juga, ia jatuh dan memegangi kaki kanannya yang tertusuk. Preman itu langsung tersenyum lalu ia mengambil sebuah pisau kue dan menodongkan pisau itu pada Billy.

" Jangan!" teriakku sambil berusaha untuk bangkit berdiri.

" Kalau kamu nggak bayar sekarang juga, nyawa dia bakal melayang," ancamnya yang membuatku semakin lemas ketika mendengarnya. Mau tidak mau aku harus melakukan sesuatu agar Billy tidak mati karena preman itu.

" Baiklah, aku bayarkan semua utangku, tapi lepaskan dia. Dia tidak salah apa-apa."

Preman itu langsung membanting pisau kue itu ke atas lantai lalu berjalan menghampiriku. Sambil meringis kesakitan, aku melepaskan sepatu yang baru aku beli, jam tangan rolex yang ada di pergelangan tanganku, dan tanpa segan-segan, aku membuka bajuku dan celana sekolahku serta mengeluarkan handphone S9+ milikku. Kuserahkan semuanya kepada mereka. Setelah itu, aku  mengambil kartu identitasku dari dompet dan mengambil kartu-kartu penting lainnya lalu aku menyerahkan sisa isi dompetku kepada mereka termasuk uang jajan bulananku dan sisa uang pinjaman yang belum terpakai.

" Ambil semuanya dan jangan pernah kembali menagihku lagi apalagi mengancam nyawa orang," ucapku kepada mereka. Mereka langsung tertawa senang setelah menerima semua yang kuberikan. Aku pikir semua benda itu sudah cukup untuk membayar utangku dan tanpa berbasa-basi lagi, mereka langsung meninggalkan kedai kopi dengan puas.

Di tengah kacau balaunya isi kedai kopi, aku berjalan menghampiri Billy dengan hati-hati karena ada banyak beling berserakan. Setelah itu, aku membantu Billy berdiri dan mendudukannya pada salah satu kursi. Ia menangis kesakitan dan setelah aku lihat, darahnya mengucur banyak dari dalam sepatunya sehingga menyisakan bercak-bercak darah di atas lantai. " Aaaa!" teriaknya kesakitan ketika aku mencabut beling itu dengan cepat.

" Maafkan, Bil. Gue harus mencabut beling itu supaya gue bisa ngelepas sepatu lu," ucapku lalu aku melepaskan sepatunya. " Di dalam lemari dekat wastafel ada kotak P3K."

Dengan cepat aku mengambil kotak P3K dan singkat cerita, aku mengobati luka Billy lalu ia gantian mengobati lebam yang ada di wajahku. " Bagaimana lu bisa berurusan sama mereka, Xel?" tanya Billy yang tengah mengobatiku.

" Panjang ceritanya, Bil." Pada akhirnya, aku memberitahu semua rahasiaku di balik barang-barang mahal dan bermerek yang aku beli. " Karena keterbatasan uang yang gue miliki, gue mutusin untuk minjem uang ke mereka. Lagipula, mereka juga termasuk salah satu sponsor yang ngedukung gue dalam salah satu karya tulisan gue. Gue pikir gue bisa cepat mengembalikan uang pinjaman itu, tapi lu tahu sendiri. Gue sempat terbutakan sama keinginan gue untuk jadi populer jadinya gue mulai serakah. Gue gunain semua pinjaman itu dan meminjam lagi. Gara-gara itu, mereka selalu nagih utang gue dan karena gue nggak bayar-bayar, mereka membayar preman untuk mengincar gue. Itulah mengapa preman-preman tadi langsung nagih gue, bahkan sampai rela ngancem-ngancem."

Billy mendengarkan tanpa berkomentar apapun ketika aku bercerita. Selesai aku menceritakannya, ia langsung menegurku. " Lain kali, jangan pernah pinjam-pinjam uang. Nggak bagus. Urusannya jadi ribet."

" Iya, Bil. Gue tahu," balasku sambil mengacak rambutku karena stress. " Jujur aja, Bil. Gue ngerasa iri sama lu." Billy yang tadinya biasa saja langsung menatapku dengan tercengang.

"  Setiap gue ngelihat lu, gue ngerasa iri sama kepopuleran lu. Lu disukai sama semua orang, sedangkan gue kayak nggak banyak diperhatiin. Dalam hati, gue juga pengen jadi populer kayak lu soalnya gue sendiri juga jadi minder punya temen super populer, tapi gue cuma gini-gini doang. Gue ngerasa nggak layak jadi temen lu." Billy menatapku lekat-lekat. Ia sepertinya akan memarahiku dan merasa kecewa menjadi temanku. Aku bisa melihat dari raut wajahnya.

" Xel, lu selalu layak jadi temen gue kapan pun itu dan bagaimana pun itu," ucapnya yang di luar ekspetasiku. " Lu nggak harus jadi populer seperti yang lu lihat dari dalam hidup gue. Menurut gue, jadi populer itu nggak salah, tapi alangkah baiknya kita tidak menjadikan popularitas sebagai nomer satu. Menurut gue, salah satu hal yang terpenting adalah relasi. Terlebih lagi relasi dengan orang-orang di sekitar kita seperti sahabat dan  satu-satunya sahabat yang mau nemenin gue tiap pulang sekolah dan mikirin gue kayak lu contohnya."

Kini, giliran aku yang menatapnya dengan penuh haru. " Dari sekian banyak orang, belum tentu semuanya itu akan benar-benar mempedulikan. Kalau saja mereka tahu kalau gue miskin dan kurang secara ekonomi, mereka pasti akan banyak menjauhi gue, tapi lu, lu tetap ada meskipun lu tahu kekurangan-kekurangan gue dan sekarang, gue udah ngerasa kalau lu adalah saudara gue. Jadi, jangan pernah mikir kalau lu nggak layak jadi sahabat gue. Oke?"

Aku tersenyum lalu menjawab," Oke, Bro."

Seharian itu, kami penuhi dengan senda gurau. Sore telah beralih menjadi malam dan sebelum aku pulang, Billy menghidangkan secangkir kopi latte lagi setelah ia selesai membereskan kedai kopi. Setelah itu, ia duduk dan menceritakan banyak hal.

Memang, tiada yang lebih indah dari kehadiran seorang sahabat 

dan secangkir kopi latte.


[fin]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun