Ya, ada kepentingan lain yang menyebabkan kerusakan hutan Indonesia  ini bisa sedemikian parah. Suatu kepentingan terselubung dari segelintir manusia tidak bertanggung jawab yang berdiam dan berlindung di bawah langit negara yang sedang dirusaknya. Rasanya, penulis tidak perlu menyebut nama aktor utama kerusakan hutan Indonesia, karena mungkin semua masyarakat Indonesia sudah mengetahui siapa pelaku utamanya.
Jika kita melihat berita, kerusakan hutan Indonesia yang disebabkan oleh alam seperti kemarau panjang dan kebakaran hutan masih jauh lebih sedikit dibanding dengan kerusakan hutan Indonesia yang diakibatkan oleh kasus pembalakan liar atau illegal logging yang selalu bersembunyi di balik istilah pembangunan.
Pembangunan seperti apa yang sebenarnya diharapkan? Pembangunan yang akan menyengsarakan jutaan rakyat lainnya? Pembangunan yang hanya akan memberikan rasa kenyang pada perut sendiri? Atau pembangunan yang seperti apa? Jelas-jelas yang terlihat oleh mata penduduk lainnya adalah pengrusakan.
Teori Politik Ekologi dan Kerusakan Hutan Indonesia
Baiklah, kita tinggalkan dahulu teori pertama yang memang selalu mengundang reaksi yang berapi-api. Selanjutnya, mari coba kita lihat teori kedua, yaitu teori politik ekologi. Teori ini menerangkan bahwa kerusakan hutan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari aspek kepentingan politik-ekonomi. Cara pandang ini mencoba mendudukkan masalah kerusakan hutan Indonesia dengan memperhitungkan aspek kekuasaan.
Ketajaman teori ini dapat kita lihat pada cara memahami kerusakan hutan Indonesia yang disebabkan oleh praktik kekuasaan dan pasar. Kerusakan hutan Indonesia, bisa jadi karena adanya kekuatan pasar global yang tidak terlihat secara langsung.
Lebih jelasnya, mari kita lihat bagaimana bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia berlangsung. Pada mulanya, pengusaha (nasional ataupun asing) mengajukan permohonan kepada kepala daerah untuk bisa memperoleh izin membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Luas areal yang diminta pun tidak tanggung-tanggung, bisa puluhan, bahkan ratusan ribu hektar.
Tentu saja, pemerintah tidak memiliki kebun seluas itu. Maka, biasanya ditunjuklah hutan untuk dijadikan sebagai areal perkebunan kelapa sawit. Bisa dibayangkan, secara nasional, ada berapa juta hektar hutan yang harus dialihfungsikan setiap tahunnya. Hal semacam ini biasa terjadi di Sumatera. Sedangkan, untuk Kalimantan dan Papua lebih disebabkan oleh bisnis pertambangan.
Jelaslah bukan penduduk sekitar hutan yang jadi penyebab kerusakan hutan Indonesia. Namun, kepentingan ekonomi global yang berkolaborasi dengan penguasa lokallah yang jadi biang penyebabnya. Sungguh sudah menjadi rahasia umum yang klasik, bukan?
Penguasaan lokal dan pemerintah daerah sebenarnya adalah orang hebat, mereka adalah orang-orang yang diberikan amanah untuk menyejahterakan masyarakat yang berada di wilayahnya. Namun, kekuasaan uang yang mampu memperbudak siapa pun telah berhasil menjadikan penguasa layaknya orang bodoh.
Mereka lupa akan amanah yang dibebankan masyarakat kepada dirinya. Mereka berpikiran pendek dan tidak pernah memikirkan dampak yang akan dirasakan masyarakat akibat kerusakan hutan Indonesia yang ditimbulkannya. Kalaupun ada bencana  yang terjadi karena efek samping perbuatannya, mereka tinggal pergi ke luar negeri sambil ongkang-ongkang kaki melihat pemberitaan mengenai masyarakatnya yang menderita karena ulahnya.
Perdagangan Karbon dan Kerusakan Hutan Indonesia
Akhirnya, kerusakan hutan Indonesia dan di negara-negara lain di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, menjadi perhatian serius dunia internasional. Hasil dari Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) pada Desember 2005 lalu mulai merancang langkah guna mengurangi emisi gas karbon yang menyebabkan pemanasan global. Fungsi hutan sebagai penyerap emisi gas karbon menjadi penting.