Mohon tunggu...
Anep Paoji
Anep Paoji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Masih Terus Belajar dan Mncoba terus Berkarya

Anep Paoji, saya tinggal di kota kecil indah dan bersahabat.

Selanjutnya

Tutup

Money

Meluruskan Gagal Paham terhadap Perbankan Syariah

24 Agustus 2017   09:29 Diperbarui: 24 Agustus 2017   09:29 1458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Komentar terhadap aktifitas usaha perbankan syariah yang sering terdengar hingga kini antara lain : "Bank Syariah sama saja dengan bank konvensional", "Bagi hasil sama saja dengan bunga", "Kok pinjam di bank syariah tetep sulit dan bersyarat"?. "Ini tidak syar'i", ?   

Pertanyaan ini bukan saja terlontar dari kalangan awam. Pihak yang dianggap sudah memahami "syari'ah"pun seringkali mengungkapan hal yang sama, bahkan terkesan sinis. Dampak yang muncul, bukan saja menimbulkan rasa tidak simpatik malah membuat buruk citra perbankan syariah itu sendiri.

Harus diakui bahwa pemahaman masyarakat terhadap perbankan syariah relatif kurang dibanding pada perbankan konvensional. Dengan jumlah dan kuantitas yang masih terbatas, interaksi masyarakat dengan bank syariah masih terbatas pula. Ratusan tahun, secara kultur masyarakat terbiasa berinteraksi dengan praktik perbankan konvensional. Begitu muncul perbankan syariah, wajar saja bila terjadi kegagapan.

Dari sisi usia, perbankan syariah di Indonesia baru hadir sejak 1 November tahun 1991 ketika Bank Muamalat Indonesia (BMI) didirikan. Di tahun berikutnya bermunculan bank syariah lebih banyak terutama setelah lahirnya UU  No 10 tahun 1998 Tentang Perbankan Syariah yang direvisi menjadi UU 20 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Kini hampir semua bank konvensional membuka divisi perbankan syariah, setidaknya membuka cabang syariah di berbagai daerah. Sebuah fenomena yang cukup membanggakan selain harus tetap mawas diri.

Menjawab tudingan di atas, pertama "Bank Syariah sama saja dengan bank konvensional", barangkali kita bisa mengajukan berbagai argumen mendasar. Mari kita bedakan dulu prinsip dasar perbankan syariah dengan perbankan konvensional.

  • Akad. Akad inilah yang menentukan apakah transaksi di perbankan syariah sesuai syariah atau tidak baik dalam menghimpun maupun menyalurkan dana. Akad-akad di perbankan syariah antara lain, bagi hasil (mudhorobah), akad kerjasama (musyarokah), jual beli (murobahah) dan pemindahan hak guna (Ijarah). Pada perbankan konvensioanl, semua jenis transaksi perbankan basis pointnya adalah bunga.
  • Prinsip dasar perbankan syariah tersebut tercantum dalam UU Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1, ayat 28 :

            a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
            b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik.
            c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna.
            d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan
            e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan.

  • Perbankan syariah hanya bergerak di bidang usah yang halal, baik dalam pengumpulan maupun penyaluran dana.
  • Di perbankan syariah terdapat Dewan Syariah Nasional (DSN). Anggota DSN ini merupakan kumpulan ulama, profesional dalam bidang ilmu syariah sehingga dapat memastikan kehalalan jenis dan usaha di perbankan syariah.

Dari prinsip ini pula kita dapat mengukur, sejauh mana kesyari'ahan kegiatan usaha dan produk di bank syariah. Sebagai awampun kita dapat melihat bila terjadi penyimpangan praktik-praktik pada perbankan syariah dari prinsip dasar tadi.

Menjawab pertanyaan kedua, "pinjam di bank syariah mengapa sulit"? Ini bisa dua. Bisa iya, bisa tidak. Bagi yang pernah berhasil menjadi nasabah seperti pinjam uang dari bank syariah mungkin mengatakan mudah saja tidak ada masalah karena semua syarat terpenuhi. Sebaliknya bagi yang tidak berhasil pinjam uang, mungkin mereka akan kecewa dan befikir bahwa pinjam di bank syariah sangat sulit bahkan "ribet". Bukankah itu peristiwa normal, saat berusaha meminjam dana di bank konvensional atau bahkan koperasi simpan pinjam sekalipun?  

Kenapa sulit dan bersyarat? Perbankan syariah merupakan lembaga bisnis yang legal standingnya sama dengan lembaga bisnis perbankan pada umumnya di tanah air. Perbankan syariah harus taat terhadap regulasi yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) seperti halnya bank konvensional. Dalam memberikan kredit, ia harus menjaga asas prudensial atau asas kehati-hatian.

Uang yang ada di bank syariah bukan uang zakat, infaq, sodaqoh yang disalurkan tanpa syarat dan tidak harus dikembalikan. Uang merupakan milik nasabah yang menyimpan di bank syariah (dana pihak ketiga) di samping uang milik bank itu sendiri.

Jika bank syariah tidak menjaga asas kehatian-hatian, memberi kredit tanpa perhitungan, tidak memperhatikan asas prudensial, ini bisa jadi menjadi tindak pelanggaran bahkan tindak pidana bagi pejabat perbankan syariah, karena sudah gegabah memberikan kredit tanpa perhitungan.

Perbankan syariah juga harus untung. Sebagai lembaga bisnis perbankan syariah memiliki karyawan yang harus digaji, ada beban operasional setiap bulan, tahun dan seterusnya. Mereka harus mampu membiayai diri sendiri untuk kelancaran usaha. Ia bukan lembaga amal sosial yang didadani para donatur sukarela melainkan lembaga bisnis yang harus menghasilkan laba tahunan yang dipertanggungjawabkan kepada pemilik saham.

Namun demikian, perbankan syariah tidak menapikan fungsi sosial selain menjalankan fungsi bisnisnya. Perbankan syariah bisa menjalankan fungsi baitul mal, seperti menerima zakat, infaq sodaqoh dan wakaf serta menyalurkannya melalui lembaga terkait. Hal ini terdapat dalam UU Nomor 21 Tahun 2008, Pasal 4 sebagai berikut :  

1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.

(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

(4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pentingnya Edukasi

Edukasi masyarakat terhadap eksistensi perbankan syariah mutlak diperlukan. Edukasi bukan sebatas sosialisasi seremonial, namun upaya sistematis memberi pemahaman yang benar kepada masyarakat secara menyeluruh tentang perbankan syariah.  

Edukasi juga bukan ekslusif kepada masyarakat muslim, mesti secara inklusif kepada masyarakat non muslim. Perbankan syariah terbuka untuk semua kalangan, agama, suku dan ras apapun sebagai bentuk Islam rahmatan lilalamiin. Fakta saat ini, tak sedikit non muslim yang mempercayakan menyimpan dana di bank syariah dengan alasan logis bagi mereka.     

Edukasi perlu dilakukan terhadap internal sumber daya syariah (SDS). Mereka bukan sekedar pegawai biasa yang cukup memenuhi target tahunan perusahaan, melainkan sebagai sumber daya yang sekaligus berdakwah dalam kapasitasnya. 

Sejatinya, sumber daya syariah bukan hanya ahli dalam memasarkan produk, lebih dari itu ia harus menguasai ilmu fiqih dan turunannya sehingga mampu memberi penjelasan kepada para nasabah terkait akad yang sedang dijalankan. Ia bertindak sebagai marketer plus da'i, di bidang ekonomi syariah.

Perlu ditekankan juga, peran perguruan tinggi khususnya yang menyelenggarakan program pendidikan ekonomi syariah. Mereka harus lebih aktif dalam sosialisai dan edukasi perbankan syariah, seperti menyelenggarakan seminar, perlombaan karya tulis ilmiah atau ketika para mahasisiwa melaksanakan program-program kemasyarakatan.

Cukup membanggakan, kini edukasi perbankan syariah sudah sering dilakukan oleh Bank Indonesia dan Otorits Jasa Keuangan (OJK). Kedua lembaga ini sangat penting dalam men-support perkembangan perbankan syariah di Indonesia ke depan.  BI sebagai regulator memastikan perbankan syariah mampu berjalan dengan peran dan fungsinya, sementara OJK mengawasi operasional perbankan syariah supaya berada pada jalurnya. (*)

Sumber : Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun