Bagi orang-orang asing yang melihat Tiongkok, bianzi adalah ciri khas dan eksotis orang Tionghoa. Gaya rambut ini juga menjadi sumber ejekan dan stereotip tentang orang Tionghoa sebagai orang yang mundur dan lemah.
Bianzi memiliki dampak yang besar bagi sejarah dan budaya Tiongkok. Gaya rambut ini tidak hanya mempengaruhi cara berpakaian dan bersikap orang Tionghoa, tetapi juga memicu berbagai peristiwa penting, seperti:
- Pemberontakan Taiping (1850-1864), sebuah gerakan agama dan politik yang menentang Qing dan ingin mendirikan Kerajaan Surgawi Agung Perdamaian. Salah satu tuntutan pemberontak adalah menghapuskan bianzi dan mengembalikan gaya rambut tradisional Tionghoa.
- Perang Candu (1839-1842; 1856-1860), sebuah konflik antara Qing dan Inggris (dan sekutunya) yang disebabkan oleh perdagangan candu ilegal. Salah satu aksi yang dilakukan oleh Inggris adalah memotong bianzi dari tawanan perang Qing sebagai bentuk hinaan.
- Revolusi Xinhai (1911-1912), sebuah revolusi yang berhasil menggulingkan dinasti Qing dan mendirikan Republik Tiongkok. Salah satu simbol revolusi ini adalah pemotongan bianzi oleh para revolusioner sebagai tanda pembebasan dari penjajahan Manchu.
Penutup
Bianzi adalah gaya rambut yang memiliki sejarah dan makna yang panjang dan kompleks di Tiongkok. Gaya rambut ini merupakan warisan dari suku Manchu yang berhasil menguasai Tiongkok selama lebih dari 250 tahun.
Gaya rambut ini juga merupakan saksi dari berbagai perubahan dan konflik yang terjadi di Tiongkok selama dinasti Qing. Gaya rambut ini juga merupakan cermin dari identitas dan sikap orang Tionghoa terhadap diri mereka sendiri dan dunia. Meskipun gaya rambut ini sudah tidak ada lagi di Tiongkok saat ini, tetapi pengaruhnya masih dapat dirasakan hingga kini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H