Apakah Anda pernah melihat gambar atau film tentang orang-orang Tiongkok di masa lalu yang memiliki rambut panjang yang dikepang di belakang dan bagian depan kepala yang dicukur? Jika ya, maka Anda telah melihat contoh dari “Bianzi”, yaitu gaya rambut yang dipaksakan oleh orang-orang Manchu kepada orang-orang Han dan etnis lainnya di bawah kekuasaan dinasti Qing.
Bianzi adalah salah satu simbol paling kontroversial dan menarik dalam sejarah Tiongkok. Gaya rambut ini tidak hanya menunjukkan identitas dan loyalitas politik, tetapi juga menjadi sumber konflik, perlawanan, dan ejekan dari dalam dan luar negeri.
Dalam artikel ini, kita akan membahas sejarah dan makna di balik bianzi, serta dampaknya bagi orang-orang Tionghoa hingga hari ini.
Asal Usul Gaya Rambut Bianzi
Bianzi berasal dari suku Jurchen atau Manchu yang berasal dari Manchuria, wilayah timur laut Tiongkok saat ini. Orang-orang Manchu adalah keturunan dari suku-suku nomaden yang pernah menguasai Tiongkok Utara pada masa dinasti Jin (1115-1234) dan Yuan (1271-1368).
Gaya rambut bianzi sudah ada sejak abad ke-6, ketika suku Toba Wei memerintah Tiongkok Utara. Gaya rambut ini terdiri dari rambut panjang yang dikepang di belakang dan bagian depan kepala yang dicukur. Tujuan dari gaya rambut ini adalah untuk menunjukkan keberanian dan kedisiplinan, serta untuk menghindari rambut terbakar atau tertarik saat berperang.
Orang-orang Manchu mengadopsi gaya rambut ini sebagai bagian dari identitas mereka sebagai penguasa baru Tiongkok. Pada tahun 1618, Nurhaci, pemimpin Manchu, menyatakan perang terhadap dinasti Ming (1368-1644) yang menguasai Tiongkok pada saat itu. Nurhaci menyatukan suku-suku Manchu di bawah bendera Delapan Panji dan membentuk negara Qing.
Pada awalnya, Nurhaci memberikan kelonggaran kepada orang-orang Han yang menyerah tanpa perlawanan untuk mempertahankan gaya rambut dan adat istiadat mereka. Namun, pada tahun 1620-an, ia mulai memaksa orang-orang Han yang berada di bawah kekuasaannya untuk menggunakan gaya rambut bianzi sebagai tanda kesetiaan kepada Qing.
Penyebaran Gaya Rambut Bianzi ke Seluruh Tiongkok
Pada tahun 1644, pasukan pemberontak Li Zicheng berhasil menggulingkan dinasti Ming dan merebut Beijing, ibu kota Tiongkok saat itu. Namun, ia tidak dapat bertahan lama karena pasukan Manchu yang dipimpin oleh Pangeran Dorgon datang dari utara dan mengalahkannya.
Pasukan Manchu kemudian masuk ke Kota Terlarang dan mendirikan dinasti Qing sebagai penerus dinasti Ming. Dari sinilah gaya rambut bianzi mulai menyebar ke seluruh Tiongkok.
Pada bulan Juni 1644, Dorgon mengeluarkan perintah bahwa semua pria Tiongkok harus menggunakan bianzi dalam waktu 10 hari atau menghadapi hukuman mati. Perintah ini bertujuan untuk membedakan antara pendukung dan penentang Qing, serta untuk menunjukkan dominasi Manchu atas Tiongkok.
Perintah ini menimbulkan banyak perlawanan dan protes dari orang-orang Tiongkok, terutama dari kalangan elite dan sarjana yang menganggap gaya rambut bianzi sebagai penghinaan dan pengkhianatan terhadap budaya dan tradisi Tionghoa. Banyak orang yang lebih memilih untuk mati daripada mengubah gaya rambut mereka.
Salah satu contoh paling terkenal adalah Zhang Xianzhong, seorang pemberontak yang mendirikan negara Daxi di Sichuan. Ia menolak untuk mengikuti perintah Dorgon dan menyatakan bahwa "jika saya harus mengubah gaya rambut saya, lebih baik saya mengubah kepala saya".
Namun, perlawanan ini tidak dapat bertahan lama karena pasukan Qing terus memperluas wilayah mereka ke selatan dan barat. Secara bertahap, banyak orang Tiongkok yang terpaksa atau rela mengambil gaya rambut bianzi demi keselamatan dan kenyamanan mereka.
Makna dan Dampak Gaya Rambut Bianzi bagi Orang Tiongkok
Bianzi memiliki makna yang berbeda-beda bagi orang Tiongkok, tergantung pada sudut pandang dan situasi mereka.
Bagi orang-orang Manchu, bianzi adalah simbol kebanggaan dan identitas mereka sebagai penguasa Tiongkok. Gaya rambut ini juga menunjukkan loyalitas dan ketaatan mereka kepada kaisar Qing.
Bagi orang-orang Han yang mendukung Qing, bianzi adalah tanda penghargaan dan pengakuan atas kekuasaan Qing. Gaya rambut ini juga menunjukkan kesediaan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan budaya.
Bagi orang-orang Han yang menentang Qing, bianzi adalah lambang penindasan dan penghancuran budaya Tionghoa. Gaya rambut ini juga menunjukkan pengkhianatan dan kehilangan martabat mereka sebagai orang Tiongkok.
Bagi orang-orang asing yang melihat Tiongkok, bianzi adalah ciri khas dan eksotis orang Tionghoa. Gaya rambut ini juga menjadi sumber ejekan dan stereotip tentang orang Tionghoa sebagai orang yang mundur dan lemah.
Bianzi memiliki dampak yang besar bagi sejarah dan budaya Tiongkok. Gaya rambut ini tidak hanya mempengaruhi cara berpakaian dan bersikap orang Tionghoa, tetapi juga memicu berbagai peristiwa penting, seperti:
- Pemberontakan Taiping (1850-1864), sebuah gerakan agama dan politik yang menentang Qing dan ingin mendirikan Kerajaan Surgawi Agung Perdamaian. Salah satu tuntutan pemberontak adalah menghapuskan bianzi dan mengembalikan gaya rambut tradisional Tionghoa.
- Perang Candu (1839-1842; 1856-1860), sebuah konflik antara Qing dan Inggris (dan sekutunya) yang disebabkan oleh perdagangan candu ilegal. Salah satu aksi yang dilakukan oleh Inggris adalah memotong bianzi dari tawanan perang Qing sebagai bentuk hinaan.
- Revolusi Xinhai (1911-1912), sebuah revolusi yang berhasil menggulingkan dinasti Qing dan mendirikan Republik Tiongkok. Salah satu simbol revolusi ini adalah pemotongan bianzi oleh para revolusioner sebagai tanda pembebasan dari penjajahan Manchu.
Penutup
Bianzi adalah gaya rambut yang memiliki sejarah dan makna yang panjang dan kompleks di Tiongkok. Gaya rambut ini merupakan warisan dari suku Manchu yang berhasil menguasai Tiongkok selama lebih dari 250 tahun.
Gaya rambut ini juga merupakan saksi dari berbagai perubahan dan konflik yang terjadi di Tiongkok selama dinasti Qing. Gaya rambut ini juga merupakan cermin dari identitas dan sikap orang Tionghoa terhadap diri mereka sendiri dan dunia. Meskipun gaya rambut ini sudah tidak ada lagi di Tiongkok saat ini, tetapi pengaruhnya masih dapat dirasakan hingga kini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H