Warnet menjadi tempat pelarianku. Hampir setiap hari sepulang sekolah, aku mengayuh sepedaku ke sana, menyewa satu komputer, dan selalu duduk di tempat yang sama. Aku duduk di warnet berjam-jam, membuka satu per satu website dengan kata kunci “cara belajar bahasa Korea dari nol” atau “belajar Hangul dengan mudah”.
Karena aku tidak mungkin selalu datang ke warnet untuk membaca, aku mulai menyalin semua informasi itu ke Microsoft Word. Aku copy-paste halaman demi halaman, lalu mencetaknya di sana. Beberapa kali aku harus menunggu lama karena antrean cetak di warnet cukup panjang, tapi aku tidak peduli. Setiap lembar yang keluar dari printer terasa seperti harta karun bagiku. Kertas-kertas itu menumpuk di depanku, dan aku bahkan tidak sadar berapa banyak uang yang sudah kukeluarkan untuk mencetak semuanya.
Aku ingat bagaimana aku pulang hingga larut malam dengan tumpukan kertas yang begitu banyak. Bapak penjaga warnet yang bingung dengan tulisan-tulisan yang aku cetak.
“Belajar Bahasa Korea, mau ke Korea ta, mbak?”
Aku tersenyum membalas pertanyaan itu.
**
Saat aku pulang dengan setumpuk kertas itu, aku berpikir, Apakah aku bisa memahami ini semua?
Ketika aku membaca lembaran pertama, aku langsung merasa pusing. Tulisan Korea tampak seperti kode rahasia yang mustahil dipecahkan. Namun, melihat lembaran itu saja tidak cukup. Aku sadar kalau aku harus menghafalkan huruf-huruf Hangul sebelum bisa melangkah lebih jauh.
Aku nyaris menyerah.
Tapi kemudian mataku tertuju pada tumpukan majalah yang berisi foto-foto pemain Boys Before Flowers, juga lagu-lagu K-Pop yang terus berputar di telingaku.
Aku menghela napas. Tidak, aku tidak boleh menyerah.