Mohon tunggu...
andry natawijaya
andry natawijaya Mohon Tunggu... Konsultan - apa yang kutulis tetap tertulis..

good.morningandry@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Dilema Rokok, Antara Surplus dan Defisit Anggaran

4 Agustus 2018   21:08 Diperbarui: 21 Agustus 2018   13:24 2208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Cu, tolong nih rokok kretek. Biasa dah sebungkus, mulut gue asem banget nih." Lantas pedagang rokok yang sehari-hari mangkal dengan menggunakan gerobak mengambil sebungkus rokok kretek berwarna hijau dan memberikan rokok tersebut sambil berkata, "Yang kali ini sebungkus abang ambil langsung (bayar) apa nyatet (hutang) lagi nih bang?"

Rokok diambil dan pembeli menyahut, "Kayaknya kudu dicatet dulu deh Cu, masi belom ada garukan lebih nih." Penjual rokok bernama Cucu itu menyikapinya dengan mengambil buku catatan dan menuliskan hutang Bang Eko sang pembeli.

Bang Eko sejatinya adalah seorang jawara lokal kelas teri yang kesehariannya mengatur jatah parkir di suatu kawasan di bilangan Jakarta Barat, selain itu terkadang mendapatkan keuntungan dari proyek kecil berdasarkan permintaan beberapa pemilik toko di wilayah kekuasaannya.

Bang Eko merupakan potret umum dan sering dijumpai, gambaran profil masyarakat menengah ke bawah dengan menggantungkan rejekinya dari aktivitas parkir dan garukan (proyek) lainnya.

Bang Eko juga ternyata seorang perokok berat, dia mengaku dalam sehari sanggup menghabiskan tiga bungkus rokok kretek kegemarannya. Tentunya jika dihitung secara sederhana jika sebungkus rokok kretek terdiri dari 12 batang, maka jumlah keseluruhan rokok yang dihisap Bang Eko mencapai 36 batang.

Membandingkan dengan jumlah jam dalam satu hari adalah 24 jam, maka secara rata-rata Bang Eko dalam satu jam setidaknya menghisap 1,5 batang rokok. Tetapi jika dipotong dari durasi waktu tidur, makan dan mandi tentunya menjadi lebih singkat.

Rokok merupakan salah satu komoditas yang disebut menjadi salah satu penggerak ekonomi di Indonesia. Dan tak dapat disangkal bahwa sampai saat ini rokok sangat erat dengan aktivitas masyarakat di berbagai kalangan. Penggemar rokok terdiri dari berbagai profesi dan usia.

Rokok terus digemari karena secara ilmiah telah terbukti mengandung zat adiktif, sehingga orang akan merasakan ketergantungan untuk mengkonsumsinya. Reaksi pencandu rokok jika tidak merokok juga beragam ada yang merasa tidak dapat berkonsentrasi, atau malah merasakan sakit, intinya semua perasaan tidak nyaman dapat diredam dengan menghisap rokok.

Rokok juga menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Sudah jelas berdampak buruk terhadap kesehatan tetapi diklaim menopang ekonomi masyarakat. Rokok sudah terbukti dapat mengancam nyawa manusia dan menyebabkan ketergantungan, namun tidak ada fatwa atau keputusan haram dari kalangan pemuka agama terhadap rokok sebagaimana alkohol atau narkoba.

Pengaruh Industri Rokok Terhadap Ekonomi 

Apa saja komoditas sehari-hari yang selalu dibeli oleh masyarakat? Jika dulu kita mengenal istilah sembilan bahan pokok alias sembako, terdiri dari beras, telur, minyak goreng dan berbagai kebutuhan dasar lainnya, saat ini tak perlu heran jika rokok termasuk sebagai komoditas rutin yang dikonsumsi.

Saking besarnya porsi uang sebagai biaya untuk membeli rokok, maka sumbangsih cukai rokok kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada tahun 2017 mencapai Rp. 149 Triliun, mengalami kenaikan sebanyak 6% year on year. Tidak dapat disangkal jumlah itu sangat besar.

Pendapatan negara dari cukai rokok selalu naik setiap tahunnya, dan untuk tahun 2018 diharapkan akan mendatangkan uang lebih tinggi lagi. Angka Rp 149 Triliun dapat disetarakan 10% dari pendapatan pajak di tahun 2017, sebagai catatan pendapatan pajak di tahun 2017 mencapai Rp. 1.498 Triliun. Berdasarkan komposisi tersebut dari sudut pandang ekonomi makro dapat disimpulkan dengan jelas bahwa industri rokok memegang peranan cukup berarti bagi kas negara.

Kemudian poin penting lainnya adalah perusahaan di industri rokok masih banyak menggunakan sumber daya manusia sebagai pekerja, dan artinya adalah industri rokok mampu menciptakan lapangan kerja dan secara otomatis akan menyerap tenaga kerja.

Terutama perusahaan penghasil rokok kretek, dimana masih menggunakan tenaga para pengrajin untuk melinting rokok, setidaknya dari aspek ini masih ada perusahaan rokok yang bersifat padat karya dalam menjalankan usahanya.

Ilustrasi: kompas.com
Ilustrasi: kompas.com
Diperkirakan ada 6,1 juta jiwa tenaga kerja dari hulu ke hilir sebagai sumber daya manusia di industri rokok, mencakup dari tenaga kerja di pabrik sampai para petani tembakau.

Di Indonesia ada beberapa kota yang menjadikan pabrik rokok sebagai penggerak ekonomi utama di kawasan tersebut. Seperti Kudus dan Kediri, di dua kota ini sejak puluhan tahun lalu berdiri pabrik rokok dan menjadi penyangga utama penghasilan penduduk setempat. Dan sudah jelas pemerintah daerah setempat juga sangat terbantu dengan adanya pabrik rokok tersebut, karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan tingkat kemiskinan, setidaknya di tingkat daerah.

Selain menyerap tenaga kerja sebagai pekerja, perusahaan rokok juga berdampak terhadap kesejahteraan petani tembakau dan cengkeh. Perusahaan rokok memiliki jalinan kerja sama dengan para petani untuk memasok tembakau dan cengkeh sebagai bahan dasar rokok. Pola kerja sama ini sudah sedemikian melekat dalam industri rokok.

Perusahaan rokok dengan skala besar juga dikenal rajin memberikan kontribusi untuk bidang sosial, seperti dengan memberikan program beasiswa pendidikan, menyelenggarakan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan skala lebih luas, dan juga tentunya menjadi sponsor berbagai acara.

Dana-dana yang digelontorkan perusahaan-perusahaan rokok tersebut tentunya tidak sedikit, tapi sudah pasti sebanding dengan keuntungan dari hasil penjualan rokok.

Ilustrasi: metrotvnews.com
Ilustrasi: metrotvnews.com
Sedangkan jika korelasinya dengan sektor usaha mikro dan kecil, rokok adalah salah satu barang dagangan yang diunggulkan. Keuntungan dari penjualan rokok memang tergolong tipis, namun perputaran uangnya cepat, bisnis jual beli rokok bersifat cash basis, ada uang ada barang. 

Jika kita perhatikan, pedagang rokok dalam berbagai skala usaha dapat dengan mudah dijumpai. Mulai dari distributor sampai dengan pengecer kelas asongan.

Untuk kapasitas usaha distributor dengan skala besar juga menyerap tenaga kerja. Dan menariknya, di Indonesia rokok dijual secara eceran alias tidak selalu harus dijual per bungkus. Dan karena hal ini pula rokok tidak pernah kehilangan pembeli dan tidak terbatasi oleh kenaikan harga jual.

Rokok dan Berbagai Permasalahan Sosial 

Jika ditinjau dari kandungannya, sudah terbukti komposisi dalam sebatang racun dipenuhi oleh racun, dan sifatnya membahayakan bagi kesehatan manusia.

Berbagai penyakit telah terbukti pula dipicu oleh rokok. Penyakit seperti kanker, gangguan jantung, tekanan darah tinggi, dan juga untuk kaum hawa dapat menyebabkan permasalahan pada janin. Rokok menimbulkan risiko penyakit dan kematian, jawabannya secara tegas adalah betul.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO), Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok peringkat ke-3 terbesar di dunia setelah Tiongkon dan India.

Ya, setidaknya dalam hal ini kita perlu berpikir bagaimana rokok dapat berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, ternyata berbanding terbalik dari pengaruhnya terhadap sumbangsih ekonomi secara umum.

Sampai tahun 2018 diperkirakan terdapat 60 juta jiwa perokok aktif di Indonesia, dan yang mengejutkan adalah 70% dari para perokok tersebut adalah masyarakat miskin dan anak-anak.

Ilustrasi: rhondasnaturesway.com
Ilustrasi: rhondasnaturesway.com
Dalam perspektif ini rokok akan menjadi persoalan, karena masyarakat dengan daya beli pas-pasan yang seharusnya berpikir terlebih dahulu untuk membeli kebutuhan pokok, ternyata masih menyisihkan uang untuk membeli rokok.

Pada Februari 2018, rokok menjadi salah satu pemicu inflasi sebesar 0,07% disamping makanan dan minuman. Artinya dalam perputaran uang pada periode tersebut masyarakat sangat rela untuk mengeluarkan uang untuk membeli rokok.

Rokok tidak seperti barang kebutuhan lainnya seperi halnya beras, telur atau daging ayam yang memang dibutuhkan manusia karena memang mengandung nutrisi bagi tubuh.

Rokok dipenuhi racun dan tanpa nutrisi serta tidak menyumbang kalori bagi manusia, tetapi pada kenyataannya setiap kali kebutuhan pangan melonjak naik banyak suara kritik dan keluhan mengenai berat biaya kebutuhan hidup, sedangkan untuk urusan rokok kendati naik setiap tahun hampir tidak ada keluhan dan rokok tetap saja dibeli.

Jika dihitung secara rata-rata harga sebungkus rokok adalah Rp. 20 ribu dan dirata-rata pula para perokok sebanyak 60 juta jiwa menghabiskan sebungkus untuk satu hari maka uang yang dibakar dalam satu hari berjumlah sangat fantastis.

Alangkah bergunanya jika uang Rp. 20 ribu disisihkan setiap hari kemudian dialokasikan untuk hal yang berguna seperti membeli asuransi kesehatan, mempersiapkan dana pendidikan atau simpanan keluarga.

Persoalan lainnya bagi masyarakat adalah terkait kesehatan. Diperkirakan setiap 10 menit ada 11 orang meninggal karena merokok. Dalam jangka panjang rokok memang menimbulkan berbagai penyakit berbahaya. Jika jumlah perokok terus meningkat karena anak-anak juga ternyata mulai tercemar untuk menjadi perokok, dapat dibayangkan masa depan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.

Ilustrasi: bidanku.com
Ilustrasi: bidanku.com
Secara luas dampaknya bagi negara adalah munculnya persoalan defisit anggaran kesehatan masyarakat, seperti defisit BPJS Kesehatan.

Dapat dipastikan dengan mutlak bahwa setiap hari ada pasien yang berobat dengan menggunakan fasilitas BPJS yang dikarenakan rokok. Ternyata menurut Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) jumlah kerugian akibat rokok adalah 3 kali lebih besar dibandingkan hasil dari penerimaan cukai rokok.

***

"Bang Eko, kalo bisa bulan ini bayar hutang rokoknya full ya, kalo ga ane bisa tekor nih." Seru si penjual rokok kepada Bang Eko. Lantas Bang Eko bertanya, "Semuanya hutang gue berape sih?" Ditimpali Cucu, "Yah ada 857 ribu bang, nih catetannya komplit."

"Waduh, cilaka juga nih, kalo gitu gue kudu kasbon dulu nih sama si bos biar bisa nalangin tagihan rokok ke elu Cu." Seru Bang Eko sambil memegang kepalanya dan tampak bingung dengan jumlah hutang rokoknya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun