MENGGALI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TOIT NENUF MA’TANIF DALAM UPAYA PELESTARIAN SUMBER MATA AIR
Pelestarian nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran agama yang berkaitan dengan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan merupakan salah satu wujud konservasi secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran agama penting untuk disemai dan disebarluaskan agar manusia merasakan bahwa menjaga alam dan lingkungan adalah bagian dari ajaran agama, sehingga alam dapat memberikan kekayaan untuk kemakmuran umat manusia yang mau berupaya untuk menjaga dan menghormati hak-hak alam. Salah satu bentuk kearifan lokal yang harus menjadi perhatian bagi masyarakat adalah upaya melestarikan sumber mata air.
Masyarakat Ekafalo yang berada di desa Oinbit, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah masyarakat yang masih memegang teguh pentingnya kearifan lokal. Kearifan lokal yang masih dijalankan oleh masyarakat Ekafalo sampai saat ini adalah Toit Nenuf Ma’tanif. Toit Nenuf Ma’tanif merupakan bahasa daerah masyarakat setempat, yang memiliki arti meminta kekuatan dan ketegaran. Toit Nenuf Ma’tanif dilakukan dengan mengadakan suatu upacara adat di sumber mata air pemali suku Neonbeni setiap tanggal 4 November sebagai bentuk penghormatan masyarakat Ekafalo kepada Sang Pencipta sekaligus menghormati para leluhur yang telah menemukan dan menjaga sumber air pemali suku Neonbeni. Selain itu, melalui upacara tersebut masyarakat Ekafalo mau menunjukkan seberapa besar mereka menghargai alam, lewat nilai-nilai dalam upacara adat yang telah mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
- Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Model atau tipe penelitian yang digunakan peneliti adalah metode deskriptif yang dapat menerangkan dan memprediksikan sebab dan akibat dari pilihan-pilihan kebijakan dan untuk mendapatkan data secara langsung yang berhubungan dengan pola kepercayaan suku Dawan.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini terjadi di Ekafalo. Lokasi ini terletak di dalam wilayah Oinbit, Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara.
Subjek Penelitian
Subyek penelitian ini yaitu para tua adat dan tokoh-tokoh mayarakat.
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber Data
- Data Primer. Data primer adalah data penelitian yang diperoleh dari sumber asli. Data primer ini diperoleh melalui wawancara dengan berupa informan sebagai narasumber. Informan-informan tersebut berasal dari beberapa orang yang dianggap profesional dan beberapa pengurus inti dalam ritual adat Toit Nenuf Ma’tanif. Para informan ini diambil dengan memperhatikan keragaman karakter yang ditemukan dalam setiap suku dan tokoh-tokoh penting. Selain itu, penulis juga menggunakan informan lain sebagai narasumber pendukung untuk menguji kebenaran data yang ada.
- Data Sekunder. Data sekunder diperoleh dari sumber tambahan lain atau sumber tidak langsung yang memberikan data pada saat pengumpulan data. Sumber-sumber yang menjadi data sekunder berupa catatan pengalaman, foto-foto.
Teknik Pengumpulan Data
- Observasi. Teknik yang digunakan oleh penulis dalam pengumpulan data adalah observasi yang pasif. Dalam observasi ini, penulis mengamati di tempat kegiatan orang yang diamati tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan.
- Wawancara. Cara lain yang digunakan penulis dalam pengumpulan data adalah wawancara. Wawancara merupakan salah satu instrumen yang digunakan oleh penulis untuk bertukar informasi berupa tanya jawab tentang Kearifan Lokal Toit Nenuf Ma’tanif.
Gambaran Umum Tentang Informan
Para informan yang menjawab pertanyaan wawancara adalah Kepala Desa Oinbit, para tokoh-tokoh adat dan beberapa tokoh yang memiliki peran penting dalam masyarakat, serta aktif mengambil bagian dalam upacara Toit Nenuf Ma’tanif. Jumlah suku yang berada di Ekafalo 12 suku. Dari 12 suku tersebut, yang dijadikan informan dalam penulisan adalah 12 tokoh adat dari setiap suku. Diambil juga 7 orang yang dijadikan sebagai informan tambahan dalam memperkuat penulisan, yaitu 2 orang tokoh agama, 2 orang tokoh pendidikan, 2 orang remaja/OMK dan 1 orang tokoh perempuan. Jumlah informan yang diajukan penulis sebanyak 20 orang untuk menjawab 6 pertanyaan wawancara.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil Observasi
- Dari hasil observasi dapat disimpulkan bahwa masyarakat Ekafalo yakin bahwa kehidupan mereka tidak dapat terlepas dari adat istiadatnya. Maka tradisi ini diyakini sebagai bentuk khas dari budaya asli mereka, yang dapat membentuk pola hidup mereka yang lebih sejahtera. Toit Nenuf Ma’tanif sudah menjadi “tradisi” dalam masyakat Ekafalo. Upacara atau ritual adat “Toit Nenuf Ma’tanif” merupakan sikap meminta kekuatan, keajaibaan atau mukjizat, dengan melakukan upacara adat dan pemasangan salib Kristus di sumber mata air pemali suku Neonbeni. Setiap tahun pada tanggal 4 November, selalu dijalankan ritual adat di sumber mata air itu sebagai bentuk penghormatan masyarakat kepada Uis Neno sebagai Pencipta langit dan bumi, yang dipercaya oleh nenek moyang atau manusia sebelum adanya agama. Kepada Uis Neno itulah masyarakat Ekafalo memanjatkan doa, permohonan serta keluh kesah mereka, sekaligus meminta bantuan leluhur untuk menjaga anak cucu mereka. St. Ignasius dari Loyola, pernah mengatakan, “Tuhan menciptakan manusia, supaya ia mengenal-Nya, mencintai-Nya dan mengabdi kepada-Nya, bahagia bersama Dia untuk selama-lamanya di surga”. Doa merupakan sarana untuk manusia dapat sampai kepada Allah dalam Kerajaan Surga. Doa adalah pembicaraan manusia dengan Allah, bahkan menghadirkan Allah sebagai partner dalam wacana. Maka doa adalah berbicara dengan Allah dalam ucapan kata-kata, bahkan diam tanpa kata.
- Tradisi Toit Nenuf Ma’tanif yang dihidupi masyarakat Ekafalo, juga dipandang sebagai sarana komunikasi antara anggota masyarakatnya dengan Yang Ilahi/Wujud Tertinggi, sekaligus membangun komunikasi dengan para leluhur. Bahkan menjadi sarana untuk meminta “sesuatu”. Maka bila ada anggota masyarakat yang sakit atau gagal dalam suatu usaha, dan jika mereka setia melakukan ritual adat di tempat itu, doa mereka pun dapat dikabulkan. Itu sebabnya, mengutip Paul Tillich, Budi Kleden mengatakan, doa bukanlah sebuah ulasan ilmiah dengan pertimbangan ratio yang ketat, sebaliknya, “doa lahir dari ekspresi terdalam manusia yang hendak hadir di hadapan Allah sebagai “Sesuatu” yang menyentuh manusia seluruhnya”.
- Bagi masyarakat Ekafalo, tradisi lokal Toit Nenuf Ma’tanif merupakan tradisi nenek moyang bahkan kearifan lokal sejak dahulu kala dan yang mengandung nilai-nilai budaya luhur yang tinggi, sehingga menurut Theresia Nanu tidak bisa dipahami atau ditafsir sebagai satu bentuk “penyembahan berhala”.
Analisisi Data dan Pemikiran Kritis
Masyarakat Ekafalo yang mayoritas pekerjaannya sebagai petani, semakin mendorong masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam menjalankan tugas untuk memelihara alam yang telah diberikan oleh Tuhan dan diwariskan oleh nenek moyang, sebab mereka menyadari dirinya punya keterbatasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Manusia yang pada dasarnya membutuhkan alam melihat bahwa nilai-nilai kearifan lokal mampu menjawab persoalan zaman, sehingga masyarakat akhirnya taat dengan keputusan-keputusan yang dibuat bersama dalam upaya pelestarian sumber mata air tersebut.
- Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Toit Nenuf Ma’tanif antara lain:
Nilai Religius. Dapat dilihat dari bentuk rasa syukur masyarakat Ekafalo kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta. Nilai-nilai agama/religius sebagai kebajikan Atoni Meto yang tergambar dalam siklus pelaksanaan upacara dan kehidupan komunitas adalah menghormati Yang Maha Tinggi yang terungkap jelas dalam syair-syair doa yang dipanjatkan oleh tua adat dan juga sebagai tanda menghormati yang lebih tua atau arwah leluhur.
Nilai Sosial. Hal ini terlihat dalam semangat gotong-royong dan kerjasama antar masyarakat maupun suku dalam menjalankan tradisi Toit Nenuf Ma’tanif dan ketaatan terhadap aturan/larangan yang telah ditetapkan. Toit Nenuf Ma’tanif sebagai sarana interaksi sosial masyarakat juga mengajak masyarakat setempat berkumpul dengan mencerminkan rasa solidaritas dan perdamaian antar suku agar mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan.
Nilai Pendidikan/Pengetahuan. Toit Nenuf Ma’tanif juga kini menjadi sarana pengetahuan bagi generasi muda untuk belajar tentang kultur/kebiasaan nenek moyang.
Menghargai Alam. Melaui Toit Nenuf Ma’tanif semakin mengajarkan masyarakat untuk menanamkan rasa hormat bagi alam sebagai sumber yang memberi hidup bagi semua makhluk.
Nilai Ekonomi. Alam dapat diolah menjadi penunjang ekonomi masyarakat.
Nilai Kerabatan. Sirih pinang yang merupakan sarana komunikasi religious, menjaga hubungan baik dengan leluhur dan merupakan segi etika dalam menerima tamu.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Erna Niman Mena, yang mengatakan bahwa kearifan lokal dengan nilai-nilai budaya yang melekat pada masyarakat menjadi dasar dalam mengelola lingkungan alamnya, sehingga kesinambungan dan keselarasan hidup dengan alam akan tetap terjaga dengan baik. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat syarat dengan unsur- unsur spiritual, mitos, dan kepercayaannya. Rim-Rukeh dalam jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio yang mengatakan bahwa pengetahuan praktis dalam budaya lokal masyarakat tertentu memiliki peran dalam konservasi dan melindungi hutan serta sumber daya alam lainnya.
Dengan demikian, kearifan lokal kini membawa dampak yang baik bagi masyarakat Ekafalo karena telah membuka banyak pemikiran masyarakat dalam proses berpikir, bertindak dan bersikap arif dan bijaksana dalam mengamati, memanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu lingkungan hidup yang saling timbal balik.
Dampak Toit Nenuf Ma’tanif Terhadap Kehidupan Masyarakat Ekafalo
- Terdapat beberapa dampak positif dari Toit Nenuf Ma’tanif, antara lain:
- Masyarakat memiliki hubungan yang baik dengan Sang Pencipta. Melalui upacara ini masyarakat Ekafalo lebih mengenal Allah dengan sebutan Uis Neno, Apinat, Aklaat, yang telah memberikan kehidupan beserta segala isinya. Mengutip pelestarian lingkungan dalam kitab perjanjian baru yang telah dipaparkan diatas, memanfaatkan alam adalah bagian dari pertanggungjawaban talenta yang diberikan/dipercayakan Tuhan kepada manusia untuk dilipatgandakan hasilnya, disuburkan, dan dijaga agar produknya tetap optimal.
- Warisan budaya yang dijaga dan dilestarikan. Kearifan lokal bukan hanya tentang pemahaman atau pengetahuan masyarakat adat/lokal tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik diantara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi antara semua, dimana seluruh pengetahuan itu diamati, dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya.
- Masyarakat Ekafalo semakin menghormati alam. Upacara Toit Nenuf Ma’tanif kini juga mengajak masyarakat untuk menghargai dan merawat alam sebagai sumber kehidupan mereka. Menurut Arsyad, kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang telah dirumuskan bersama adalah upaya tindakan konservasi alam. Konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat, ruang atau objek, agar makna kultural yang terkandung di dalamnya terpelihara dengan baik.
- Kebutuhan Terpenuhi. Air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Ekafalo kini ditata sedemikian mungkin sehingga air tersebut dapat mengairi persawahan masyarakat setempat dan juga dialirkan ke setiap sudut kampung untuk memenuhi kebutuhan makan minum masyarakat Ekafalo sehari-hari.
Dikutip dari pendapat Edi Suryadi dalam teorinya tentang pelestarian sumber air yang telah dipaparkan diatas, mengatakan bahwa kegagalan dalam pengelolaan sumber daya air akan memicu konflik sosial antar wilayah yang tidak terhindarkan. Adapun dampak negatif yang terjadi apabila upacara Toit Nenuf Ma’tanif tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat, antara lain:
Timbulnya rasa iri di antara sesama suku maupun antar suku, sehingga berbagai cara busuk dilakukan misalnya dengan memasukkan barang-barang pemali ke sumber air seperti taintune, bone dan bako. Hal tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat akan mendatangkan bencana kekeringan maupun kelaparan.
Manusia menganggap dirinya sebagai penguasa. Ada sebagian oknum yang menganggap dirinya sebagai subyek dan alam sebagai obyek eksploitasi demi kepuasan dan kerakusan dirinya. Akhirnya alam menjadi rusak karena alam dianggap memiliki kemampuan sendiri untuk mengatasi dampak-dampak negatif dari eksploitasi dan pencemaran. Mereka sering beranggapan bahwa alam menyediakan berbagai sumber daya yang tidak terbatas dan mampu tercipta kembali dengan cepat.
Kemarahan roh. Pada zaman dahulu pengetahuan manusia masih terbatas pada kepercayaan akan hal-hal mistik. Mereka percaya bahwa ada roh-roh yang menetap di tempat-tempat tertentu yang apabila dirusak oleh manusia maka akan menimbulkan kemarahan dari roh.
Kearifan lokal masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alamnya memang disalurkan melalui media tradisional seperti mitos, ritual dan pesan-pesan leluhur, yang sesungguhnya memberikan dampak yang positif terhadap kelestarian lingkungan hidup masyarakat dan sekaligus menjaga keseimbangan ekologis. Setiap daerah memelihara lingkungannya dengan menerapkan nilai kearifan lokal budayanya, yang disebabkan karena masyarakat adat memiliki pola kehidupan yang percaya pada keluhuran, kepercayaan yang berunsur mistik, dan kepercayaan pada hal gaib yang sudah menyatu terhadap kelangsungan kehidupan mereka juga dalam hal memelihara lingkungan hidup mereka.
- Toit Nenuf Ma’tanif Sebagai Upaya Pelestarian
- Kondisi sumber air suku Neonbeni tidak pernah kering walau musim kemarau, keberadaan ini tak lepas dari praktek pemeliharaan yang dilakukan oleh sebagian penduduk sekitar yang dipelopori oleh tokoh setempat. Pemeliharaan dilakukan, sehubungan kebermanfaatan bagi penduduk setempat bahkan dari luar kampung, jika musim kemarau banyak penduduk yang memanfaatkan untuk keperluan hidup sehari-hari seperti mencuci, mandi dan sumber air minum. Upaya pemeliharaan ini dilakukan secara swadaya atau gotong royong sesama anggota masyarakat. Pada prinsipnya setiap warga harus menjadi pelopor dalam memberikan contoh pemeliharaan sumber air suku Neonbeni, diharapkan mampu membangun kebersamaan, cara ini yang sederhana dan praktis dilakukan tidak sekedar himbauan perlunya pemeliharaan tapi harus ada niatan yang kuat sebagai keteladanan hidup di masyarakat. Upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat Ekafalo dalam menjaga dan melestarikan sumber mata air pemali suku Neonbeni adalah sebagai berikut:
- Mengkramatkan Tempat-Tempat Tertentu.
Sumber mata air suku Neonbeni yang biasa disebut dengan air Naijalu’u ini, adalah air hidup yang telah digunakan sejak zaman nenek moyang dan menjadi warisan budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Masyarakat Ekafalo yakin akan adanya kekuatan Ilahi yang bersemayam di tempat-tempat khusus seperti sumber air, pohon-pohon besar yang sudah sangat tua usianya, yang dianggap keramat. Mereka percaya bahwa alam dapat memberikan hasil yang cukup bagi manusia dan sebaliknya, manusia juga memiliki peran untuk melindungi alam, seperti air pemali suku Neonbeni yang telah memberikan kehidupan yang layak bagi seluruh masyarakat Ekafalo. Hal ini sejalan dengan pendapat Djunaedi bahwa masyarakat adat memiliki sumber mata air yang dikeramatkan dan tidak sembarangan orang boleh memanfaatkannya, sehingga dapat memberikan arah pengaturan melalui kearifan lokal untuk memanfaatkan sumber air secara bijaksana. Sampai saat ini kepercayaan masyarakat adat pada kearifan lokalnya akan hutan kramat menjadi daya tarik sebagai upaya yang kuat untuk menjaga dan melestarikan sumber air.
- Adanya Hubungan Timbal Balik
- Masyarakat Ekafalo mengidentifikasi dirinya sebagai bagian yang terintegrasi dengan alam semesta dalam hubungan yang saling terkait, tergantung dan saling mempengaruhi. Hal ini sangat penting untuk menciptakan hubungan yang selaras, serasi dan seimbang untuk mencapai suasana harmonis antar manusia dengan lingkungannya. Menurut alam pikir masyarakat Ekafalo yang bercorak religius, alam semesta ini dihuni oleh roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangan struktur, mekanisme dan irama alam. Jika perilaku manusia menjadi serakah, merusak keseimbangan alam dan tidak selaras dengan irama alam maka akan terjadi gangguan, ketidak selarasan dan kegoncangan dalam alam semesta dalam bentuk bencana alam, wabah penyakit, banjir, kekeringan dan tanah longsor sebagai wujud kemarahan roh-roh penjaga alam tersebut. Bagi I Nyoman Nurjaya, pola pikir seperti ini menimbulkan praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, bertanggung jawab dan berkelanjutan, hanya saja di butuhkan partisipasi aktif seluruh masyarakat dan pemerintah untuk memayungi melalui kebijakannya berupa penyusunan regulasi di daerah agar berlaku secara umum tidak hanya masyarakat adat yang menjaga kelestarian fungsi air.
Adanya Pantang atau Larangan
Didukung oleh Rina Maryana dalam tulisannya tentang “Penerapan Nilai Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup” yang mengatakan bahwa masyarakat adat dengan karakter keagamaan, percaya akan leluhur dan selalu melakukan ritual yang mengandung nilai-nilai luhur. Mereka percaya bahwa disetiap tanah, hutan, sungai, selalu ada unsur gaib yang menjaga daerah tersebut sehingga masyarakat wajib menjaga kebersihan lingkungannya dengan tidak merusak lingkungan, menjaga kebersihan lingkungan, karena kepercayaan mereka bahwa ketika lingkungan hidup kotor dan tidak terjaga maka akan terjadi sanksi dari Tuhan atau sanksi gaib/musibah kepada masyarakat yang tidak menjaga lingkungannya dengan baik.
Adanya Pembangunan di Sumber Mata Air dan Lingkungan Sekitar
Tatanan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat Ekafalo setempat mengandalkan pengetahuan lokal (Local Ecological Knowledge) dalam tindakan pengelolaan mata air antara lain menanam pohon, gotong royong membersihkan mata air sebagai tempat penghayatan nilai-nilai luhur budaya yang didahului dengan melakukan tradisi adat sesudah tanggal 4 November. Selanjutnya membuat saluran air atau irigasi ke persawahan dan melakukan sosialisasi dalam menjaga mata air. Masyarakat Ekafalo tidak hanya melakukan tindakan pengelolaan mata air saja akan tetapi masyarakat juga melakukan tindakan konservasi mata air yaitu dengan tidak menebang pohon; sebaliknya mereka menanam pohon yang berdampak kepada peningkatan infiltrasi.
Upaya pelestarian lingkungan hidup kini menarik perhatian pemerintah daerah setempat untuk melakukan upaya pembangunan di sumber air pemali dengan memperbaiki jalur air, membuat bak-bak penampung di setiap RT/RW agar dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan-minum masyarakat. Kerjasama yang baik ini pun akhirnya menghasilkan sebuah bendungan yang disebut dengan bendungan Benkoko. Pemerintah dan lembaga adat setempat kini telah membuat berbagai macam aturan-aturan untuk tidak merusak alam. Hal ini justru mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat setempat sehingga mereka tidak sembarangan melakukan hal-hal yang melanggar aturan. Pembangunan yang tepat bukan berarti menghilangkan adat istiadat atau menghilangkan kekayaan budaya pada suatu daerah, tetapi untuk memajukan potensi dan kekayaan yang ada pada daerah tersebut. Sebab jika pembangunan tersebut malah menghilangkan adat istiadat, maka bisa dipastikan bahwa bangsa tersebut akan kehilangan jati dirinya.
Bagi masyarakat Ekafalo kearifan lokal kini dapat dimaknai sebagai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran yang dimaksud dilandasi dengan nalar yang jernih, budi yang baik dan memuat hal-hal positif untuk kemuliaan manusia. Tindakan masyarakat setempat untuk menganggap hutan sebagai keramat dan tidak mengganggu kawasan tersebut sebagai adalah satu kearifan lokal terhadap konservasi dan pelestarian sumber daya air. Dengan demikian upaya masyarakat Ekafalo dalam melestarikan sumber mata air adalah dengan menjadikan sumber mata air sebagai air pemali atau larangan, yang tidak boleh dirusak oleh manusia. Sumber mata air pemali kini dianggap sebagai suatu kawasan suci yang terdapat banyak larangan dan sanksi apabila melanggar.
Kesimpulan
Haruslah diakui bahwa kearifan lokal mampu menjawabi persoalan zaman, sebab kearifan lokal didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup dan pandangan hidup yang mengakomodasi kebijakan (wisdom). Kearifan lingkungan atau kearifan lokal sudah ada di dalam kehidupan masyarakat sejak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini. Kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat.
“Toit Nenuf Ma’tanif” merupakan sikap meminta kekuatan, keajaiban atau mukjizat, dengan melakukan upacara adat di sumber mata air pemali suku Neonbeni. Toit Nenuf Ma’tanif dimaknai sebagai sebuah kebijakan/kearifan lokal masyarakat Ekafalo yang mengandung nilai-nilai luhur budaya dan larangan-larangan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Selain itu, melalui ritual adat ini masyarakat Ekafalo juga mau menunjukkan seberapa besar mereka menghormati Tuhan yang dikenal dengan sebutan Uis Neno dan sekaligus menghargai para leluhur yang telah menjaga dan mewariskan alam dan kebudayaan bagi generasi berikut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
******
DAFTAR PUSTAKA
- Jurnal
Niman, Erna Mena. 2019. “Kearifan Lokal dan Upaya Pelestarian Lingkungan Alam”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio.
Maryana, Rina. 2016. “Penerapan Nilai Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.” Jurnal Pentitum.
Djunaedi. “Kajian Penataan Sumber Daya Air dan Konservasi Air Tanah Pada Wilayah Kritis Air”, Jurnal Teknik Pengairan (Journal of Water Resouces Engineering).
- Buku
Arsyad, S. 2014. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Heuken, Adolf. 1989. Jalan Perkembangan Agama Kristen. Jakarta: Cipta Loka Caraka.
Kleden, Paul Budi. 2008. “Doa adalah Jeritan Yang Melengking di Bibir Derita: Menyelisik Makna Doa Sosial Dalam Puisi-Puisi John Dami Mukese”, dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung, (ed.), Menukik Lebih Dalam, Kenangan 40 Tahun STFK Ledalero. Maumere: Penerbit Ledalero.
Nurjaya, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka Publishing.
Nugroho, Fajar. 2017. Konservasi Tanah dan Air. Sukoharjo: Sindunata.
Oesman, Arif. 2012. Membangun Logika Baru dan Pemikiran Modern. Klaten: Penaloza Modern.
Rappana, Patta. 2016. Membumikan Kearifan Lokal Menuju Kemandirian Ekonomi. Makassar: Cv Sah Media.
Suryadi, Edi. 2014. Pelestarian Sumber Air. Bandung: Rizqi Press.
U, Iswandi, dkk., 2020. Pengelolaan Sumber Daya Alam. Yogyakarta: Cv. Budi Utama.
Widayanti, Weka. 2011. Ekologi Manusia. Kendari: Unhalu Press.
Wawancara
Laurensius Seko, Kepala Desa Oinbit
Dominikus Amaunut, Tua Adat Suku Neonnub
Petrus Kima Oeleu, Tua Adat Suku Oeleu
Martinus Ninu Tanouf, Tua Adat Suku Tanouf
Rofinus Lopo, Tokoh Masyarakat
Theresia Nanu, Tokoh Pendidikan
Siprianus Teti Amaunut, Tua Adat Suku Neonbeni
Sebastianus Lona Sengkoen, Tua Adat Suku Sengkoen
Fransiskus Timo Naibaneo, Tua Adat Suku Naibaneo
Aloysius Banu, Tokoh Agama
Yohanes Aluman, Ketua OMK
Gabriel Fina, Tua Adat Suku Maunnese
Fransiskus Sila Tahoni, Tua Adat Suku Tahoni
Maria Sila Tahoni, Tokoh Perempuan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI