Ternyata menurut Philippa Laly, seorang ahli psikologi kesehatan di Universitas College London, perubahan perilaku seseorang sehingga terbiasa sepenuhnya dengan suatu kebiasaan baru membutuhkan waktu paling sedikitnya sekitar 66 hari dan paling lama hingga 254 hari.
Masuk akal, karena mengubah perilaku seseorang sejatinya tidaklah semudah mengedipkan kelopak mata.
Jika ada teori populer mengungkapkan bahwa seseorang akan terbiasa melakukan kebiasaan baru dalam waktu 21 hari, mungkin perlu dikaji kembali sejauh apa kebiasaan baru tersebut dilakukan, bisa jadi untuk kebiasaan sepele, sedangkan perilaku secara utuh sudah pasti akan memakan waktu lebih lama.
Lantas bagaimana dampak pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung 1 tahun terhadap perilaku konsumen?
Berkaca pada kondisi selama kurun waktu 1 tahun ke belakang nampaknya para pelaku bisnis harus kembali memikirkan dan mengambil ancang-ancang penerapan strategi usai pandemi.
Dampak langsung pandemi sudah jelas, kegiatan manusia dibatasi, sebisa mungkin pergerakan dan kerumunan manusia dicegah. Himbauan tinggal di rumah sampai karantina diberlakukan, ketika banyak manusia harus diam di rumah, perilaku konsumen terhadap kebiasaan konsumsi barang dan jasa sudah tentu akan terpengaruh.
Konsumen merespon kondisi pandemi dengan perubahan perilaku, mulai dari lokasi tempat kerja yang biasanya di kantor menjadi di rumah, hingga aktivitas mengisi waktu luang. Di saat seseorang mengisi waktu pasti ada barang atau jasa yang digunakan.
Sementara perilaku konsumen terlanjur berubah. Biang kerok krisis setahun belakangan ini memang jelas, yaitu pandemi, tapi perlu disadari lagi bahwa sangat memungkinkan krisis yang terjadi membawa perubahan terhadap model bisnis.
Hal yang sebelumnya menjadi keunggulan jangan-jangan sudah tidak lagi valid, malah menjadi titik lemah. Malahan mungkin aspek semasa pra pandemi dianggap kelemahan berbalik menjadi kekuatan bisnis.
Seperti judul lagu Gotthard, band rock asal Swiss, Everything Can Change. Segala sesuatu bisa berubah dan terjadilah krisis membawa perubahan, hal tidak terduga ternyata jadi kenyataan, perlu antisipasi lebih lanjut menyambut masa seusai pandemi.
Teringat kembali pepatah Tiongkok kuno mengatakan, “Ada peluang di balik setiap krisis,” setiap masa sulit jika direnungkan secara bijak pasti ada pelajaran penting dan berguna untuk melangkah sesudahya.
Indonesia menderita akibat krisis moneter tahun 1998, UMKM disebut-sebut saat itu masih bisa bertahan, sementara konglomerat usaha besar morat-marit. Sektor jasa keuangan ikut-ikutan sengsara, bahkan banyak bank ditutup.
Bangkit dari krisis 1998 banyak pengusaha belajar dan menerapkan strategi baru, sementara sektor jasa keuangan berbenah. Bisnis rebound kembali tumbuh, harga komoditas dunia turut naik, memoles daya tarik dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tetapi krisis 1998 sudah lebih dari 2 dekade lampau, hanya dampaknya adalah konsumen lebih kritis terkait konsumsi terutama dalam hal barang pokok.
Faktor melewati masa sulit dan gaya hidup dituntut berhemat nampaknya mengubah paradigma konsumen terhadap perhitungan daya beli dan harga.
Bisnis tetap rebound namun konsumen lebih kritis, mereka akan membandingkan antara penawaran produk dari iklan, harga yang dijual sampai dengan kualitas produk serupa milik para kompetitor.
Hal menarik sesudah krisis 2008 adalah produsen produk dan jasa mengubah haluan media pemasaran ke arah digital, karena kala itu aspek teknologi digital sedang tumbuh pada tahap awal.
Menentukan Strategi Bisnis Seusai Pandemi
Diharapkan keterpurukan ekonomi global segera berlalu, vaksinasi menjadi harapan cerah akan pulihnya kehidupan dan ekonomi, bisnis dapat berlangsung baik kembali ketika krisis usai. Itu terjadi andai pandemi teratasi.
Menurut Boston Consultative Group (BCG) dalam menentukan strategi pasca pandemi, perusahaan harus berusaha ekstra keras atau bekerja luar biasa, karena perilaku konsumen dan pola konsumsi mereka turut berubah seiring pandemi.
BCG mengemukakan pola belanja konsumen memang berubah, e-commerce tumbuh pesat, karena berlakunya lockdown di sejumlah wilayah Amerika Serikat dan Inggris mendorong perubahan perilaku belanja ke ranah online memanfaatkan jaringan internet.
Keberadaan para konsumen bekerja dan beraktivitas di rumah berujung pergeseran gaya hidup, aktivitas di luar rumah dihindari, maka sambil mengisi waktu mereka melakukan kegiatan belanja menggunakan gawai.
Dapat ditebak jika akses media sosial melonjak hingga 62%, video streaming sebesar 70% serta game adalah 59%, pelakunya mayoritas para generasi millenial dan generasi Z. Sedangkan tingkat peningkatan belanja on line adalah 33%.
1. Mengubah cara pandang, menyadari jika dunia dan perilaku konsumen berubah
Penting disadari jika krisis kali ini berbeda dari kasus krisis sebelumnya, penyebab utama terjadinya krisis 2020 bermula dari krisis kesehatan merembet ke krisis ekonomi. Jika krisis pra pandemi, manusia masih bebas berkeliaran, hal itu tidak berlaku lagi.
Pola konsumsi barang dan jasa berubah karena perilaku konsumen yang sudah terbiasa terpaksa harus menjalankan protokol kesehatan serta berdiam diri di rumah. Pendekatan pemasaran juga selayaknya bisa semakin spesifik, semakin bisa memahami kebutuhan konsumen lebih detil.
Sudah disinggung jika e-commerce semakin digemari, kini waktunya ranah digital semakin digenjot sebagai media pemasaran. Kelebihan dari ranah digital adalah ruang lingkupnya seolah tanpa batas serta aksesnya lebih mudah, tidak mengenal jarak.
Analisis data media sosial serta profil konsumen bisa digunakan sebagai dasar mempelajari perilaku, kecenderungan pola konsumsi, sehingga produk dan jasa yang ditawarkan dapat lebih mudah diarahkan.
Terlebih menurut riset BCG para milenial dan generasi Z sebanyak 69% membeli produk baru yang sebelumnya tidak pernah konsumsi, hanya karena ingin mendapatkan pengalaman baru. Nyatanya terpengaruh iklan dan opini di media sosial.
3. Menekankan produk dan jasa masih bertahan
Bagi konsumen loyal keberadaan suatu produk dan jasa yang sudah terbiasa digunakan sangat berarti, sementara bagi konsumen potensial harus dirayu agar pilihan mereka terarah kepada produk dan jasa tersebut.
Sampaikan pesan bahwa produk dan jasa masih tetap eksis, tidak kalah oleh pandemi. Rebranding sangat mungkin dilakukan, memberikan kesan atau image lebih anyar pada konsumen. Hal ini menghindari kebosanan atau kebingungan dari rasa terperangkap di masa pandemi.
Istilah rebranding menjadi solusi ketika pasar merespon dingin karena produk dan jasa dipandang sudah tidak sesuai kebutuhan.
Jangan lupa bahwa konsumen selalu ada dan tetap memiliki minat berikut kebutuhan yang mungkin masih sama, tetapi perilaku dan cara pandangnya sudah berubah. Hal ini harus diusahakan agar atensi mereka kembali terarah pada produk dan jasa yang ditawarkan.
4. Meningkatkan kapasitas usaha dan kompetensi
Karena menyangkut masa depan, sudah tentu perlu kapasitas usaha dan kompetensi lebih, semua harus ditingkatkan, perubahan menyebabkan segalanya menjadi tidak lagi sama. Paling tidak itu disadari terlebih dahulu.
Cara komunikasi, proses produksi dan distribusi, kemasan serta penanganan keluhan konsumen sebaiknya dikaji kembali. Membidik konsumen dengan perilaku yang sudah berubah membutuhkan kreativitas. Metodenya harus unik, menarik perhatian, ada nilai pembeda dari produk pesaing.
***
“Stop running round in circles. Get back under control. We’re all masters of future under the sun. Under the sun. I live my life. I walk the line. I’m moving on, yes I’m on the run. It’s you n me. Everything can change.”
Melalui single berjudul Everything Can Change, Gotthard menyampaikan pesan jika kita semua harus selalu optimis. Masa depan ditentukan oleh kita sendiri dan semuanya dapat berubah tidak lagi sama dengan masa lalu.
Senada kondisi berat di saat pandemi, seusai pandemi teratasi masa depan terbentang dan harus dijalani. Waktunya menatap dan melangkah, semuanya bisa berubah, situasi suram akan berlalu, usai, sirna. Everything can change.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H