Kapitalisme merawat konstruksi atas domestifikasi terhadap perempuan karena kebutuhan rumah tangga yang kompleks menjadi sasaran pasar dan perluasan kapasitas tenaga kerja, karena beban pekerjaan rumah tangga yang hampir seluruhnya dikerjakan oleh perempuan memberikan waktu luang bagi laki-laki dan hal ini dimanfaatkan oleh kapitalisme dalam pengintensifan waktu kerja di pabrik.
Implikasi dari hal ini memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga akibat masalah dalam pabrik oleh laki-laki semisal masalah upah yang tidak sesuai dengan moda produksi dan jam kerja.
Akan tetapi ketika perempuan bekerja, dapat kita lihat hasilnya yang sangat jauh berbeda dari laki-laki, mereka malah akan mendapat perlakuan yang negatif dari kalangan masyarakat lain. Dengan kata lain masyarakat hari ini sangat mengamini bahwa laki-laki sangat superior dari perempuan.
Namun hal ini dapat ditanggulangi dengan adanya penyisihan beberapa bentuk corak reproduksi secara struktural, analoginya adalah ketika dalam keluarga dimungkinkan untuk mengatur rumah tangga guna mengakumulasikan hasil pemenuhan kebutuhan, hidup bersama dan membesarkan anak-anak secara bersama dalam keluarga, maka akan terjadi kesulitan, namun bukan tidak mungkin untuk mempertahankan bentuk-bentuk alternatif seperti itu dalam sebuah corak sosial yang bertumpu pada kepemilikan pribadi dan tanggung jawab individual.
Pengaturan hidup secara komunal atau kolektif adalah jawaban, dan secara substansial tidak berbenturan dengan tata sosial karena ketika setiap individu dalam keluarga menghendaki untuk berbagi masakan, pengurusan anak dan sebagainya dalam lingkup domestik, tidak seperti ketika mereka membagi aset-aset ekonomi mereka.
Budaya patriarki yang memandang dunia dengan laki -laki sudah terjadi pada puluhan ribu tahun ketika manusia itu ada. Bertahannya budaya patriarki sampai sekarang ini, bukan hanya sekedar berbicara kodrat antara perempuan dan laki-laki itu sendiri. Namun terdapat narasi panjang yang membentuk kondisi seperti ini.
Pikiran kita telah di konstruksi sedemikian rupa agar melanggengkan budaya yang menindas perempuan sekarang ini. Bahkan dalam ranah keluarga yang menjadi salah satu pendidikan pertama bagi kita mengamini hal itu. Dengan kata lain keluarga-keluarga pada masa sekarang memandang hal ini sesuatu yang sudah menjadi kodrat mereka antara perempuan dan laki-laki. Akibatnya, relasi gender yang tidak egaliter lantas menjadi model di dalam keluarga saat ini.
Contoh yang aneh adalah mengenai perempuan mencari nafkah. Sampai saat ini masih cukup banyak perempuan yang hanya bercita-cita menjadi "ibu rumah tangga saja." Dalam institusi pendidikan pun terjadi kondisi menindas terhadap perempuan, dengan adanya dominasi laki-laki di dalamnya.
Penutup
Banyak kasus kekerasan perempuan yang tidak tuntas atau hanya diselesaikan dengan damai dan kekeluargaan. Hal inilah yang harus kita ketahui supaya kita tidak terjebak oleh kenyataan-kenyataan yang hadir secara empiris. Mencari suatu akar permasalahan jangan hanya dilihat dari luarnya saja, akan tetapi kita harus melihat lebih dalam bagaimana akar permasalahan tersebut.
Tidak mudah memang, ketika kita melawan sistem sendirian dalam kondisi masyarakat yang sekarang ini. Maka harus adanya pemakaian cara-cara alternatif dalam melawan penindasan terhadap perempuan. Secara praksis tentunya bukan hanya perempuan saja, namun semua elemen masyarakat harus sadar akan hal ini.