Mohon tunggu...
Anep Paoji
Anep Paoji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Masih Terus Belajar dan Mncoba terus Berkarya

Anep Paoji, saya tinggal di kota kecil indah dan bersahabat.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pesona Bordir Tasik di Kala Pandemi

17 November 2020   16:59 Diperbarui: 18 November 2020   08:18 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak lama Kecamatan Kawalu di Kota Tasikmalaya terkenal dengan produk kerajinan bordir. Bukan saja pasar domestik yang dirambah melainkan pasar dunia.

Dua kali seminggu, mobil-mobil boks dari Kecamatan Kawalu -sekitar 6 kilometer dari pusat Kota Tasikmalaya- mengangkut hasil bordiran perajin rumahan tersebut. Pasar tanah Abang-Jakarta, Pasar Beringhajo-Jogja, Pasar Solo, bahkan Surabaya menjadi pasar terbesar tujuan mereka. Tak luput pasar luar negeri seperti Dubai, Jedah, Malaysia, Brunei, dan Singapura menjadi tujuan ekspornya.

Salah satu praktisi senior sekaligus pionir bordir di Tasikmalaya adalah Haji Wawan, panggilan akrab Wawan Setiawan Nawawi. Pria kelahiran Tasikmalaya tahun 1964 ini merupakan generasi kedua Tjiwulan Embroidery di Kampung Cukang, Tanjung, Kawalu Kota Tasikmalaya. 

Meneruskan usaha orang tuanya, Bordir Tjiwulan miliknya ini layak disebut sebagai usaha pertama yang mendorong saudara, tetangga, hingga orang luar berbondong-bondong membuat produk olahan garmen yang khas ini.

Tak hanya itu, target pasar ekpor bordir Wawan sudah segmented. Pasar bordir luar negeri dijadikan dua klasifikasi. Pertama, klasifikasi menenga, misalnya konsumen di Timur Tengah seperti Jeddah dan Mesir. 

Konsumen di sana, masih mencari produk bordir yang biasa-biasa. Kedua, klasifikasi pasar luar negeri menengah atas antara lain di Jepang, Amerika, dan Australia.

Konsumen pasar ini sangat menginginkan bordir buatan tangan karena lebih natural dan penuh kreativitas perajinnya. "Karena yang diinginkan konsumen di negera maju tersebut bordir yang natural buatan tangan, harga berapapun tidak jadi masalah. Ke Jepang cuma bawa 1.000 pieces, bisa bikin malu sendiri," katanya kepada penulis.

Semua pencapaian itu, sambung suami Ida Farida dan ayah Faizah Nurazizah ini, diraihnya buah dari penerapan kebijakan yang melampaui manajemen modern. Maksudnya, ada faktor lain di luar jangkauan manajemen konvensional. 

"Salah satunya manajemen amanah serta semangat spiritual yang perlu dijaga semua pihak. Misalnya, shalat duha dan tahajud, selalu dilaksanakan selain salat fardu tentunya. Semangat spiritual ini banyak dilupakan manajemen modern, padahal dampaknya luar biasa."

Boleh jadi, ujar magister lulusan Tafsir Hadist Universitas Al-Azhar, Kairo ini, 80% keberhasilan usaha ditunjang dari aspek spiritual yang tidak terlihat itu serta 20% sisanya dari penerapan manajerial standar. 

"Bagi saya, tak ada pemisahan bisnis dengan kewajiban beragama. Menjalankan bisnis merupakan fardu ain, sama wajibnya dengan shalat. Ulama harus bisa jadi motivator masyarakat menjalankan bisnis berbasis spiritualitas," katanya.

Selain berbisnis, Wawan sehari-hari aktif dalam bidang pendidikan. Dia mendirikan SMP dan SMA Al-Amin di bawah Yayasan Pendidikan Islam Al-Amin yang lokasinya masih di Tanjung-Kawalu. Juga aktif sebagai Ketua Badan Amil Zakat (Bazda) Kota Tasikmalaya.

Dia melanjutkan, spirit ruhaniah ini membuatnya tak segan menularkan ilmu. Tjiwulan menyiapkan SDM khusus perajin bordir hasil tangan. Di lokasi produksi bordir disediakan kelas perajin bordir handmade, sekaligus pusat pelatihan busana muslim berbasis pesantren.

Setiap bulan diadakan pelatihan, baik dalam teknik membordir cara manual maupun pelatihan kewirausahaan. Tak jarang, pelatihan dibuat gratis, untuk menjaring perajin handal dan berdedikasi tinggi.

Wawan menyebutkan, core bisnis bordir Tjiwulan saat ini, sebenarnya dari bordir tradisional atau hasil bordir mesin kejek. Sedangkan bordir yang diproduksi mesin digital sifatnya pelengkap sekedar memenuhi bila ada permintaan.

MASALAH DAYA SAING

Saat ini, produksi bordir Kecamatan Kawalu sendiri demikian massal dengan dibantu perangkat teknologi komputer. Satu kali putaran produksi pada satu unit mesin bisa menghasilkan 5 hingga 10 pieces. Kebutuhan tenaga kerjapun relatif sedikit dengan ongkos produksi bisa ditekan.

Sayangnya, justru karena produksi bordir yang sedemikian massal, daya saing di pasaran dunia menurun. Ini akibat produk bordir Kawalu-Tasikmalaya menggunakan mesin yang sama dengan produk bordir di negara lain. 

Hasil bordir tidak lagi unik dan kaya kreativitas, tetapi hanya memenuhi tuntutan industri dengan kapasitas besar serta permintaan pasar semata. Hal itu memprihatinkan H. Wawan Nawawi.

Dia mengisahkan, di era tahun 1980-1990, khususnya dalam bidang kerajinan bordir, komoditas Tasikmalaya jadi salah satu terbaik di pasar dunia bila dibandingkan bordir India, Siria, Mesir, dan negara lainnya.

Sekarang, kondisi itu jauh berbeda. Para pengusaha dari India misalnya, sudah melek dengan peluang yang sedemikian besar yang selama ini dinikmati pengusaha bordir Indonesia. Mereka hampir berhasil mempelajari kerajinan bordir dan cara pemasarannya.

Perlahan dan pasti, produk bordir negara lain menggeser pasar bordir Indonesia di luar negeri. Ini membuat produk dalam negeri overload karena minim ekspor sementara pengusaha tidak punya posisi tawar dalam menentukan harga.

"Dengan kualitas bordir mesin digital, bordir Indonesia nyaris kehilangan kekhasannya. Tidak ada lagi sentuhan kreativitas. Kondisi ini berakibat fatal, pengusaha jadi sebatas jualan." 

Wawan berharap, pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dapat bertindak cepat. Pemerintah harus mampu menangkap gejala memburuk kondisi usaha masyarakat yang diklaim produk unggulan itu.

Kenyataannya tidak demikian. Pemerintah cuek terhadap kondisi usaha yang menjadi basis ekonomi rakyat. Pemerintah tidak punya strategi dalam melindungi produk-produk lokal agar sehat dan kuat dalam persaingan.

Menurut Wawan, ada beberapa poin dalam menata industri rumah tangga ini agar mampu eksis di pasar dunia. Antara lain pembinaan SDM, pembinaan tenaga kerja agar bisa terus berkarya dan bekerja secara profesional. 

Regulator juga harus memberi pembinaan kepada pelaku usaha baik dalam manajerial maupun konsultasi. "Kalau bisa, jumlah pelaku UKM yang banyak itu diberi konsultasi gratis yang dibayar pemerintah. Saya heran, kenapa jalan-jalan ke luar negeri menghabiskan uang besar dibiarkan. Kalau membina pelaku usaha pemerintah ngomong tidak ada anggaran," katanya.

Dari perjalanan bisnis selama ini Wawan memiliki kesimpulan. Bisnis kerajinan tangan semacam bordir, cukup dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang melimpah dan tidak menggantikannya dengan mesin-mesin modern. 

Alasannya, pasar luar negeri sangat menggandrungi produk bordir Indonesia hasil tangan. Sementara produsen di negara lain tidak bisa menghasilkan bordir natural seperti dari Indonesia.

Bordir natural biasa diproduksi dengan mesin "kejek". Mesin kejek adalah mesin yang didesain untuk menggerakan jarum sulaman benang oleh pijakan kaki dipadu dengan keterampilan tangan dalam menghasilkan sulaman birdir yang diinginkan. Ini berbeda dengan produk bordir massal dengan mesin otomatis dengan desain gambar yang sudah ditanam pada program komputer.

Hingga terampil dalam membuat bordir dengan mesin "kejek" memerlukan waktu tak cepat. Bisa mencapai bulanan untuk dikatakan mahir. Tetapi hasilnya menjanjikan. Meski jumlah produk terbatas, marginnya sangat besar.

BERTAHAN DI TENGAH PANDEMI

Salah satu sektor paling merasakan dampak Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak akhir tahun 2019, adalah dunia usaha di samping dunia kesehatan. 

Kota Tasikmalaya sempat dinyatakan zona merah dengan kasus Covid-19. Produk Bordir Tasikmalaya yang merupakan produk unggulan itu tak luput dari dampak cukup serius. Pasca dinyatakan pandemi oleh pemerintah, rumah-rumah produksi menghentikan aktivitasnya bahkan gulung tikar.

Seperti yang dialami produsen baju bordir Pria Muslim di Lingkar Industri Kecil (LIK) Kawalu - Kota Tasikmalaya, H. Ohan. Pengusaha muda ini mengisahkan, produksi baju bordirnya terhenti total. 

Pesanan tak terpenuhi, mesin-mesin pun digudangkan hingga ia mengalami kesulitan keuangan. Dampak Covid-19 langsung ia rasakan menjelang bulan puasa tahun lalu, hingga ia terpaksa menghentikan usaha yang telah puluhan tahun dirintisnya.

Namun Ohan tak berhenti di situasi itu. Ia kembali bangkit menjalankan bisnis online dengan sistem dropship via marketplace. Ragam produk yang dipasarkan termasuk sisa-sisa baju bordir muslim yang belum sempat terjual. Bedanya saat ini ia tidak lagi bergelut di bidang produksi melainkan fokus pemasaran.

Menurutnya, penjualan secara online sangat membantu di tengah krisis. Sebelum krisis akibat Covid saja katanya, penjualan secara dor to dor dari sentra ke sentra penjualan pakaian, sering kali mengalami kerugian. 

Seperti telat bayar, cek kosong hingga tagihan tidak dibayar oleh buyer. Sementara penjualan via online, buyer bayar terlebih dahulu atau memanfaatkan fasilitas Cash on Delivery (COD) dari marketplace. Kini Ohan membangun tim penjualan online dengan nama Tasik Digital Natif dengan mempekerjakan sedikitnya 45 admin.

Menurutnya, paradigma yang dibangun oleh pengusaha bukan fokus pada masalah, namun fokus solusi. Mind set pengusaha dituntut lebih cerdas dalam menghadapi situasi seperti sekarang terjadi, yang entah kapan bisa berakhir.

PELUANG TERSEMBUNYI

Untuk kelangsungan usaha di masa sulit perlu upaya serius supaya bisa bertahan, menghindari sutuasi yang lebih buruk lagi. Beberapa pengusaha bordir tetap bertahan dengan produk berbasis bordir yang sangat diperlukan. Salah satunya, masker bordir. 

Seperti fungsi masker pada umumnya, sebagai penutup hidung jika keluar rumah dan keramaian. Masker bordir terlihat lebih menarik dengan corak bordiran di depan. Biasanya, masker bordir digunakan dalam even penting seperti menghadiri resepsi pernikahan dan acara formal lainnya.

Produsen Bordir Khadizah salah satunya. Brand yang memiliki rumah kaos di Kawalu ini, langsung banting setir pada produksi masker bordir. Meski omzet tak sebesar produksi dan penjualan mukena serta gamis selama ini, masker bordir itu relatif dapat mempertahankan usahanya yang lesu.

Sementara itu, Nono, seorang pengusaha baju gamis bordir mengaku menemukan peluang tersembunyi di tengah krisis Covid-19. Pria yang membuka usaha di rumahnya Perum Mitra Batik - Kawalu itu tak sampai menutup usaha meski tetap sempat lesu. 

Dia sudah memiliki pelanggan yang rutin terutama dari Jakarta. Setiap baju bordir yang dibuat hanya untuk memenuhi pesanan yang sudah pasti jumlahnya. Tidak ada produk yang menumpuk di gudang.

Dengan banyaknya produsen yang menghentikan produksi, Nono melihat bahwa semua itu peluang. Dikala orang lain menghentikan, justeru dia bersiap siap memperbanyak barang buatannya. Bahkan Nono tengah menyiapkan varian baru di rumah produksinya. 

Jika sebelumnya hanya kabaya bordir wanita, kini membuat baju gamis pria dengan motif tersendiri. "Ini peluang. Teman teman saya banyak yang menghentikan produksi dan beralih memasarkan saja. Saya akan terus bikin. Itu peluang bagi kita dikala orang lain menghentikan produksi," katanya. (*)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun