http://theglobal-review.com/wp-content/uploads/2017/09/woment-comfort-the-new-york-tmes-648x336.jpg
Tahun 1942
"Arghhhh!!! Lepaskan aku, pergi kau dasar nipon!" seruku dengan keras. Aku berusaha melepaskan diriku dari cengkraman tangan orang jepang di leherku. Tapi tanpa kusadari, nafasku semakin sesak dan mataku mulai tertutup. Namaku Risa dan inilah akhir riwayatku.
Detik-detik kematianku ...
Hidup bagaikan sebuah bunga yang baru kemarin mekar namun keesokkannya mati. Itulah yang dikatakan kakekku saat aku masih kecil, namun sekarang bagiku hidup itu seperti hidup di neraka bahkan bisa dibilang lebih baik mati.
Aku tak tahan lagi dengan pekerjaan seperti ini! seruku dalam hati. Air mata mulai menetes dari kedua pipiku. Aku sudah tak tahan lagi. Bagaimana aku bisa membiarkan diriku menjadi pekerja seks bagi orang Jepang. Sungguh aku menyesal menerima tawaran menjadi pekerja "pusat rekreasi". Tak kusangka teman karibku Asri menipuku. Aku datang seperti orang bodoh yang tidak mengetahui apa-apa dan pada akhirnya terjebak di rumah bordil, tempat pemuas hawa nafsu laki-laki.
Aku sudah bekerja di tempat ini selama dua tahun, dan aku sudah dikategorikan sebagai pekerja seks kelas bawah karena sudah begitu banyak laki-laki yang memasuki diriku. Tapi meski sudah bertahun-tahun aku bekerja, aku masih mengingat jelas kedatanganku pertama kali ke tempat ini.
Aku ingat saat itu aku berharap akan mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan restoran jepang seperti kata Asri. Tapi aku merasa janggal karena tempatnya penuh dengan pintu-pintu yang tertera nomor kamar tersebut. Aku juga melihat gadis-gadis yang berusia sekitar 11 tahun dan yang sudah 40 tahun. Hatiku gundah, entahlah ada yang aneh pikirku saat itu.
Kulihat seorang perempuan jepang yang elok parasnya melangkah kemari dan mulai mengategorikan kami menggunakan label. Saat perempuan jepang tersebut berdiri didepanku, terlihat sekali matanya melebar dan bibirnya tersenyum.
Ia berkata,"Selamat kamu termasuk golongan kelas atas! Nama kamu sekarang adalah Hanako karena kamu cantik seperti bunga. Aku berharap kamu dapat bekerja dengan baik ya."
Perempuan itu kemudian memberikan aku sebuah kunci kamar dan sebuah plastik. Kemudian tak lama setiap perempuan diberikan suatu minuman seperti jamu pikirku. Awalnya aku pikir minuman ini sebagai welcoming drink tapi ada yang aneh.