Mohon tunggu...
Muhammad Andy Dava
Muhammad Andy Dava Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Partikelir Timur Jawa Dwipa Penikmat Sejarah, Politik, Filsafat, Kopi, dan Alkohol Lokal

Amorfati Ego Fatum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Sejarah Patologi di Indonesia: Wabah Kolera di Surabaya pada 1901-1927

21 September 2020   16:46 Diperbarui: 21 September 2020   16:55 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Kontras dengan adanya mewabahnya penyakit kolera, salah satu penyebab utama adanya penyakit adalah pemukiman yang kumuh, Di balik pemukiman orangorang Eropa pemukiman-pemukiman elit muncul perkampungan-perkampungan pribumi dengan kondisi yang amat mengenaskan. Rumah-rumah dibangun dengan seadanya, seperti tiang dari kayu atau  bambu, pagar dibuat dari bambu yang dianyam (gedhek), atap biasanya dari genteng kretek (genteng tipis yang berharga murah), lantai-lantainya masih berwujud tanah tanpa pelapis.[10]

 Beberapa bulan kemudian baru pemerintah menginformasikan pembatasan sosial bagi pendatang yang memasuki kota Surabaya, pemerintah juga melakukan pemerikasaan kesehatan di pelabuhan, pemerintah juga mengkampanyekan praktik hidup sehat sebagai langkah preventif penyebaran wabah kolera, hal ini juga memiliki dampak ekonomi, dimana perdagangan sedikit terhambat akibat pembatasan di daerah pelabuhan.

 Perasaan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahpun muncul, dimana psikologi massa yang mengarah kecemasan semu muncul akibat dari munculnya desas-desus atau berita yang disinformasi, desas-desus ini muncul dari beberapa latarbelakang, karena pada saat itu fasilitas kesehatan kurang memadai dan terdapat diskriminasi terhadap warga bumiputra. 

Masyarkat memilih cara dengan menimbun beberapa kebutuhan pangan, serta melakukan migrasi ke daerah pinggiran kota, hal ini malah menjadi sulitnya penanganan terhadap wabah ini.

 Pada tahun-tahun berikutnya wabah ini sempat mereda, tetapi di tahun 1918 gelombang selanjutnya wabah kolera mulai muncul, dimana tingginya penderita kolera semakin meningkat, akibat dari lingkungan perkampungan biasanya terkesan sebagai pemukiman yang kumuh dan tidak tertata. Lingkungan seperti ini sampai 1920-an masih banyak ditemukan di Surabaya.[11]

 Pada tahun-tahun ini mereka memang tidak bisa menggunakan cara lama seperti migrasi kedaerah pinggiran, karena penggunan ruang kota semakin masif yang menyebabkan semakin berkungnya lahan kosong, karena penerapan Agrarische Wet 1870 (Undang-undang Agraria) yang semakin kentara. Penumpukan masyarakat di perkotaan yang kumuh semakin tidak terkendali, pemerintah pada saat itu justru lebih mementingkan beberapa kelompok elite yang terpapar kolera untuk berobat dirumah sakit sehingga kesenjangan ini menimbulkan berbagai macam masalah.

 Akibat dari penumpukan masyarakat di lingkungan kumuh tersebut wabah ini menjadi tidak terkendali, sanitasi yang harusnya diwadahi pemerintah juga tidak segera diatasi sebagai langkah preventif penyebaran wabah kolera, kesenjangan terhadap faslitias publik kesehatan dan tata ruang kota yang buruk menjadi masalah yang memiliki masalah turunan seperti wabah penyakit. Hingga tahun 1918-1927 merupakan tahun dimana wabah ini banyak menelan korban jiwa (merujuk tabel penelitian: Aynul Muslimah)

 Namun menjelang tahun 1927-an pemerintah mulai menangani wabah dengan cara memberikan cairan vaksin dan elektrolit, serta usaha lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan dibentuknya sustu lembaga yakni lembaga perbaikan rumah penduduk yang waktu itu disebut dengan program kampongsverbeteering, dimana program ini diusulkan oleh Thomas Karsten, dengan adanya usulan ini maka gemeente Surabaya menanggapinya dengan membentuk NV.[12] Sehingga pada tahun tersebut mulai berkurangnya wabah kolera di Surabaya

 Wabah merupakan buah dari peradaban yang seharusnya dapat dijadikan suatu bahan refleksi, dimana korelasi antara pemerintah dan masyarakat yang saling bahu-membahu dapat menanggulangi masalah tersebut, Surabaya sendiri yang pada saat itu merupakan kota komersial yang maju di Indonesia ternyata tetap rentan terhadap wabah berkelanjutan, semodern apapun peradaban tersebut tetap rentan jika dihadapkan pada kondisi wabah, maka dari itu fasilitas publik suprastruktur termasuk kesehatan harus ditempatkan kepada basis masyarkaat ditengah melejitnya dan masifnya pembangunan insfrastruktur dan teknologi terhadap kebutuhan pokok ekonomi harus saling memiliki keterkaitan.

 Catatan Kaki 

[1] Musjaya M Guli, Patogenesis Penakit Kolera Pada Manusia (Universitas Tadulako: Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, 2016), hlm. 17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun