Mohon tunggu...
Andritayu Rph
Andritayu Rph Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Berat!"

6 Januari 2016   18:17 Diperbarui: 6 Januari 2016   18:32 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pot “beton”, dapat merepresentasikan Yogyakarta sebagai wilayah dan sebagai wadah bagi masyarakat yang tinggal didalamnya. “Beton” merefleksikan nilai – nilai filosofi Yogyakarta yang begitu solid, kuat, dan kompleks dengan segala norma – norma dasar yang ditanamkan sejak Yogyakarta terbentuk.

Tanaman Puring memiliki warna kuning, merah, dan hijau, seolah merepresentasikan warna filosofis Keraton Yogyakarta. Secara filosofis, warna kuning melambangkan keluhuran yang diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono pertama hingga sepuluh, masyarakat meyakini bahwa sabda titah raja adalah untuk kemakmuran rakyatnya.

Warna merah melambangkan keberanian, keberanian masyarakat Yogyakarta bersama Raja melawan pemberontakan Belanda, melambangkan pendirian yang teguh masyarakat Yogyakarta untuk mendukung Daerah Istimewa Yogyakarta tetap Istimewa. Warna hijau melambangkan kemakmuran, kenyamanan masyarakat Yogyakarta yang tinggal didalamnya, setiap elemen masyarakat saling menghargai, menciptakan kemakmuran antar sesama masyarakat.

Timbangan gantung, berwarna kuning keemasan, menunjukkan angka nol. Secara filosofi warna kuning keemasan melambangkan keluhuran. Simbol timbangan yang menunjukkan angka nol mencoba merepresentasikan nilai keluhuran Yogyakarta selama ini seolah tidak lagi berharga.

Balon, identik dengan perayaan, melambangkan masyarakat Yogyakarta yang “merayakan” era modern di kota Yogyakarta. Balon terbang mengikuti angin, membawanya entah kemana, menimbulkan persepsi masyarakat Yogyakarta yang mengikuti arus modern tanpa mengetahui “akhir perjalanannya”. Perkembangan hotel, pusat perbelanjaan dan bangunan komersil lain adalah bukti “balon yang terbang terbawa angin”.

Tanaman Puring (masyarakat Yogyakarta) harus mampu berakar, bertambah besar, dan bertambah berat untuk mengembalikan Yogyakarta yang “terbang” terbawa angin yang belum pasti arahnya.

 

Kesimpulan

Dekonstruksi yang terjadi pada obyek ini mengantar pengamat menuju cara pandang yang semakin mendalam tentang arti karya tersebut. Kode – kode yang dipakai dapat terus menuntun pengamat kearah yang lebih mendalam tentang arti sebuah karya.

“Berat!” tidak lagi terlihat berat, tetapi lebih bermakna tentang aspek sosial dan budaya masyarakat yang semakin hilang. Pot tidak hanya dianggap sebagai tempat bagi tanaman melainkan lebih sebagai “wadah”, tempat bagi aspek aspek dasar yang ada di Yogyakarta yang harus dipertahankan. Tanaman puring kiranya tidak hanya sekedar menjadi tanaman penghias, tetapi lebih berarti masyarakat yang harus semakin bertumbuh untuk memperkuat Yogyakarta.

Timbangan yang melambangkan keluhuran harus mampu menyeimbangkan, memiliki “bobot” agar nilai filosofis masyarakat Yogyakarta mampu berdiri seimbang dengan arus angin modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun