Mengapa?
Karena perbankan memiliki peran terhadap lalu lintas keuangan serta modal. Penurunan ekonomi membuat kemampuan finansial ikut turun, sudah pasti ini merupakan situasi buruk bagi perbankan selaku penyokong jasa finansial. Corona sudah menebar ancaman demamnya kepada perbankan.
Iklim usaha sedang tidak menggembirakan, pilihan bagi pemilik modal adalah menahan investasi, sedangkan usaha yang masih memiliki prospek digenjot namun dilakukan secara efisien.
Artinya sangat mungkin melakukan perampingan organisasi. Fakta semacam ini dapat berujung turunnya permintaan masyarakat terhadap kredit konsumsi.
Lantas bagaimana kondisi perbankan menghadapi demam corona? Melihat dari kecukupan modal, masih bisa bernafas lega karena secara umum tingkat kecukupan modal perbankan adalah 23,3%, tergolong tinggi.
Hanya saja risiko kredit turut meningkat, terutama segmen komersial (5,67%), UMKM (3,97%). Tingkat kredit bermasalah (non performing loan) segmen korporasi adalah 1,46% tapi harus menyikapi secara hati-hati potensi tumbuhnya kredit lain yang kualitasnya memburuk.
Rasio tersebut menyimpulkan perbankan dapat memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendeknya, hanya saja ada kemungkinan bertambahnya sumber dana dari deposito yang bunganya lebih tinggi, sehingga akan menggerus pendapatan bunga.
Selanjutnya terkait prospek pertumbuhan kredit diprediksi akan tetap lambat, tentunya sehubungan lesunya dunia usaha. Permintaan kredit baru akan tetap ada, namun perbankan harus selektif memilih calon debitur, pembiayaan ditujukan kepada debitur yang prospek usahanya menjanjikan. Sulitnya kondisi ekonomi sudah pasti perbankan akan lebih berhati-hati menilai kelayakan debiturnya.
Tidak dapat dipungkiri jika kondisi saat ini tidak mudah bagi perbankan, terutama bagi bank kategori BUKU 1 dan BUKU 2, setelah keterbatasan modal serta jaringan tekanan ekonomi makro berikut imbasnya kepada dunia usaha memperparah pencapaian bisnisnya.