Mohon tunggu...
Andriyanto
Andriyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Jika kamu tak menemukan buku yang kamu cari di rak, maka tulislah sendiri.

- Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh - Rasa bahagia dan tak bahagia bukan berasal dari apa yang kamu miliki, bukan pula berasal dari siapa dirimu, atau apa yang kamu kerjakan. Bahagia dan tak bahagia berasal dari pikiran kamu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Morihei Ueshiba dan Filsafat Aikido: Tiga Visi Illahi yang Mengubah Seni Bela Diri

5 Oktober 2023   07:00 Diperbarui: 5 Oktober 2023   07:07 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/0/0f/Morihei_Ueshiba_Portrait.jpg

Aikido adalah sebuah seni bela diri yang berasal dari Jepang, yang dibentuk oleh Morihei Ueshiba sebagai sintesis dari studi bela diri, filsafat, dan kepercayaan religiusnya. Aikido sering diartikan sebagai "jalan keselarasan (dengan) energi kehidupan" atau "jalan semangat harmonis". Tujuan Ueshiba adalah menciptakan sebuah seni yang dapat digunakan untuk membela diri sekaligus melindungi penyerang dari cedera. Aikido mengajarkan cara mengalirkan dan mengarahkan energi lawan, bukan melawannya dengan kekerasan. Aikido juga mengajarkan cara mengembangkan kesadaran, keseimbangan, dan ketenangan dalam menghadapi situasi yang menantang.

Namun, aikido sering mendapat kritik atau kesalahpahaman dari banyak orang, baik di dalam maupun di luar dunia seni bela diri. Sebagian orang menganggap aikido sebagai seni bela diri yang tidak efektif, terlalu lembut, atau bahkan tidak realistis. Beberapa orang lain menganggap aikido sebagai seni bela diri yang terlalu berbahaya, terlalu keras, atau bahkan tidak sesuai dengan etika. Beberapa orang lagi menganggap aikido sebagai seni bela diri yang hanya cocok untuk meditasi, relaksasi, atau hobi. Beberapa orang bahkan tidak menganggap aikido sebagai seni bela diri sama sekali.

Lalu, apa sebenarnya aikido? Apa makna dan tujuan dari seni bela diri ini? Apa yang mendorong Morihei Ueshiba untuk menciptakan aikido? Bagaimana ia mengembangkan teknik-teknik dan prinsip-prinsip aikido? Bagaimana ia memandang hubungan antara seni bela diri dan kehidupan?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu melihat lebih dalam ke dalam hidup dan pikiran Morihei Ueshiba. Kita perlu mengetahui latar belakang, pengalaman, dan pemikiran yang membentuk karakter dan visinya. Kita perlu mengetahui tiga pengalaman spiritual yang dialaminya, yang disebut sebagai tiga visi ilahi, yang mengubah pandangannya tentang seni bela diri secara radikal.

Visi Pertama: Seni Bela Diri sebagai Cinta Kasih Tuhan

Visi pertama terjadi pada tahun 1925, ketika Ueshiba berusia 42 tahun. Pada saat itu, Ueshiba sudah menjadi seorang seniman bela diri yang terkenal dan dihormati. Ia telah mempelajari berbagai seni bela diri tradisional Jepang, seperti jujutsu, kenjutsu, sojutsu, jojutsu, dan lain-lain. Ia juga telah mengabdi di tentara Jepang selama Perang Rusia-Jepang pada tahun 1904-1905. Ia juga telah bertempur melawan perompak dan bandit di Hokkaido, tempat ia tinggal selama beberapa tahun. Ia juga telah bergabung dengan gerakan agama Omoto-kyo, yang mengajarkan tentang harmoni dan perdamaian dunia.

Pada suatu hari, Ueshiba diundang untuk berlatih dengan seorang perwira angkatan laut yang bernama Isamu Takeshita. Perwira tersebut membawa sebuah bokken, yaitu pedang kayu yang digunakan untuk latihan. Ueshiba sendiri tidak membawa senjata apapun. Mereka berdua mulai berlatih, dan Ueshiba berhasil menghindari dan menangkis semua serangan bokken dari perwira tersebut tanpa menyentuhnya sama sekali. Ueshiba juga tidak melukai perwira tersebut, meskipun ia memiliki kesempatan untuk melakukannya. Ueshiba menunjukkan kemampuan bela diri yang luar biasa, yang membuat perwira tersebut terkesan dan mengakui kekalahannya.

Setelah berlatih, Ueshiba kembali ke kebunnya untuk beristirahat. Tiba-tiba, ia merasakan getaran hebat di seluruh alam semesta. Ia melihat cahaya emas yang muncul dari tanah, menutupi tubuhnya, dan mengubah pikirannya menjadi emas. Tubuhnya menjadi ringan, dan ia dapat mendengar bisikan-bisikan burung. Ia juga dapat merasakan pikiran Tuhan, pencipta alam semesta. Pada saat itu, ia merasa tercerahkan, dan menyadari bahwa seni bela diri adalah cinta kasih Tuhan. Seni bela diri bukanlah alat untuk menjatuhkan lawan dengan kekerasan, atau alat untuk menghancurkan dunia dengan senjata. Seni bela diri adalah cara untuk menerima semangat alam semesta, menjaga perdamaian dunia dengan benar, melindungi dan mengembangkan semua makhluk di alam.

Visi pertama ini membuat Ueshiba menyadari bahwa tujuan utama dari seni bela diri adalah untuk menciptakan harmoni dan kasih sayang, bukan untuk menimbulkan konflik dan kekerasan. Ia mulai mengubah teknik-teknik bela dirinya menjadi lebih lembut, dengan menekankan pada pengendalian ki, yaitu energi kehidupan yang mengalir di dalam tubuh dan alam. Ia juga mulai mengajarkan seni bela dirinya sebagai jalan untuk mencapai keselarasan dengan alam semesta, bukan sebagai jalan untuk mengalahkan lawan.

Visi Kedua: Seni Bela Diri sebagai Kebijaksanaan Naga

Visi kedua terjadi pada tahun 1940, ketika Ueshiba berusia 57 tahun. Pada saat itu, Ueshiba sudah menjadi seorang master seni bela diri yang dihormati dan dikagumi oleh banyak orang. Ia telah mendirikan dojo-dojo di berbagai tempat di Jepang, dan telah mengajarkan seni bela dirinya kepada banyak murid-muridnya. Ia juga telah memberikan nama aikido kepada seni bela dirinya pada tahun 1942, yang berarti "jalan keselarasan (dengan) energi kehidupan" atau "jalan semangat harmonis". Ia juga telah menyempurnakan teknik-teknik aikido dengan menggabungkan unsur-unsur dari berbagai seni bela diri tradisional Jepang yang ia pelajari sebelumnya.

Pada suatu malam, Ueshiba sedang melakukan prosesi penyucian yang disebut misogi. Misogi adalah sebuah praktik agama Shinto yang bertujuan untuk membersihkan tubuh dan pikiran dari segala kotoran dan dosa dengan menggunakan air atau napas. Ueshiba melakukan misogi di sebuah sumur tua di ladangnya di Iwama, tempat ia tinggal sejak tahun 1942. Sekitar pukul 2 pagi, ia tiba-tiba melupakan semua teknik bela diri yang pernah ia pelajari. Teknik-teknik dari gurunya muncul kembali di pikirannya dengan cara yang baru. Sekarang mereka bukanlah alat untuk melempar orang dengan kekerasan, tetapi alat untuk membina hidup, pengetahuan, dan kebajikan. Ia merasa bahwa teknik-teknik tersebut adalah kendaraan untuk mencapai pencerahan.

Ketika ia mendekati sumur tersebut, ia melihat seekor naga emas yang keluar dari dalamnya dan mengelilingi tubuhnya. Ia merasakan bahwa naga tersebut adalah manifestasi dari ki alam semesta, yang memberinya perlindungan dan kebijaksanaan. Ia merasa bahwa naga tersebut adalah guru sejatinya, yang mengajarkannya rahasia-rahasia aikido.

Visi kedua ini membuat Ueshiba menyadari bahwa seni bela diri adalah sumber kebijaksanaan, bukan sumber kekuatan. Ia mulai memahami bahwa teknik-teknik aikido tidak hanya berguna untuk membela diri, tetapi juga berguna untuk meningkatkan kualitas hidup dan karakter. Ia juga mulai memahami bahwa aikido adalah cara untuk berhubungan dengan alam semesta, bukan cara untuk menguasainya.

Visi Ketiga: Seni Bela Diri sebagai Perdamaian Dunia

Visi ketiga terjadi pada tahun 1941, ketika Ueshiba berusia 58 tahun. Pada saat itu, dunia sedang dilanda oleh Perang Dunia II, yang merupakan perang paling dahsyat dan mematikan dalam sejarah manusia. Jepang terlibat dalam perang tersebut sebagai salah satu anggota dari Poros Berlin-Roma-Tokyo, yang bertempur melawan Sekutu London-Paris-Washington-Moskwa. Ueshiba sendiri tidak setuju dengan kebijakan politik dan militer Jepang, yang ia anggap sebagai penyimpangan dari jalan sejati para prajurit. Ia lebih memilih untuk mengasingkan diri di Iwama, dan fokus pada pengembangan aikido dan pertanian organik.

Pada suatu hari, Ueshiba sedang berlatih di dojo-nya di Tokyo. Ia merasakan bahwa ada sesuatu yang aneh dengan atmosfer dojo tersebut. Ia kemudian melihat sebuah bola api raksasa yang melayang di atas atap dojo. Ia merasakan bahwa bola api tersebut adalah simbol dari perang dunia yang sedang berlangsung dan ancaman bagi kemanusiaan. Ia kemudian mendengar suara yang mengatakan, "Aku adalah dewa api". Ia merasakan bahwa dewa api tersebut memberinya peringatan dan pesan untuk menyebarkan aikido sebagai jalan untuk menciptakan perdamaian dunia.

Visi ketiga ini membuat Ueshiba menyadari bahwa seni bela diri adalah tanggung jawab sosial, bukan hak pribadi. Ia mulai menyampaikan bahwa jalan para prajurit bukanlah jalan untuk membunuh dan menghancurkan orang lain, tetapi jalan untuk mencegah pembantaian semacam itu. Ia mulai menyampaikan bahwa seni bela diri adalah seni damai, kekuatan cinta, bukan senjata perang. Ia mulai menyampaikan bahwa aikido adalah cara untuk berkontribusi bagi kesejahteraan dunia, bukan cara untuk mendominasi atau mengeksploitasi dunia.

Kesimpulan: Seni Bela Diri sebagai Jalan Kehidupan

Dari ketiga visi ilahi yang dialami oleh Morihei Ueshiba, kita dapat melihat bahwa aikido bukanlah sekadar seni bela diri biasa, tetapi seni bela diri yang memiliki makna dan tujuan yang dalam dan luas. Aikido adalah seni bela diri yang mencerminkan cinta kasih Tuhan, kebijaksanaan naga, dan perdamaian dunia. Aikido adalah seni bela diri yang mengajarkan kita untuk harmonis dengan alam semesta, bijak dalam menghadapi tantangan, dan damai dalam berinteraksi dengan sesama. Aikido adalah seni bela diri yang mengajarkan kita untuk membela diri tanpa melukai orang lain, mengembangkan diri tanpa merendahkan orang lain, dan berkontribusi bagi dunia tanpa merusak alam.

Namun, untuk memahami dan menghayati aikido secara utuh, kita tidak bisa hanya mengandalkan kesimpulan dari Ueshiba saja. Kita juga harus mengalami dan menjalani proses yang dilalui oleh Ueshiba sendiri. Kita harus mempelajari berbagai seni bela diri tradisional Jepang yang menjadi dasar aikido. Kita harus berlatih dengan sungguh-sungguh, beradu dengan berani, dan bertempur dengan jujur. Kita harus menjalani ritual penyucian, meditasi, dan doa. Kita harus menyaksikan realitas dunia, konflik manusia, dan dampak perang. Kita harus menemukan visi ilahi kita sendiri.

Dengan demikian, kita akan dapat menghargai aikido sebagai jalan kehidupan, bukan hanya sebagai hobi atau olahraga. Kita akan dapat mengaplikasikan aikido dalam segala aspek kehidupan kita, baik fisik maupun mental, baik pribadi maupun sosial. Kita akan dapat menjadi penerus dari Morihei Ueshiba, yang mewariskan aikido sebagai warisan bagi umat manusia.

Saya harap blog post ini dapat memberikan Anda gambaran tentang Morihei Ueshiba dan filsafat aikido. Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang Ueshiba dan aikido, Anda dapat menonton video YouTube berikut ini: [Morihei Ueshiba's 3 Divine Visions - Aikido Philosophy]. Video ini dibuat oleh Shady El Nahas, seorang praktisi aikido yang juga berbagi perspektif pribadinya tentang aikido. Video ini berdurasi 10 menit 31 detik dan memiliki lebih dari 11 ribu penonton.

Terima kasih telah membaca artikel ini. Saya harap Anda menikmatinya dan mendapatkan manfaat darinya. Jika Anda memiliki pertanyaan, komentar, atau saran, silakan tinggalkan di kolom komentar di bawah ini. Saya akan senang mendengar pendapat dari Anda.

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun