Setiap bulan diadakan pelatihan, baik dalam teknik membordir cara manual maupun pelatihan kewirausahaan. Tak jarang, pelatihan dibuat gratis, untuk menjaring perajin handal dan berdedikasi tinggi.
Wawan menyebutkan, core bisnis bordir Tjiwulan saat ini, sebenarnya dari bordir tradisional atau hasil bordir mesin kejek. Sedangkan bordir yang diproduksi mesin digital sifatnya pelengkap sekedar memenuhi bila ada permintaan.
MASALAH DAYA SAING
Saat ini, produksi bordir Kecamatan Kawalu sendiri demikian massal dengan dibantu perangkat teknologi komputer. Satu kali putaran produksi pada satu unit mesin bisa menghasilkan 5 hingga 10 pieces. Kebutuhan tenaga kerjapun relatif sedikit dengan ongkos produksi bisa ditekan.
Sayangnya, justru karena produksi bordir yang sedemikian massal, daya saing di pasaran dunia menurun. Ini akibat produk bordir Kawalu-Tasikmalaya menggunakan mesin yang sama dengan produk bordir di negara lain.Â
Hasil bordir tidak lagi unik dan kaya kreativitas, tetapi hanya memenuhi tuntutan industri dengan kapasitas besar serta permintaan pasar semata. Hal itu memprihatinkan H. Wawan Nawawi.
Dia mengisahkan, di era tahun 1980-1990, khususnya dalam bidang kerajinan bordir, komoditas Tasikmalaya jadi salah satu terbaik di pasar dunia bila dibandingkan bordir India, Siria, Mesir, dan negara lainnya.
Sekarang, kondisi itu jauh berbeda. Para pengusaha dari India misalnya, sudah melek dengan peluang yang sedemikian besar yang selama ini dinikmati pengusaha bordir Indonesia. Mereka hampir berhasil mempelajari kerajinan bordir dan cara pemasarannya.
Perlahan dan pasti, produk bordir negara lain menggeser pasar bordir Indonesia di luar negeri. Ini membuat produk dalam negeri overload karena minim ekspor sementara pengusaha tidak punya posisi tawar dalam menentukan harga.
"Dengan kualitas bordir mesin digital, bordir Indonesia nyaris kehilangan kekhasannya. Tidak ada lagi sentuhan kreativitas. Kondisi ini berakibat fatal, pengusaha jadi sebatas jualan."Â
Wawan berharap, pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dapat bertindak cepat. Pemerintah harus mampu menangkap gejala memburuk kondisi usaha masyarakat yang diklaim produk unggulan itu.
Kenyataannya tidak demikian. Pemerintah cuek terhadap kondisi usaha yang menjadi basis ekonomi rakyat. Pemerintah tidak punya strategi dalam melindungi produk-produk lokal agar sehat dan kuat dalam persaingan.