Mohon tunggu...
Andy Caesar Shidqi
Andy Caesar Shidqi Mohon Tunggu... Lainnya - pulangpulangpagi

Menuju Waktu Yang Akan Datang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Halida dan Hamida

29 Juli 2020   21:54 Diperbarui: 7 Oktober 2020   10:49 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bintang telah jatuh tertidur pada malam yang terang-benderang dihiasi bulan. Sementara itu, tiga anak kecil masih saja sibuk bermain-main, mondar-mandir seperti tidak bisa tidur. Akhirnya kakek memutuskan untuk naik ke loteng, ke kamar ketiga cucu-cucunya itu, "Ayo lekas tidur para cucuku yang hebat," tukas kakek yang mengagetkan ketiga cucunya itu. 

Seperti paduan suara mahasiswa, ketiga cucunya menjawab di sisa-sisa rasa kagetnya, "Aku... aku... tidak bisa tidur kakek." 

"Baiklah kalau begitu kakek akan menceritakan suatu cerita tentang Halida dan Hamida pada kalian, tapi kalian harus berjanji untuk tidur setelah itu, setuju?" 

"Setuju kek," jawab yang paling kecil. 

"Gimana ya, yaudah deh iya kek," tukas yang paling tua. "Iya, iya, kakekku," sahut yang nomor dua menimpali. 

"Kalau begitu naiklah ke tempat tidur kalian masing-masing, kakek akan mulai ceritanya," balas kakek segera.

Selepas siang dua anak kecil biasa bermain-main di kali dekat rumahnya. Tentu saja pada saat itu belum ada sekolah formal pada umumnya seperti sekarang ini. 

Alam adalah guru besar yang mereka miliki. Mereka berdua menghabisan waktu pagi sampai siang di ladang atau kadang memberi makan sapi-sapi dan domba-domba di kandang, setelahnya, tentu saja bermain.

Mereka berdua kembar, serupa tapi tak sama. Satu yang keluar duluan dari rahim ibunya bernama Halida, sedang satu lagi yang keluar setelah Halida dari rahim ibunya ialah Hamida. 

Bapaknya biasa memanggil mereka Lida dan Mida. Bagai pinang dibelah dua, wajah mereka sangat-sangat identik, postur tubuh pun begitu, rambut lurus, mata hitam, kulit kuning langsat. Benar-benar komposisi yang pas untuk seorang perempuan yang ada di tahap dewasa awal. Hewan-hewan melata ikut senang menggoda mereka untuk sekadar mendapatkan tawa mereka. 

Singkat cerita, mereka bosan bermain di dekat rumah, mereka mencoba memperluas wilayah permainan mereka dan akhirnya mereka menjelajah sekeliling desa. Sampai-sampai mereka tiba di suatu tempat, kira-kira sejauh 10 km dari rumahnya, mereka menemukan hutan.

Hutan yang selalu mereka dengar dari omongan orang saja bahwa hutan itu keramat dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Ya, begitulah kenyataanya, semakin dilarang, manusia akan semakin berhasrat untuk mencobanya. 

Awalnya mereka tidak ingin masuk ke dalam hutan karena takut, tapi sampai pada suatu saat, mereka kembali lagi ke hutan itu. Mereka nekat untuk masuk ke hutan.

Hari mulai gelap, sedangkan Lida dan Mida baru saja menginjakkan kakinya barang beberapa langkah. Langit tambah gelap, pekat mulai nampak, dari jauh terlihat jarak berlarian hilang di balik pepohonan. 

Lida dan Mida berjalan terus, tak tau mau ke mana. Setelah jauh berjalan mereka menemukan sebuah rumah kayu, tidak terlalu besar, tetapi rapih.

Mereka masuk ke dalam rumah itu. Perut mereka sangat lapar, tanpa basa-basi, melihat ada panganan di atas meja makan, mereka pun melahap itu semua tanpa tersisa. 

Setelah makan mereka merasa sangat lelah, kantuk tak dapat dihindari. Mereka tertidur pulas. Saat membuka mata, mereka menatap jendela yang terbuka menyuguhkan langit hitam pekat dihiasi bintang-gemintang terang-benderang.

Terdengar suara pintu dibuka dan betapa kagetnya mereka menatap ke arah bunyi itu. Seorang kakek membawa tas rajut. Kakek itu berbulu lebat bahkan sampai ke mukanya dipenuhi kumis dan janggut, serta cambang yang panjang. 

Kakek itu bertanya pada Lida dan Mida, apakah kalian memakan makanan di atas meja makan itu, dan serentak mereka mengiyakan, mengangguk malu. 

Kakek itu dengan sangat kesal berkata, "Makanan itu untuk dua hewan yang baru saja mati tadi siang ditembak orang dan aku tahu siapa yang memakannya. Aku telah membumbuinya dengan racikanku. Makanan itu akan membuat siapa saja yang memakannya akan berubah menjadi hewan sesuai apa yang diinginkannya. Makanan itu hendak aku kirimkan pada dua orang yang telah membunuh jarak-jarakku."

Mendengar itu sontak Lida dan Mida tercengang, tak dapat berkata-kata, mata mereka berkaca-kaca. Setelah itu kakek bertanya pada mereka, "Lantas kalian ingin menjadi apa?"

Nasi telah menjadi bubur, penyesalan meminta tempat karena perlakuan tidak patut di awal. Lida dan Mida telah menuai apa yang telah ia lakukan karena memakan makanan kakek itu tanpa seizin pemiliknya. Dengan sangat menyesal, Lida dan Mida bersepakat menjadi keledai. Maka seketika mereka berdua berubah menjadi keledai yang anggun.

Setelah itu kakek melepaskan keledai itu keluar rumahnnya. Setelah bertahun-tahun, keledai itu tidak pernah keluar huta, kerjaanya hanya mondar-mandir kebingungan karena tak tahu jalan pulang. Seperti lupa ingatan. Ling-lung tak karuan. 

Sampai pada suatu masa hujan turun dengan begitu lebat berhari-hari. Hari berganti hari, tanah-tanah hutan makin lunak karena air yang berlebihan menetesinya. Tanah seperti mau amblas jika tertekan beban. 

Tepat pada Rabu siang, hujan yang makin parah disertai guntur dan halilintar menyambar pohon. Satu pohon besar itu rubuh menghujam tanah, membawa serta dua keledai yang sedang berlindung pada tubuhnya dari hujan yang tiada henti-hentinya selama satu bulan lamanya.

Melihat cucu-cucunya yang tertidur, kakek pun keluar diam-diam dan perlahan-lahan. Tidak lupa mematikan lampu dahulu sebelum keluar. Kakek begitu senang melihat muka cucu-cucunya yang lucu-lucu mirip dengan dirinya dulu. 

Seketika membawanya pada masa di mana ia dulu masing muda. Kenangan yang samar-samar di desa. Dan memberi makan sapi adalah hal yang paling ia sukai. 

Kakek suka pada sapi, tidak heran jika ia bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi melalui bisnis sapi. Ia pun tertawa kecil sembari menuju ranjangnya, lalu tertidur kelelahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun