Mohon tunggu...
Andy Wan Eng Sun
Andy Wan Eng Sun Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa FH UNDIP 2017

Menulis adalah keberanian

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi: Persimpangan Antara Positive Legislature dan Negative Legislature

20 September 2020   19:24 Diperbarui: 20 September 2020   19:38 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak bisa dipungkiri, semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat saat ini mendorong semakin berkembangnya putusan-putusan pengadilan yang mampu mewadahi berbagai kompleksitas tersebut. Hal inilah yang dinilai oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum tidak berada dalam ruang hampa, melainkan harus melayani masyarakat tertentu. 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) selalu menjadi perhatian masyarakat luas karena memiliki dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia. Salah satu topik yang sedang hangat saat ini adalah permohonan pengujian Undang-Undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang diajukan oleh PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan dan PT Visi Citra Mulia (Inews TV) kepada Mahkamah Konstitusi. 

Dalam permohonannya, kedua pemohon tersebut menginginkan adanya perluasan makna dari definisi “Penyiaran” sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (2) UU a quo.[1] Permohonan tersebut menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat mengenai kewenangan MK, apakah MK dapat memperluas definisi sebuah pasal dalam undang-undang (Positive Legislature)? Dan apakah kewenangan MK hanya cukup sebagai pembatal dari sebuah pasal dalam UU (Negative Legislature)? Sebelum melangkah lebih jauh, mari mencermati terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan positive legislature dan negative legislature dalam konteks tindakan MK.

Secara definisi, negative legislature dapat dimaknai sebagai tindakan Mahkamah Konstitusi yang dapat membatalkan norma dalam judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) atau membiarkan norma yang diberlakukan oleh Lembaga legislatif tetap berlaku dengan menggunakan original intent UUD NRI Tahun 1945.[2] Sementara itu, positive legislature adalah organ atau lembaga (merujuk pada Lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah) yang memiliki kewenangan untuk membuat norma.[3] 

Dalam Undang-Undang nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta perubahannya ternyata tidak mengatur mengenai Batasan-batasan dalam memutus perkara pengujian undang-undang oleh MK. Hal tersebut menyebabkan seringkali MK mengeluarkan putusan-putusan yang melampaui kewenangannya sebagai negative legislature (membatalkan norma) dan membuat putusan yang bersifat positive legislature (membuat norma baru). Hal ini dapat dibuktikan melalui beberapa putusannya, seperti Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak dan Kedudukan Anak Luar Perkawinan dan Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).

Pada pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang no. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang no. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsitusi sebenarnya telah diatur mengenai pembatasan dari sifat putusan MK yang menyatakan:[4] 

“Putusan Mahkamah Konsitusi tidak memuat:

  • Rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945” 

Namun, pengaturan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan bahwa klausul tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. 

Menurut Mahkamah, eksistensi dari pasal tersebut mengakibatkan Mahkamah Konstitusi terhalang untuk menguji konstitusionalitas norma, mengisi kekosongan hukum, dan melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[5] Dengan kondisi demikian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sewaktu-waktu Mahkamah Konstitusi dapat saja mengeluarkan putusan yang besifat negative legislature maupun positive legislature tergantung situasi yang ada.

Argumentasi bagi yang setuju bahwa MK seharusnya hanya memiliki kewenangan sebagai negative legislature bertumpu pada teori klasik pemisahan kekuasaan Trias Politica Montesqieau. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa haruslah terdapat pemisahan kekuasaan yang tegas diantara ketiga Lembaga negara; Eksekutif mengeluarkan keputusan, legislatif membentuk peraturan, dan yudikatif membuat putusan.[6] 

Berdasarkan hal tersebut, maka Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga yudikatif tidak seharusnya melampaui kewenangan legislatif dalam membuat suatu norma baru. Apabila kewenangan Lembaga legislatif kerapkali dilampaui oleh Mahkamah Konstitusi maka hal ini akan menciptakan suatu ketidakpastian hukum di masa yang akan mendatang.  

Sementara itu, argumentasi bagi yang setuju dengan positive legislature dalam Judicial Review berdiri pada teori bekerjanya hukum oleh Robert B. Seidman dan William J. Chambliss, yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum tidak semata dikendalikan oleh peraturan hukum, melainkan seyogyanya memerhatikan atas apa yang disebutnya sebagai kekuatan sosial dan politik, atau yang kemudian menggunakan justifikasi sejenis, sebagai simbolisasi harapan publik atas keadilan.[7] 

Hal ini kemudian didukung dengan kewajiban dalam ranah kekuasaan kehakiman dimana hakim konstitusi wajib utuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[8] Dengan demikian, maka keberadaan hakim dalam memutuskan suatu perkara sejatinya tidaklah dapat terbelenggu dengan aturan normatif belaka namun perlu pula untuk melihat nilai-nilai keadilan yang hadir serta tumbuh di masyarakat.

Keberadaan dari positive dan negative legislature masih menjadi perdebatan dalam ranah hukum tata negara hingga saat ini. Masing-masing memiliki argumentasi serta dasarnya masing-masing. 

Pada intinya, Mahkamah Konstitusi yang berperan sebagai The Guardian of Constitution serta The Protector of Human Rights haruslah mampu untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi masyarakat dalam situasi apapun. Dengan demikian, cita-cita luhur Mahkamah Konstitusi sebagai penegak hukum di negeri ini pun dapat tercapai. 

 

REFERENSI

Peraturan Perundang-Undangan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Jurnal, dll.

Jafar, K. (2017). Menguji Positive Legislature sebagai Kewenangan Mahkamah Konstitusi. HOLREV Jurnal, 247.

Martitah. (2013). Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Jakarta: KONpress.

MD, M. (2012). Konstitusi dan Hukum dalam Kontoversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun