Suatu sore di pelataran rumah mbah Hendro keriuhan kecil terjadi. Tidak seperti biasanya, rumah mbah Hendro dan istrinya, mbah Ida yang senantiasa diselimuti sunyi dan hening. Tidak banyak orang-orang lalu lalang, begitu pula kendaraan. Alasan lainnya, karena memang rumah mah Hendro jauh dari jalan raya.
Rumah sederhana yang dihuninya sekarang ini merupakan rumah warisan dari bapaknya mbah Hendro. Manakala ditilik berdasar wilayah, rumah mbah Hendro masih bagian dari Desa Soditan.
Pada hari-hari tertentu, desa ini sangat ramai dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara. Biasanya mereka datang untuk mengunjungi Klenteng Cu An Kiong. Klenteng yang dipercaya telah dibangun sejak abad ke-16 ini diyakini masyarakat Jawa sebagai kleteng tertua di tanah Jawa. Budaya Tionghoa dan budaya Jawa telah berasimilasi sejak lama di tanah ini. Hubungan diantara masyarakat Jawa dan keturunan Tionghoa pun saling memahami satu dan lainnya, sehingga kedamaian bertebaran di tanah ini.
Sejarawan bahkan menyatakan bahwa perkampungan pecinan di Lasem telah ada sejak masa kerajaan Majapahit sekitar tahun 1294-1527. Percampuran budaya Jawa dengan Cina dalam beragam aktifitas kehidupan pun kemudian terjadi sejak kedatangan Cheng Ho, dan berlangsung selama ratusan tahun hingga kini, termasuk budaya batik tulis.
Usut punya usut ternyata cucu-cucu dan anak-anaknya sedang berkumpul dalam rangka merayakan hari ulang tahunnya yang ke-73 nanti malam. Cucu-cucu mbah Hendro berusia 5-18 tahun, tetapi rata-rata mereka telah menginjak usia remaja. Cucu-cucu mbah Hendro sangat antusias berkumpul di pelataran ketika sore mulai tiba. Mereka selalu menantikan cerita yang dilanturkan oleh mbah Hendro. Dari cerita rakyat, cerita kemedekaan, cerita pahlawan-pahlawa yang tidak ditulis sejarah, cerita masa kecilnya, hingga cerita jenaka.
Tak lama kemudian mbah Hendro duduk di kursi goyang miliknya, sedangkan cucu-cucunya sembari mengunyah yopia dan sesekali menyeruput sirup kawista duduk di atas tikar anyam. Tiba-tiba mbah Hendro membuka percakapan.
"Hey kalian cucu-cucuku, apakah kalian tahu perbedaan Naga China dan Naga Jawa?" mbah Hendro dengan nada tenang dan berat mengajukan pertanyaan ini kepada cucu-cucunya. Â
Semua terdiam kebingungan, tak ada satu pun yang bisa menjawab. Mereka saling pandang, ada yang tertunduk diam, ada yang asik mengunyah yopia, ada yang asik mengisi ulang gelasnya dengan air sirup kawista, ada pula yang hanya termenung, bingung.Â
"Baiklah kalau begitu," mbah Hendro menimpali keheningan itu. "Ada yang mau tau, perbedaan diantara kedua naga tersebut?"
"Mau...mau...mau..." beberapa cucunya menyahut dengan lantang seperti anak yang berebutan menangkap ikan.
"Baiklah, mbah akan ceritakan kisah ini, sebenarnya ini adalah kisah jenaka yang entah siapa yang menciptakannya dan dari mana awal mulanya berkembang. Mbah akan ceritakan apa yang mbah tau menurut versi yang diceritakan bapak mba dulu kepada mbah."
Begini ceritanya:
Kalian semua tentu tau bentuk Naga, bukan. Ya, naga itu binatang yang memiliki badan yang panjang, bersisik, dan bersirip di bagian tas tubuhnya. Naga memiliki mulut yang mancung kedepan. Naga juga berkumis seperti halnya Ikan Lele. Tapi, bukan itu yang mbah hendak ceritakan, melainkan perbedaan yang melekati si Naga China dan Naga Jawa, yakni Naga China memiliki tangan dan kaki, sedangkan Naga Jawa tidak memiliki tangan. Akan tetapi, Naga Jawa memiliki mahkota di kepalanya, sedanggkan Naga China tidak.
"Apakah ada yang tahu mengapa demikian?" mbah Hendro melempar pertanyaan pada cucu-cucunya.
"Naganya keturunan bangsawan mbah," celetuk salah sau cucunya.
"Itu naga baru menang Miss Naga Dunia kali mbah, hahaha..." cucu yang lain menimpali diikuti keriuhan tawa yang lainnya.
"Hahaha ya...ya...ya... Bisa saja begitu, tapi bukan itu jawaban yang tepat." Jawab mbah Hendro. Lalu mbah Hendro melanjutkan ceritanya.
Kedua hal itu yang membedakan Naga China dan Naga Jawa. Jikalau Naga China mudah untuk menangkap uang, karena memiliki tangan dan kaki. Nahh, maka dari itu kebanyakan orang China pintar dalam berdagang, berniaga, bisnis dalam mencari uang. Mereka memiliki simbol Naga yang memiliki tangan dan kaki.Â
Sementara itu Naga Jawa, tidak bertangan, tetapi memiliki mahkota. Mahkota melambangkan kekuasaan. Kuasa yang berate dapat mengendalikan sesuatu. Maka dari itu, orang Jawa memiliki kemampuan lebih dalam politik dan kekuasaan.Â
Jadi, dalam hal kekuasaan dan politik, orang China tidak sepandai orang Jawa, begitupun sebaliknya untuk orang Jawa yang tidak sepintar orang China dalam mencari uang. Jadi, Naga China manakala bertemu dengan Naga Jawa takut, mereka lalu memberikan uang kepada Naga Jawa. Akan tetapi, karena Naga Jawa tidak memiliki kaki dan tangan, maka uang itu diterima oleh Naga Jawa dengan mulutnya.Â
Semua cucu-cucu mbah Hendro itu terbahak dan simbah pun ikut tertawa. "Tapi kalian harus ingat ini cuma guyon lho yaa, jangan terlalu serius nanti sembelit, hahaha," ujar mbah Hendro menyudahi ceritaj jenaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H