Mohon tunggu...
andry natawijaya
andry natawijaya Mohon Tunggu... Konsultan - apa yang kutulis tetap tertulis..

good.morningandry@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Inflasi, Bukan Basa Basi

19 Juni 2022   13:21 Diperbarui: 21 Juni 2022   14:17 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kebijakan moneter ketat (dw.com)

"Apa-apa sekarang mahal!"

Demikian celoteh Aeng seorang penjual soto mie yang sehari-harinya biasa berdagang di belakang komplek perkantoran.

"Aduh ini minyak harganya masih mahal, sekarang giliran cabe ikutan naik, kayaknya kok duit makin ga ada harganya."

Itulah keluh kesah Aeng yang merasa kalang kabut karena harga-harga bahan pangan di pasar naik. Sebagai pedagang kecil, mahalnya harga pangan menjadi masalah pelik terkait harga jual sotonya berikut penghasilannya.

"Kalo begini terus, ga tau deh, ya mau ga mau harga bakal dinaikin, kalo ga masa jualan malah nombok," serunya sambil menunggu duduk menunggu pembeli.

Masyarakat Indonesia mulai mengeluhkan harga kenaikan minyak goreng semenjak Desember 2021 lalu, memasuki tahun 2022 harga bahan pangan seperti telur dan lainnya ternyata turut merangsek naik, terutama menjelang memasuki bulan Ramadan.

Usai hari raya Idul Fitri harapan harga akan turun ternyata tinggal harapan, harga-harga malah lebih mahal lagi. Kenaikan harga berjamaah ini sudah pasti menyebabkan beban biaya hidup bertambah, namun penghasilan belum tentu.

Pusing memang melakoni kondisi semacam ini, tetapi jika dipandang dari aspek yang lebih luas, apa yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini sesungguhnya adalah merupakan masalah global, yaitu inflasi.

Ilustrasi: Inflasi menjadi masalah global (wealthiertoday.com)
Ilustrasi: Inflasi menjadi masalah global (wealthiertoday.com)
Ada berbagai alasan mengapa inflasi saat ini begitu menjadi momok bagi masyarakat global, dan semuanya dimulai sejak fase pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 di tahun 2021. Ya, lagi-lagi pandemi Covid-19 menyisakan masalah lanjutan.

Alasan Inflasi Meningkat Tajam

Ketika negara-negara mulai mencoba bangkit dari keterpurukan, berbagai pembatasan yang sebelumnya diberlakukan guna mencegah Covid-19 dilonggarkan, dan masyarakat lantas mulai berkeinginan kembali merasakan hidup normal serta membeli berbagai barang konsumsi.

Namun ternyata pasokan barang tidak seimbang dengan permintaan pasar, khususnya bagi barang-barang dari luar negeri. Ketimpangan pasokan dan permintaan ini memicu kenaikan harga, ini adalah hukum dasar ekonomi.

Ilustrasi: Aktivitas masyarakat mulai pulih seiring pelonggaran pembatasan, namun dihantui inflasi (purdueglobal.edu)
Ilustrasi: Aktivitas masyarakat mulai pulih seiring pelonggaran pembatasan, namun dihantui inflasi (purdueglobal.edu)

Masalah bertambah runyam ketika harga pengadaan minyak dan gas untuk kebutuhan energi ikutan naik, apalagi setelah Rusia menyatakan operasi militer ke Ukraina yang entah kapan usai. Konflik berlarut-larut memicu harga-harga semakin tinggi.

Kabar terkini disebutkan jika Rusia sudah memangkas 60% pasokan gas melalui pipa Nord Stream, efeknya bagi warga Jerman adalah mereka didorong menghemat penggunaan energi. Krisis energi sudah dirasakan berbagai negara Eropa.

Sebelumnya warga Inggris mengeluhkan biaya hidup semakin tidak terjangkau. Jika menyimak perkembangan inflasi, berdasarkan data tradingeconomics.com di Turki tingkat inflasi sudah menyentuh hingga 73,5%, lalu Rusia 17,1%, Inggris 9%, dan kawasan Eropa mencapai 8,1%.

Amerika Serikat menghadapi inflasi 8,6%, di bagian selatan benua Amerika, Argentina mencatat tingkat inflasi tertinggi yaitu 60,7% disusul Brasil sebesar 11,73%. Bagaimana Indonesia? Hingga bulan Mei 2022 inflasi sudah berada di titik 3,55%, sebetulnya masih lebih rendah dibandingkan dengan Singapura 5,4%, Korea Selatan 5,4% atau India 7,04%.

Ilustrasi: Lonjakan inflasi di seluruh dunia (rte.ie)
Ilustrasi: Lonjakan inflasi di seluruh dunia (rte.ie)

Data-data tersebut mencerminkan bahwa saat ini inflasi telah menjadi masalah umum di dunia, melanda di setiap negara dan mengakibatkan biaya hidup masyarakat semakin berat. 

Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani baru-baru ini mengemukakan bahwa dirinya dicurhati beberapa rekan sejawatnya mengenai inflasi ini yang terjadi di negaranya masing-masing. Artinya semua negara memiliki masalah sama.

Diberitakan oleh BBC bahwa warga Jepang yang selama beberapa dekade merasakan kestabilan harga-harga kebutuhan pokok, kini begitu terkejut menghadapi inflasi serta kenaikan harga makanan hingga 20%, hal ini bahkan sampai membuat produsen makanan di Jepang meminta maaf karena mereka terpaksa menaikkan harga jual.

Ilustrasi: Harga pangan berikut biaya hidup makin mahal (bbc.com)
Ilustrasi: Harga pangan berikut biaya hidup makin mahal (bbc.com)
Jika dicermati, biang keladi inflasi dewasa ini bermuara akibat kesenjangan permintaan dan pasokan barang di pasar, ditambah lagi adanya krisis geopolitik kemudian berujung krisis energi , pada akhirnya umat manusia menjadi semakin sulit menghidupi keluarganya.

Dan nampaknya tidak banyak yang bisa dilakukan para pihak yang berwenang di bidang moneter menyikapi situasi ini, karena ini adalah masalah global mungkin langkah dari setiap bank sentral masing-masing negara mirip antara satu sama lain.

Kebijakan Moneter dan Suku Bunga

Kebijakan menangani inflasi disesuaikan dengan penyebab inflasi itu sendiri. Mungkin untuk situasi luar biasa yang dirasakan saat ini kebijakan moneter bersifat kontraktif cenderung lebih masuk akal mengendalikan inflasi, dengan tujuan mengurangi peredaran uang melalui peningkatan suku bunga.

Bank of England mengakui tidak banyak yang bisa mereka lakukan menghadapi lonjakan inflasi ini. 

Di Amerika Serikat, The Fed sudah memutuskan menaikkan tingkat suku bunga bahkan hingga Agustus 2022 atau lebih The Fed bisa mengambil kebijakan serupa.

Walaupun dampaknya pertumbuhan ekonomi akan lambat, masyarakat didorong mau mengurangi belanja dan menyimpannya di bank. Sederhananya, masyarakat dihimbau lebih hemat. Kondisi serba sulit, semua harga mahal, hemat menjadi pilihan bijak, walaupun suku bunga tinggi juga akan menimbulkan masalah lain.

Ilustrasi: Kebijakan moneter ketat (dw.com)
Ilustrasi: Kebijakan moneter ketat (dw.com)

Yaitu di sektor industri yang sudah kadung memiliki utang sebagai modal kerjanya akan membayar kewajiban lebih besar, sementara bisa jadi tingkat penjualan justru anjlok karena pelanggan mengurangi belanja. Rasanya serba salah.

Ada beberapa metode untuk mengendalikan inflasi, meskipun tidak bisa diperkirakan seberapa jauh cara tersebut efektif.

Kebijakan pengendalian harga melalui subsidi tepat sasaran. Tak bisa disangkal masyarakat menengah ke bawah adalah golongan paling merasakan beban berat akibat inflasi, maka kebijakan pengendalian harga melalui subsidi tepat sasaran adalah kebijakan yang bisa ditempuh, asalkan tepat saran bagi masyarakat yang membutuhkan.

Jika pemerintah Republik Indonesia hendak mencabut subsidi listrik bagi golongan masyarakat mampu, sejatinya pemerintah bermaksud menyeimbangkan anggaran negara agar pemberian subsidi diarahkan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang malah lebih membutuhkan bantuan ketimbang golongan kaya yang jujur saja tidak pantas dibantu uang negara hanya untuk bayar listrik. Subsidi adalah salah satu contoh menekan kenaikan harga, terutama bagi masyarakat kurang mampu.

Ilustrasi: Upaya mengendalikan peredaran uang (moneytalksnews.com)
Ilustrasi: Upaya mengendalikan peredaran uang (moneytalksnews.com)
Operasi pasar terbuka. Ini salah satu langkah umum jika kondisi moneter suatu negara sedang mengalami tekanan. 

Bank sentral menawarkan penjualan sekuritas dengan perjanjian akan dibeli kembali (buy back), metode ini sangat berhubungan dengan neraca arus kas bank sentral, peredaran uang serta tingkat suku bunga. 

Saat suku bunga tinggi, instrumen sekuritas menawarkan imbal kupon lebih besar, peredaran uang dapat diserap melalui cara ini.

Persyaratan cadangan uang tunai. Dalam kasus tertentu, bank sentral dimungkinkan untuk mengelola pasokan uang tunai melalui syarat tertentu sesuai keadaan. 

Jumlah uang diharuskan tersimpan oleh bank diusahakan menutupi penarikan. Bank didorong untuk bisa menyimpan uang dan mengurangi fungsi intermediasinya berupa memberikan pinjaman. Ini langkah yang lebih sulit.

Sikap Bijak Menghadapi Inflasi 

Patut disadari inflasi menyebabkan situasi makin susah, baru saja ada angin segar harapan ekonomi pulih dari keterpurukan selama dua tahun gara-gara Covid-19, ternyata masalahnya jadi lebih kompleks, tantangan hidup bertambah lagi.

Sabar dan hemat, itu adalah sikap pertama yang bisa dilakukan. Kesulitan ini dihadapi semua orang, mungkin saat ini kita diajak belajar lebih sabar dan cermat terhadap penggunaan uang. Ada beberapa tindakan yang kiranya bisa menjadi sikap bijak di saat zaman susah macam sekarang ini.

Menentukan anggaran prioritas. Kira-kira apa saja yang menjadi kebutuhan dasar sehari-hari, ada baiknya semua ditinjau ulang, dibuat daftar prioritas dari kebutuhan utama hingga yang dapat ditunda. Ini tindakan sederhana tapi kita bisa fokus melihat kebutuhan yang harus dipenuhi dan urusan lain yang tidak terlalu penting. Penggunaan uang jadi lebih terarah berdasarkan anggaran prioritas.

Ilustrasi: Menentukan anggaran sesuai kebutuhan (military.com)
Ilustrasi: Menentukan anggaran sesuai kebutuhan (military.com)

Melunasi utang dengan bunga variabel. Mengingat suku bunga bisa bergerak naik diikuti bunga kredit semakin mahal, jika memungkinkan utang seperti kartu kredit atau utang konsumsi bisa dilunasi. Lantas mengurangi belanja melalui utang. Bunga untuk utang konsumsi biasanya lebih tinggi dari utang produktif.

Menyiapkan dana darurat. Sebut saja tabungan yang disiapkan untuk keadaan darurat. Situasi serba sulit dan tidak pasti, segala hal bisa terjadi. Memiliki dana darurat akan sangat berguna ketika kepepet. Menabung seperti masih menjadi pilihan bijaksana.

Ilustrasi: Dana darurat (money.usnews.com)
Ilustrasi: Dana darurat (money.usnews.com)

Investasi. Jika masih memiliki dana lebih, ketimbang digunakan belanja hal yang tidak perlu, mungkin sebaiknya tentukan investasi produktif. 

Contohnya pasar modal, obligasi, deposito atau emas. Pilih investasi legal dan sesuai kemampuan. Ingat suku bunga naik, imbal balik dari investasi bisa lebih tinggi, asalkan tidak salah pilih.

Dampak Inflasi Global Bagi Indonesia 

Masyarakat Indonesia sudah pasti terkena dampak langsung persoalan global ini. Merasakan harga-harga semakin mahal adalah indikator paling gampang jika mau menyadari bahwa kondisi saat ini suram.

Kebijakan penyesuaian suku bunga kompak dilakukan oleh hampir seluruh bank sentral, ini menimbulkan persaingan memperebutkan dana investasi luar negeri. Pasar modal Indonesia sudah merasakan aliran dana asing keluar, sehingga Indeks Harga Saham Gabungan melemah.

Ilustrasi: Nilai uang turun (cnbc.com)
Ilustrasi: Nilai uang turun (cnbc.com)

Harga obligasi negara pun tertekan, serta kurs Rupiah juga mengalami nasib sama dengan proyeksi Rp 14.700 hingga Rp 15.200 per US$ 1. Mungkin tingkat suku bunga akan disesuaikan juga, tinggal menunggu perkembangan situasi lebih lanjut, sudah pasti pemerintah bakal melakukan pengetatan kebijakan moneter.

***

"Yang penting masih bisa usaha dah, bisa makan, udah Alhamdulillah. Kalo nanti ya pasrah aja, yang penting sehat, kalo dpikirin terus pusing," kata Aeng sambil menyiapkan soto mie untuk langganannya.

Soto mie seharga Rp 13.000 per porsi terancam naik menyusul meningkatnya harga bahan pangan di pasar. Kegundahan Aeng dari sudut pedagang kecil dirasakan pula oleh banyak orang, malah Robert Kiyosaki penulis buku Rich Dad Poor Dad turut mengomentari kerasnya beban hidup saat ini.

"Investasi Terbaik: Ikan Tuna Kalengan," ujarnya.

"Inflasi akan lepas landas. Investasi terbaik adalah kaleng tuna & kacang panggang. Anda tidak bisa makan emas, perak, atau bitcoin."

"Makanan yang paling penting," lanjutnya. "Kelaparan masalah berikutnya. Berinvestasi dalam solusi."

Mungkin terkesan bercanda, tapi melihat esensi masalah aktual yaitu ancaman krisis pangan dan energi, ocehan Kiyosaki logis juga, karena tuna kalengan selain harganya relatif terjangkau, masa simpan produknya juga cukup tahan lama, mungkin tuna kalengan simpanan itu tetap bisa dinikmati ketika harganya menjadi tidak terjangkau akibat inflasi. Bukti jika inflasi nyata terjadi, bukan sekadar basa-basi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun