Pada dasarnya setiap manusia memiliki keinginan untuk mempunyai sesuatu, bisa berupa barang dan jasa. Memang sudah kodrat, keinginan manusia bisa berasal dari kebutuhannya atau karena faktor kegemaran alias hobi, bahkan sangat mungkin pula didorong keisengan semata.
Terlebih di zaman kini saat informasi berseliweran begitu pesat, aneka tawaran dapat mempengaruhi keputusan seseorang membeli sesuatu. Tingginya tingkat konsumsi masyarakat bakal menjadi pendongkrak perekonomian, iklim usaha bergairah, kondisi pasar ramai serta produsen dan penjual turut bersuka cita lantaran dagangannya laku.
Sektor retail adalah pangsa pasar menarik yang berkatan dengan konsumsi ditujukan khususnya bagi segmen kalangan masyarakat kelas menengah. Kalangan cenderung mapan, memiliki kemampuan daya beli mumpuni disertai selera yang cukup baik.
Dari dinamika industri retail dan berkat perkembangan teknologi belakangan muncul tren buy now pay later (BNPL) atau sering disebut pay later. Kemudahan skema pembayaran ditawarkan bagi para konsumen untuk membeli barang dan jasa.
Fenomena Buy Now Pay LaterÂ
Dewasa ini tawaran BNPL alias pay later begitu mudah ditemukan di mana-mana, berbagai platform pembayaran sangat masif menyodorkan penawaran, dibuat semenarik mungkin supaya menggaet pengguna memilih fitur tersebut.
Namun sesungguhnya pay later bukan konsep baru, karena prinsip pay later adalah kredit konsumsi dari industri retail yang membidik segmen masyarakat kelas menengah. Istilahnya boleh keren, cuma sebetulnya konsumen diajak berutang.
Bisa dibilang pay later adalah pengemasan ulang kredit konsumsi dari para pengembang platform kepada penggunanya agar mau belanja. Tidak seperti halnya kartu kredit, di mana relasi terjalin antara bank dengan konsumen pengguna kartu kredit, tetapi pay later muncul dari pergeseran transaksi keuangan belakangan ini.
Pay later merupakan bentuk inovasi bisnis dari pengembang atau katakan lembaga jasa keuangan non bank yang mampu membaca dengan baik minat dan peluang dari selera konsumsi masyarakat kelas menengah.
Ledakan e-commerce turut menyuburkan pertumbuhan pay later, merchant akan mendapatkan komisi jika pembeli memilih transaksi pay later. Wajar jika merchant begitu gencar menawarkan pay later alih-alih dagangan mereka dibayar tunai.
Bedanya lagi pay later dari kredit konsumsi tradisional adalah penggunanya kebanyakan berasal dari kalangan muda yang lebih melek teknologi. Skema pay later biasanya menawarkan pembelian dengan jumlah tetap dan beberapa periode cicilan pembayaran, bisa empat kali dalam kurun 2 minggu atau 1 bulan, tergantung penawaaran skema. Dan cicilan dibayar tanpa bunga. Namun jika konsumen telat membayar, maka konsekuensinya adalah dikenakan denda dan bunga.
Keunggulan Pay Later Dibanding Kartu Kredit
Ada beberapa alasan konsumen masa kini melirik pay later ketimbang kartu kredit, selain akibat dari perkembangan zaman, pay later memang memberikan akses lebih fleksibel dari kartu kredit.Â
Hal ini dilandasi prinsip mekanisme pemberian fasilitas kartu kredit masih mengacu pada gaya perbankan yang memperhitungkan kelayakan calon debitur serta jejak kelancaran kreditnya di masa lalu, semua proses itu memakan waktu.
Sementara pay later tidak membutuhkan waktu relatif lama, konsumen diberikan kemudahan untuk memiliki fasilitas kreditnya. Nominalnya pun relatif lebih kecil karena bergantung pada transaksi yang dilakukan.
Sudah disinggung bahwa relasi konsumen dan merchant menjadi pembeda utama antara pay later dan kartu kredit. Merchant lebih mengenal kebiasaan dan selera konsumsi si pembeli, sehingga dapat memberi layanan ekstra yang semakin menarik minat konsumen. Tawaran tersebut tidak bisa dilakukan bank.
Kartu kredit memang bisa memberi tawaran promosi lain sebagai pemanis, namun biasanya disertai persyaratan lain yang terkadang membuat konsumen berpikir ulang dan kemudian memutuskan beralih memakai pay later.
Bank Ikut Melirik Pay Later
Menyimak data pertumbuhan pay later khususnya di Indonesia faktanya menunjukkan perkembangan positif. Jika mengutip data Katadata, di tahun 2022 ini pembayaran pay later sudah berada di angka 38%, sementara tahun 2021 jumlahnya adalah 21%. Sementara penggunaan kartu kredit cenderung stagnan, karena selama setahun hanya mampu tumbuh 6%.
Tidak mengherankan, karena pertumbuhan pay later juga berbanding lurus dengan transaksi e-commerce, dan setiap platform dengan cerdas menawarkan pay later kepada para penggunanya saat bertransaksi.
Gaya aktif jemput bola dengan memberikan penawaran langsung kepada konsumen yang mungkin juga disertai promo lainnya akan sangat memudahkan menarik minat konsumen memilih pay later, dengan demikian trennya semakin tumbuh.
Dan perlu diingat lagi jika pay later ini membidik segmen masyarakat kelas menengah. Walaupun kondisi ekonomi global dibayangi resesi, namun situasi di Indonesia masih tergolong memiliki harapan stabil. Maka segmen kelas menengah masih memiliki daya beli cukup baik. Dan jika ekonomi membaik, jumlah masyarakat kelas menengah turut bertambah juga.
Masyarakat kelas menengah memiliki selera konsumsi yang tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan saja, faktor kegemaran, kesenangan serta mengikuti tren menjadi pertimbangan dalam pola konsumsinya.Â
Maka segmen ini akan membeli dan menggunakan barang karena faktor-faktor tersebut. Jangan heran jika transaksi e-commerce moncer pay later ikut menikmati pertumbuhan positif.
Memperhatikan itu, perbankan akhirnya ikutan melirik pay later sebagai salah satu senjata meningkatkan portofolio kredit konsumsinya. Karena sangat disayangkan jika peluang ini dilepas begitu saja menjadi garapan para pemain di luar bank.
Strategi Bank Ikut Bermain Pay Later
Bagi perbankan, sebetulnya pay later hanya sekadar kemasan ulang dari produk kredit konsumsi. Selaku lembaga intermediasi yang menyalurkan dana berupa kredit, perbankan sudah memiliki seluruh kemampuan guna menjual pay later, hanya saja fenomena pay later memang muncul dari area lain di luar bank lantaran layanan jasa keuangan sudah terdisrupsi oleh keberadaan fintech dan pemain e-commerce yang ikutan membuka saluran pembayaran.
Dari sisi modal, infrastruktur teknologi, jaringan usaha, data nasabah dan kemapanan regulasi sudah jelas bank punya dasar kuat untuk ikut bermain pay later. Sekarang tinggal memilih strategi supaya tawaran bank disambut baik oleh nasabahnya.
1. Mengembangkan sendiri fitur pay later
Hal ini bisa dipilih. Bank memiliki unit kerja pengembangan produk, mereka pasti sudah mengerti caranya membuat produk macam ini. Polanya mungkin bisa mirip dengan kartu kredit, ada kerja sama dengan merchant, memberikan tawaran kepada nasabahnya.
Namun perlu diingat sifat pay later adalah nominalnya mungkin tidak sebesar kartu kredit dan persyaratannya jangan sampai seribet kredit konsumsi pada umumnya. Jika tidak,ya daya tariknya akan berkurang.
Cara ini mengharuskan bank berpikir membuat program promo yang menarik dan mengena bagi segmen pasarnya, sekaligus langsung berhadapan dengan para pemain pay later non bank yang bisa jadi sudah lebih mengenal pangsa pasarnya.
Ada beberapa bank yang sahamnya justru dimiliki investor dari pemain e-commerce dan fintech besar. Dalam posisi ini bank tersebut menjadi kepanjangan tangan dari para pemilik modalnya untuk lebih memantapkan hegemoninya memperluas pangsa pasar penawaran pay later, jauh lebih mudah karena berada dalam satu konglomerasi.
2. Kolaborasi
Bank menghadapi disrupsi, pangsa pasarnya digerus oleh pihak lain yang muncul belakangan namun malah sanggup memberikan tawaran menarik bagi masyarakat. Baik fintech, e-commerce yang menawarkan jasa pembayaran, sebagai penantang bank sudah pasti akan membawa faktor pembeda yang tidak bisa diberikan bank, yaitu kemudahan, nyatanya hal itu disambut dengan baik oleh pasar.
Kolaborasi bersama para pemain tersebut bisa menjadi opsi lain. Bank dapat membuat program bersama, ditawarkan berbarengan. Cara lainnya adalah bank memberikan kredit modal kerja bagi fintech atau e-commerce agar bisa meningkatkan portofolio fasilitas pay later-nya.
Masing-masing strategi dapat dijalankan, malah sangat terbuka kemungkinan bank mengambil kedua langkah tersebut. Mengingat peluang pertumbuhan pay later sangat menggiurkan untuk digarap.
Masa Depan Pay Later
Jika melihat penjelasan sebelumnya, ke depan perkembangan pay later masih bisa berkembang lebih baik. Hal utama yang menjadi alasan adalah kemampuan belanja alias daya beli dari segmen kelas menengah yang masih memiliki kemauan berbelanja.
Dimungkinkan juga karena kondisi ekonomi di Indonesia masih cukup terjaga, menjadi alasan potensi masyarakat kelas menengah akan terus melakukan konsumsi memenuhi kebutuhan dan keinginannya selama mereka memiliki penghasilan tetap.
Pay later merupakan hasil inovasi bisnis, perubahan menghasilkan gaya baru di kalangan masyarakat. Kelak kemasannya akan terus bertambah semakin beragam dan menarik minat konsumen. Apalagi membawa keuntungan baik bagi merchant atau pihak pengembangnya.
Dinamikanya akan terus bergulir, pastinya akan lahir juga fitur-fitur baru seiring perkembangan waktu. Tapi karena prinsip dasarnya adalah pola konsumsi, maka entah pay later atau kelak kemasannya lain kredit konsumsi bakal tetap diminati, malah justru bisa saja ada upgrade versi pay later. Sangat memungkinkan.
***
Menurut Abraham Maslow, dari lima dasar kebutuhan manusia, kebutuhan fisiologis berada pada urutan paling dasar. Teori ini mengajarkan ketika satu kebutuhan dasar terpenuhi maka manusia akan merasa dituntut oleh kebutuhan dasar lainnya.
Kebutuhan fisiologis dapat diterjemahkan sebagai kebutuhan bersifat fisik, makanan atau pakaian, kemudian diikuti kebutuhan rasa aman, kasih sayang, penghargaan dan di hierarki paling tinggi adalah aktualisasi diri.
Jika ditinjau lebih lanjut, dari setiap tingkatan tersebut akan mendorong manusia melakukan perilaku konsumsi, membeli barang atau jasa. Sepanjang hidup, manusia akan terus melakukan transaksi, konsumsi adalah pola berkesinambungan, hanya saja patut dilakukan dengan bijakasana, sesuai kebutuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H