Mohon tunggu...
Andy RWijaya
Andy RWijaya Mohon Tunggu... Konsultan - Poets trying to write

Founding Partner at RESOLVA Law Firm

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penanganan PHK

12 Mei 2020   14:52 Diperbarui: 12 Mei 2020   15:14 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki pertengahan Mei, gelombang PHK yang berlindung dibalik covid-19 semakin banyak. Sampai awal Mei saja, pemerintah menyatakan ada sekitar dua juta tenaga kerja yang dirumahkan dan di PHK. Data inipun dibantah oleh waketum KADIN suryani motik, jika angka dua juta itu hanya yang melapor ke kemenaker, yang tidak melapor bisa tembus 15 jutaan tenaga kerja termasuk dari sektor UMKM.

Berapapun angkanya, yang jelas kita menyaksikan sendiri di beberapa media, kabar tentang PHK di beberapa perusahaan. kita juga menyaksikan sendiri disekeliling kita, fenomena kesulitan yang dialami oleh beberapa orang dalam hal ekonomi dan mengeluh terancam PHK. untuk itulah diperlukan sebuah langkah yang strategis dari pemerintah dalam menangani gelombang PHK ini.


PHK memang sesutau yang dilindungi oleh Undang-undang. Dalam pasal 164 UU nomor 13 tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan) terungkap bahwa pengusaha boleh saja melakukan PHK jika; pertama, usahanya mengalami kerugian terus-menerus selama dua tahun atau mengalami force majeure. kedua, melakukan efisiensi perusahaan. 

Keduanya memiliki implikasi yang berbeda terkait dengan kompensasi pesangonnya. Yang pertama pesangonnya dengan satu kali ketentuan, yang kedua dengan dua kali lipat ketentuan.

Dari uraian pasal 164 diatas justru saya memilah ada tiga model penyebab PHK. Pertama, karena perusahaan rugi terus-menerus sehingga tutup, kedua, karena force majeure, ketiga, karena efisiensi perusahaan. 

Disinilah posisi pemerintah untuk menjadi filter dalam rangka menyelamatkan para tenaga kerja yang sudah diujung tanduk akan di PHK atau bahkan sudah di PHK. Karena fenomena yang terlihat banyak perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak tanpa melalui prosedur sebagaimana yang di atur di UU Ketenagakerjaan, dimana sebelum melakukan PHK pengusaha wajib melakukan perundingan dengan serikat pekerja, jika tidak ditemui jalan keluar pengusaha hanya bisa melakukan PHK setelah mendapat penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (pasal 151 UU Ketenagakerjaan).

Dari ketiga model sebagaimana diatas sebenarnya sudah bisa terlihat, melihat kondisi sosial masyarakat saat ini, mana yang boleh melakukan PHK, mana yang tidak boleh. kalau alasannya adalah karena rugi terus-menerus selama dua tahun dan menyebabkan perusahaan tutup, maka pilihan itu tidak bisa ditolak, itupun harus dibuktikan dengan audit dari akuntan publik, itupun pemerintah juga harus menjamin kompensasi pesangon untuk karyawan yang di PHK. Namun jika pilihannya adalah efisiensi perusahaan, maka pemerintah wajib menolak dan memerintahkan perusahaan tetap mempertahankan karyawannya megingat kondisi sosial masayarkat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.

Alasan keadaan kahar
Dari ketiga model diatas yang memang sulit untuk di identifikasi adalah jika menggunakan alasan force majeure atau keadaan kahar atau keadaan memaksa. Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah melalui Keppres Nomor 12 tahun 2020 menetapkan covid-19 sebagai bencana nasional non-alam, dan alasan inilah yang sering dipakai pengusaha untuk menjadi senjata pamungkas dalam kondisi sekarang ini. padahal pengusaha tidak bisa serta merta menggunakan alasan keadaan kahar sebagai alasan untuk melakukan PHK.

Dalam literasi hukum, arti force majeure adalah sebuah keadaan memaksa yang berakibat tidak bisa terpenuhinya kewajiban-kewajiban baik yang mengarah pada ketidakmungkinan (impossibility) misalnya terkena bencana banjir, tanah longsor, kebakaran, maupun ketidakpraktisan  (impracticability) misalnya karena kecelakaan, atau akibat regulasi larangan dari pemerintah. Impossibility sering disebut force majeure absolut sedangkan impracticability sering disebut force majeure relatif.

Namun dilihat dari kejadiannya, sepertinya force majeure yang terjadi masih dalam kategori relatif, dalam artian kejadiannya karena akibat dari regulasi pemerintah. Sebagaimana diketahui pemerintah membuat regulasi tentang Pemtasan Sosial yang akhirnya mempengaruhi aktivitas masyarakat kemudian mengarah pada rendahnya daya beli sehingga berujung pada menurunnya pendapatan perusahaan. Jadi bukan pada force majeure absolut yang mengarah pada ketidakmungkinan. Karena kalau bicara ketidakmungkinan artinya terdapat kerusakan atau hancurnya aset yang menyebabkan operasional perusahaan berhenti.

Dengan kata lain force majeure yang dialami adalah karena keadaan memaksa akibat pandemi secara global, ditambah adanya peraturan dari pemerintah tentang pembatasan sosial maka menyebabkan pelambatan aktivitas atau bahkan penutupan operasional perusahaan. Dengan demikian pemerintah harus hadir dengan memilah sektor usaha apa saja yang terkena dampak, serta membolehkan lampu hijau PHK. mungkin dengan kewenangan yang dimiliki dalam pasal 151 UU Ketenagakerjaan, pemerintah dalam hal ini Kemenaker bisa menyaring perusahaan mana yang boleh dan mana yang tidak dalam melakukan PHK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun