Tidak bisa dipungkiri, semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat saat ini mendorong semakin berkembangnya putusan-putusan pengadilan yang mampu mewadahi berbagai kompleksitas tersebut. Hal inilah yang dinilai oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum tidak berada dalam ruang hampa, melainkan harus melayani masyarakat tertentu.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) selalu menjadi perhatian masyarakat luas karena memiliki dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia. Salah satu topik yang sedang hangat saat ini adalah permohonan pengujian Undang-Undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang diajukan oleh PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan dan PT Visi Citra Mulia (Inews TV) kepada Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonannya, kedua pemohon tersebut menginginkan adanya perluasan makna dari definisi “Penyiaran” sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (2) UU a quo.[1] Permohonan tersebut menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat mengenai kewenangan MK, apakah MK dapat memperluas definisi sebuah pasal dalam undang-undang (Positive Legislature)? Dan apakah kewenangan MK hanya cukup sebagai pembatal dari sebuah pasal dalam UU (Negative Legislature)? Sebelum melangkah lebih jauh, mari mencermati terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan positive legislature dan negative legislature dalam konteks tindakan MK.
Secara definisi, negative legislature dapat dimaknai sebagai tindakan Mahkamah Konstitusi yang dapat membatalkan norma dalam judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) atau membiarkan norma yang diberlakukan oleh Lembaga legislatif tetap berlaku dengan menggunakan original intent UUD NRI Tahun 1945.[2] Sementara itu, positive legislature adalah organ atau lembaga (merujuk pada Lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah) yang memiliki kewenangan untuk membuat norma.[3]
Dalam Undang-Undang nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta perubahannya ternyata tidak mengatur mengenai Batasan-batasan dalam memutus perkara pengujian undang-undang oleh MK. Hal tersebut menyebabkan seringkali MK mengeluarkan putusan-putusan yang melampaui kewenangannya sebagai negative legislature (membatalkan norma) dan membuat putusan yang bersifat positive legislature (membuat norma baru). Hal ini dapat dibuktikan melalui beberapa putusannya, seperti Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak dan Kedudukan Anak Luar Perkawinan dan Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Pada pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang no. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang no. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsitusi sebenarnya telah diatur mengenai pembatasan dari sifat putusan MK yang menyatakan:[4]
“Putusan Mahkamah Konsitusi tidak memuat:
- …
- …
- Rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”
Namun, pengaturan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan bahwa klausul tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.
Menurut Mahkamah, eksistensi dari pasal tersebut mengakibatkan Mahkamah Konstitusi terhalang untuk menguji konstitusionalitas norma, mengisi kekosongan hukum, dan melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[5] Dengan kondisi demikian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sewaktu-waktu Mahkamah Konstitusi dapat saja mengeluarkan putusan yang besifat negative legislature maupun positive legislature tergantung situasi yang ada.
Argumentasi bagi yang setuju bahwa MK seharusnya hanya memiliki kewenangan sebagai negative legislature bertumpu pada teori klasik pemisahan kekuasaan Trias Politica Montesqieau. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa haruslah terdapat pemisahan kekuasaan yang tegas diantara ketiga Lembaga negara; Eksekutif mengeluarkan keputusan, legislatif membentuk peraturan, dan yudikatif membuat putusan.[6]
Berdasarkan hal tersebut, maka Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga yudikatif tidak seharusnya melampaui kewenangan legislatif dalam membuat suatu norma baru. Apabila kewenangan Lembaga legislatif kerapkali dilampaui oleh Mahkamah Konstitusi maka hal ini akan menciptakan suatu ketidakpastian hukum di masa yang akan mendatang.