Laporan yang dirilis lembaga-lembaga perburuhan pada tahun 2018 juga menyatakan kerap terjadi kekerasan seksual dan fisik akibat tuntutan target perusahaan terhadap pekerja garmen yang mayoritas adalah kaum perempuan. Tindakan kekerasan yang dimaksud meliputi pelecehan verbal, ancaman sampai pemaksaan lembur [8]
Dari berbagai sumber di atas dapat dilihat bahwa tidak ada peningkatan kondisi buruh-buruh pabrik yang memproduksi pakaian H&M pada saat H&M meraih keuntungan cukup tinggi. Tidak ada perbedaan kondisi buruh pabrik pakaian H&M saat mereka mendapat laba kotor sebesar US$ 507 juta maupun saat mereka mendapat laba kotor sebesar US$ 265,6 juta. Bahkan kondisi yang saling bertolak belakang tersebut dapat memunculkan pertanyaan: apakah keuntungan yang diraih H&M justru diperbesar melalui pengurangan-pengurangan terhadap hak buruh yang bekerja bagi mereka?
Satu hal yang jelas, praktek-praktek memperpanjang jam kerja melalui target produksi tanpa membayar upah lembur [9], kontrak kerja pendek dengan masa kerja 3 bulan hingga 6 bulan, hingga penggunaan kekerasan verbal di produksi, terus menjamur di banyak pabrik garmen yang memproduksi merk H&M. Praktek-praktek ini terus memperburuk kondisi buruh di industri garmen dari tahun ke tahun.
Sekali lagi bagi sebagian besar buruh peningkatan pesanan H&M hanya berarti penambahan beban kerja, menunda waktu makan siang dan pulang kerja lebih lambat dari seharusnya.
Referensi:
- Kontan
- Kompas
- Kompas
- Warta Ekonomi
- Kompas
- Suara
- Lion Indonesia
- Tirto
- Biasa disebut sistem "skorsing" dimana buruh harus bekerja terus hingga target produksi tercapai sebelum diperbolehkan pulang dan kelebihan jam kerjanya tidak dihitung sebagai waktu lembur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H