Mohon tunggu...
Andri Yunarko
Andri Yunarko Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Belajar

Buruh Pabrik Garmen di Sukabumi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

H&M Meraup Untung, Buruh Makin Tersungkur

24 Maret 2021   15:44 Diperbarui: 24 Maret 2021   15:59 1190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi dari Farah.ID

Pertemuan manajemen sore ini ditutup dengan ucapan: "terima kasih atas kerja keras nya sehingga ekspor minggu ini dapat terpenuhi, jangan cepat merasa puas. Manajemen ingin hal ini terus dipertahankan karena bulan depan pesanan H&M meningkat".

Ucapan terima kasih sekaligus pemberitahuan yang menyenangkan bagi sebagian buruh di pabrik garmen yang memproduksi merk H&M ini. Sebab peningkatan pesanan juga berarti peningkatan pendapatan bagi buruh, sepanjang perusahaan meminta mereka untuk bekerja lembur. Bagi sebagian lainnya, peningkatan pesanan hanya berarti penambahan kerja, menunda waktu makan siang dan pulang lebih lambat dari biasanya.

Kondisi yang berbeda tentunya bagi H&M selaku pemberi pesanan, karena peningkatan pesanan berarti peningkatan penjualan dan sudah pasti peningkatan keuntungan. Kutipan berita-berita di berbagai media berikut ini dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai apa arti peningkatan pesanan bagai H&M.

~ Tahun 2020: "Penjualan peritel fesyen H&M mulai pulih pada bulan September 2020. Perusahaan ini melaporkan laba fiskal kuartal III US$ 265,6 juta" [1]

~ Tahun 2018: "Laba sebelum pajak pada bulan Maret 2018 dilaporkan US$154 juta" [2]

~ Tahun 2019: "Laba sebelum pajak pada kuartal Juni hingga Agustus dilaporkan US$507 juta" [3]

~ Tahun 2019: "Menurut laporan Forbes, total kekayaan Stefan Persson mencapai US$17,4 miliar dan dinobatkan sebagai orang terkaya di Swedia" [4]

Kutipan salah satu berita di atas bahkan menjelaskan apa arti peningkatan pesanan bagi pendiri sekaligus pemilik 38% saham H&M. Bahkan bila terjadi penurunan, maka yang dimaksud adalah penurunan atas laba sebelum pajak yang didapatkan. Laporan-laporan di atas tentu menggambarkan kondisi yang baik bagi H&M, namun bagaimana dampak kondisi yang menguntungkan ini terhadap buruh-buruh pabrik garmen yang mengerjakan merk H&M?

Berdasarkan studi yang dilakukan Asia Floor Wage Alliance (AFWA), buruh di India dan Kamboja menghadapi persoalan upah rendah, kontrak singkat dan dipaksa lembur. Di samping itu, buruh perempuan akan kehilangan pekerjaannya jika diketahui sedang mengandung. Buruh di India bekerja lembur hingga pukul 2 dini hari untuk mencapai target produksi [5]

Pabrik-pabrik garmen di Bangladesh juga diketahui melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap ribuan buruhnya yang ikut dalam kegiatan protes untuk menuntut kenaikan upah [6]

Bagaimana dengan kondisi buruh-buruh pabrik garmen yang memproduksi merk H&M di Indonesia? Pada tahun 2020 di pabrik garmen PT Nirwana Alabare Garment (PT NAG) diberitakan menuntut para buruh untuk bekerja 14-20 jam per hari dengan alasan untuk mengejar target produksi tanpa dibayar lembur [7]

Laporan yang dirilis lembaga-lembaga perburuhan pada tahun 2018 juga menyatakan kerap terjadi kekerasan seksual dan fisik akibat tuntutan target perusahaan terhadap pekerja garmen yang mayoritas adalah kaum perempuan. Tindakan kekerasan yang dimaksud meliputi pelecehan verbal, ancaman sampai pemaksaan lembur [8]

Dari berbagai sumber di atas dapat dilihat bahwa tidak ada peningkatan kondisi buruh-buruh pabrik yang memproduksi pakaian H&M pada saat H&M meraih keuntungan cukup tinggi. Tidak ada perbedaan kondisi buruh pabrik pakaian H&M saat mereka mendapat laba kotor sebesar US$ 507 juta maupun saat mereka mendapat laba kotor sebesar US$ 265,6 juta. Bahkan kondisi yang saling bertolak belakang tersebut dapat memunculkan pertanyaan: apakah keuntungan yang diraih H&M justru diperbesar melalui pengurangan-pengurangan terhadap hak buruh yang bekerja bagi mereka?

Satu hal yang jelas, praktek-praktek memperpanjang jam kerja melalui target produksi tanpa membayar upah lembur [9], kontrak kerja pendek dengan masa kerja 3 bulan hingga 6 bulan, hingga penggunaan kekerasan verbal di produksi, terus menjamur di banyak pabrik garmen yang memproduksi merk H&M. Praktek-praktek ini terus memperburuk kondisi buruh di industri garmen dari tahun ke tahun.

Sekali lagi bagi sebagian besar buruh peningkatan pesanan H&M hanya berarti penambahan beban kerja, menunda waktu makan siang dan pulang kerja lebih lambat dari seharusnya.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun