Eksistensialisme menjadi pandangan para tokoh yang dihadirkan Iwan dalam karya-karyanya. Keempat novel yang Iwan hasilkan selama hidup ini memiliki perspektif masing-masing terhadap eksistensi dari para tokoh-tokoh utamanya dalam menjalani hidup, menetukan jalan hidupnya, dan menentukan pilihan dalam hidupnya. Keempat novei ini merupakan karya-karya yang bagus untuk para penggiat eksistensialisme, yakni Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1969), dan Kooong (1975).
Baca Juga:
https://penakota.id/penulis/pulangpulangpagi
Merahnya Merah (1968)
Merahnya Merah menjadi novel pertama Iwan Simatupang yang diterbitkan oleh Penerbit Djembatan tahun 1968. Segera setelah novel ini terbit, novel ini digadang-gadang sebagai pembawa angin baru dalam penulisan novel Indonesia. Tokoh tanpa nama hadir sebagai tokoh utama, hingga tokoh ini disebut "Tokoh Kita".
Novel ini menceritakan tentang cinta segitiga dalam kalangan gelandangan. Tokoh kita menjadi gelandangan setelah menjadi  koamandan kompi, negara mencatatnya sebagai gelandangan, dan ia harus menempuh jalan sebagai manusia yang nyata dikuasai seluruhnya oleh yang ada di luar dirinya dan ia terseret ke dalamnya.
Merahnya Merah didasarkan pada peristiwa terbunuhnya Tokoh Kita di ujung golok Pak Centeng dengan bersimbah darah yang merah. Tumbangnya Pak Centeng di ujung peluru komandan polisi dengan darah yang mengucur "merah" disambut oleh senja yang "merah" di ufuk Barat. Merahnya Merah menjadi novel intelektual yang dimana tindakan, perasaan, dan pikiran tokoh-tokohnya merupakan aktualisasi filsafat.
Ziarah (1969)
Ziarah lahir dari kekecewaan amat dalam yang dirasakan Iwan Simatupang disaat istrinya, Corry, tutup usia karena sakit tifus, meninggalkan dirinya untuk selamanya. Kematian Corry (Corinne Imalda de Gaine) pada tahun 1960 sangat memukul jiwanya. Kenangan akan kematian  istrinya inilah yang mendorong Iwan melahirkan Ziarah.
Sembilan tahun setelah peristiwa ini akhirnya novel ini pun diterbitkan oleh Penerbit Djembatan pada tahun 1969. Melalui Ziarah, Iwan berhasil mendapatkan penghargaan dari Sastra Asean (SEA Write Awards) yang ia dapatkan setelah tujuh tahun kematiannya, 1977.
Ziarah lahir di tengah demam eksistensialisme. Dan novel ini menjadi penanda penting tumbuh kembang eksistensialisme di Indonesia, tentunya setelah Merahnya Merah.