Ibadah itu di rumah ibadah, makan itu di tempat makan, kakus itu di tempat kakus, sampah itu di tempat sampah.
Tuhan memang Maha Besar, dengan segala firman dan kuasanya. Tuhan menciptakan setiap hal dimuka bumi berpasang-pasangan. Tak hanya dalam hal besar seperti jodoh, tapi sesuatu kecil pula tak pelik dari perhitunganya. Segala yang telah Ia tetapkan adalah sebuah kebesaran tentang keteraturan jagat semesta alam dan seisinya. Langit dengan bumi, Baju dan celana, sepatu di kaki, topi di kepala, kamera dan cahaya, lantai untuk semua benda, gitar dengan senarnya Hamish Daud dengan Raisa, UUD 45 dengan Pancasila, peraturan dengan kebebasanya, haram jaddah, dll.
Percayalah, kebebasan dan peraturan juga hal ikhwal yang telah diatur sedemikian rupa. Ketika peraturan diciptakan, maka bergandenganlah ia dengan kebebasan. Penggandengan ini bisa memicu semakin ditekanya kebebasan atau semakin dilapangkan. Hukum atau peraturan bukanlah hal main-main.Â
Hukum adalah buah tangan hasil pembelajaran manusia atas manifesto sang penciptanya yang diamalkan untuk bisa mengatur manusia dalam tangan manusia itu sendiri. Karena pada dasarnya, peraturan adalah hal prasejarah yang bisa manusia pahami hingga saat ini.
Peraturan Indonesia telah mencukupi dan benar-benar memfasilitasi hak hak kebebasan rakyat dalam hal bersuara. Suara apapun itu, hitam, merah, hijau, suar, merdu, lembut, keras, kontras, tajam. Semuanya sama, berhak dan tak ada tekanan progresif dari pemerintah
Ketika peraturan dibuat, bukan berarti akan ada implikasi negatif pada kebebasan. Bahkan, apabila  kita memberikan dukungan kecil pada nalar kita untuk melihat pada bermacam-macam sudut pandang, peraturan itu justru menjunjung kebebasan kita. Peraturan itu sebagai penahan dan sekat pembeda, sehingga kita bisa membedakan mana kebebasan dan mana nafsu hewaniyah.
Sadar tidak sadar, kegiatan yang didasari modus 'kebebasan' bukan berarti nafsu hewani individu berhak mendapatkan ruang untuk diekspresikan. Ingat lagi, kita ini manusia, Yang memiliki tatanan sosial, hubungan antara manusia-dengan-manusia. Jadi sangat penting untuk memperlakukan manusia lain dengan manusiawi.
Tapi, ketika kebebasan bersuara itu menjadi aset berharga kita, janganlah kita bersikut-sikutan merebutkan kesempatan untuk semakin melantangkan suara, sehingga merepresi lain. Menginjak, menyudutkan, mengkambinghitamkan, bukanlah hal yang bijak. Sadarilah, ide dari masing-masing kepala berbeda, tak ada hak untuk saling  mengintervensi dan membungkam suara atau bahkan kaum
Kalau memang memiliki dasar yang kuat, itu berarti baik. Anda bukanlah penyuara abal-abal yang hanya mengandalkan self-logicdan interpretasi sepihak. Apapun itu, dasar buku, media, undang-undang, dalil, kotbah, atau apapun itu apabila fakta, maka pertanggungjawabkanlah dengan baik.
Anda membenci suatu pagelaran seni budaya, sah saja. Karena seni sendiri memang suatu abstrak yang tak semua individu dapat menginterpretasikanya ke dalam hal yang indah. Seni itu unik, karena berasal dari ketertarikan tersendiri yang sedemikian rupa dapat dituangkan. Anda tidak salah bila mengantuk dalam pertunjukan musik bossanova,anda tidak salah bila berfikir pemain musik jazz adalah 'freak-head'yang asal memainkan nada. Anda tidak salah bila memandang surealisme adalah kedok semata dari akal yang liar. Anda tidak salah kalau menilai fotografi adalah seni pencet asal-dapat saja.
Lebih ekstrim lagi, anda tidak salah mendosakan pelukis 'human-interest'yang dengan detil menggambar manusia utuh, anda tidak salah bila men-istighfar-kan  seniman yang interest dengan lekuk tubuh wanita yang diekspos sebagai objek. Anda tidak salah bila mengkafir-kafir kan grup band metal dengan dalil-dalil agama anda.
Tapi sebagai warga negara yang baik, sebagai manusia yang menyadari tatanan masyarakat, sebagai umat yang beriman pada ajaran agama, harusnya 3 hal tersebut menjadi pengontrol diri kita dalam menanggapi suatu hal, baik kontra atau pro sekalipun. Heranya, sampai-sampai hendak membubarkan secara paksa suatu kegiatan. Mengintervensi dengan melakukan hal progresif yang bisa menghambat suatu acara.
Tak habis pikir sampai aparat dicaci maki dan dikufir-kafer kan atas ketidak satu suaranya dengan 'suara kita'.
Boleh kontra, boleh mengatasnamakan kelompok, tapi sadar itu perlu, kita dan mereka adalah sesama manusia yang memiliki pendapat dan kepentingan sendiri.
Dugem memang tak ada manfaat dan banyak negatifnya, bagi orang-orang yang sependapat demikian. Namun juga tak salah apabila yang ada yang berbeda pendapat.
Apakah semua harus kita pangkas habis dengan pemikiran idealis kita?
Kalau demikian, kita galangkan lagi saja perkebunan pohon lontar, untuk persiapan produksi masal.
Kan teknologi haram. Kami kuliah bawa daun lontar saja, diangkut truk hehe.
Itupun harus berjaga-jaga untuk menabung beli onta, siapa tau berkendara motor di fatwa kan haram.
Namun saya tidak sepenuhnya kontra, saya setuju bahwa dampak negatif pagelaran seni harus ikut dikontrol. Namun dengan 'masukan yang terarah dan solutif'.
Tambahkan saja pengamanan aparat didalam, penambahan personil 'guk-guk' untuk menghindari penyebaran narkoba (katanya), peningkatan pengamanan di spot-spot rawan, atau di setiap segmen acara diberikan jeda pariwara untuk display video pengarahan peraturan dan hal hal yang tidak boleh dilakukan serta peringatan banyaknya pengamanan yang mendukung. Kecerdasan manusia bukanlah dari kehebatanya menyatakan sesuatu yang kuat tanpa bantahan, tapi dari implementasi ide dan manfaatnya bagi manusia lain.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H