Bagian 2: Dentuman Musik di Lorong Sekolah
Hujan rintik pagi itu mengguyur jalanan ketika aku mengayuh sepeda biru dengan keranjang abu-abu di depannya. Bersama seorang teman, aku menuju sekolah, mencoba menghindari genangan air yang mulai terbentuk di sepanjang jalan.
Setelah sampai di sekolah, kami berjalan melewati lorong menuju kelas. Saat itulah, telingaku menangkap suara dentuman musik yang mengalun dari salah satu ruang kelas. Ritmenya kuat, iramanya membuat langkahku otomatis melambat. Ada sesuatu dalam lagu itu yang menarik perhatian—seolah-olah memberikan energi di pagi yang dingin ini.
**
Aku berhenti. Ada sesuatu dari musik itu yang langsung menarik perhatianku. Irama energiknya, suara uniknya… aku bahkan bisa merasakan semangatnya menular kepadaku.
Aku menoleh ke dalam kelas dan melihat seorang siswa yang sedang memutar lagu dengan speaker kelas. Aku tidak mengenalnya, tapi temanku ternyata tahu siapa dia. Dengan sedikit ragu, aku meminta temanku menanyakan lagu apa yang sedang diputar.
Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan jawaban.
“Itu Ring Ding Dong dari SHINee.”
Aku mengangguk. Judul itu langsung melekat dalam ingatanku.
**
Begitu pulang sekolah, aku langsung pergi ke warnet. Aku mencari tahu siapa SHINee itu, mengunduh lagu Ring Ding Dong, dan tanpa sadar, aku mulai masuk lebih dalam ke dunia yang baru.
Saat video itu mulai diputar, aku terpesona. Musiknya enerjik, tarian mereka begitu sinkron, dan gaya mereka terasa berbeda dari yang pernah kulihat sebelumnya. Sejak saat itu, aku semakin terjerumus ke dalam dunia SHINee. Aku tak hanya mengunduh lagu-lagu mereka, tapi juga menonton variety show yang mereka bintangi. Dan, yah ada sesuatu dari mereka yang membuatku ingin tahu lebih banyak.
Saat itu aku belum menyadari, tapi SHINee telah membuka pintu yang lebih besar untukku—pintu yang akhirnya membawaku bukan hanya menikmati musik, tapi juga ingin memahami bahasa yang mereka gunakan.
Tulisan-tulisan Korea yang muncul di layar terasa begitu unik. Huruf-hurufnya seperti kombinasi lingkaran, garis lurus, dan kotak-kotak kecil. Aku ingin tahu bagaimana cara membacanya, bagaimana cara menulisnya, dan apa artinya.
Aku mulai bertanya-tanya. Bagaimana jika aku bisa mengerti lirik lagu-lagu SHINee tanpa harus melihat terjemahan? Bagaimana jika aku bisa membaca tulisan yang muncul di variety show tanpa subtitle?
Rasa ingin tahuku semakin besar.
Saat itulah aku membuat keputusan—aku ingin belajar bahasa Korea.
**
Tapi ada satu masalah besar.
Saat itu, bahasa Korea belum sepopuler sekarang. Tidak ada kelas bahasa Korea di sekolah, tidak ada aplikasi belajar, bahkan buku-buku pelajaran bahasa Korea sulit ditemukan. Di sekolah pun, tidak ada satu pun pelajaran yang berhubungan dengan bahasa ini. Tidak seperti saat ini, yang semua serba mudah, kan?
Aku tidak bisa menunggu. Dan aku tidak mau menunggu.
Jadi aku melakukan apa yang bisa kulakukan—mencari sendiri di internet.
Warnet menjadi tempat pelarianku. Hampir setiap hari sepulang sekolah, aku mengayuh sepedaku ke sana, menyewa satu komputer, dan selalu duduk di tempat yang sama. Aku duduk di warnet berjam-jam, membuka satu per satu website dengan kata kunci “cara belajar bahasa Korea dari nol” atau “belajar Hangul dengan mudah”.
Karena aku tidak mungkin selalu datang ke warnet untuk membaca, aku mulai menyalin semua informasi itu ke Microsoft Word. Aku copy-paste halaman demi halaman, lalu mencetaknya di sana. Beberapa kali aku harus menunggu lama karena antrean cetak di warnet cukup panjang, tapi aku tidak peduli. Setiap lembar yang keluar dari printer terasa seperti harta karun bagiku. Kertas-kertas itu menumpuk di depanku, dan aku bahkan tidak sadar berapa banyak uang yang sudah kukeluarkan untuk mencetak semuanya.
Aku ingat bagaimana aku pulang hingga larut malam dengan tumpukan kertas yang begitu banyak. Bapak penjaga warnet yang bingung dengan tulisan-tulisan yang aku cetak.
“Belajar Bahasa Korea, mau ke Korea ta, mbak?”
Aku tersenyum membalas pertanyaan itu.
**
Saat aku pulang dengan setumpuk kertas itu, aku berpikir, Apakah aku bisa memahami ini semua?
Ketika aku membaca lembaran pertama, aku langsung merasa pusing. Tulisan Korea tampak seperti kode rahasia yang mustahil dipecahkan. Namun, melihat lembaran itu saja tidak cukup. Aku sadar kalau aku harus menghafalkan huruf-huruf Hangul sebelum bisa melangkah lebih jauh.
Aku nyaris menyerah.
Tapi kemudian mataku tertuju pada tumpukan majalah yang berisi foto-foto pemain Boys Before Flowers, juga lagu-lagu K-Pop yang terus berputar di telingaku.
Aku menghela napas. Tidak, aku tidak boleh menyerah.
Akhirnya, aku membuat strategi sendiri. Aku mulai dari hal yang paling dasar: huruf. Aku menargetkan lima huruf per hari. Aku menulisnya berulang kali, mencoba mengingat bentuknya. Hari demi hari berlalu, dan perlahan, aku mulai hafal konsonan dan vokalnya.
Namun, memahami Hangul bukanlah hal yang mudah. Aku bisa mengenali hurufnya, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menyusunnya menjadi satu kata yang benar.
Tapi aku masih tidak tahu bagaimana cara menyusunnya menjadi satu suku kata yang benar.
Ibuku, yang melihatku begitu bersemangat belajar, tiba-tiba memberiku kejutan.
“Ini hadiah untukmu,” katanya, sambil menyodorkan sebuah buku.
Aku menatap buku itu dengan mata berbinar. Itu adalah buku belajar bahasa Korea!
Aku tidak bisa menahan rasa haru. Dengan semangat, aku langsung membuka halaman pertamanya, mulai membaca satu per satu penjelasan di dalamnya. Kini, aku tidak hanya mengandalkan lembaran hasil cetakan dari warnet, tapi juga buku yang benar-benar tersusun rapi dan mudah dipahami.
Buku itu membantuku memahami cara menyusun huruf menjadi kata, dan akhirnya, aku bisa menuliskan namaku sendiri dalam Hangul.
Walaupun sekarang aku tertawa setiap kali melihat tulisan pertamaku yang penuh kesalahan, saat itu aku merasa sangat bangga.
**
Saat aku akhirnya bisa menulis dalam Hangul, aku merasa begitu bangga. Bahkan, aku mengganti semua kontak di ponselku dengan tulisan Hangul! Aku juga mulai bernyanyi mengikuti lirik lagu-lagu K-Pop tanpa romanisasi—itu adalah pencapaian terbesarku saat itu.
Setiap pencapaian kecil itu memberiku dorongan untuk terus belajar. Aku mulai membayangkan, bagaimana jika suatu hari, aku bisa benar-benar memahami bahasa ini?
Tapi untuk itu, aku harus melangkah lebih jauh.
Dan langkah berikutnya adalah mencari tempat yang bisa mengajarkanku bahasa Korea secara lebih mendalam.
**
Aku tidak menyadari bahwa semua usaha kecil ini akan sangat membantuku di masa depan.
Saat aku akhirnya berhasil masuk salah satu universitas dan mulai belajar bahasa Korea secara resmi, aku menyadari satu hal:
Belajar bahasa itu sebenarnya mudah, asal kamu jatuh cinta padanya.
TBC
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI