Aku melihatnya dari tempatku berdiri. Lelaki yang setiap pagi duduk sendirian di dalam Limerence. Ia selalu memandangi toko bunga Floris. Ditemani secangkir minuman hangat di atas meja. Tak ada siapa-siapa di sampingnya. Tak ada teman apalagi kekasih. Tidak, aku tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya.
Sesekali pandangannya jatuh di antara bunga-bunga lily yang sedang kupilih. Tadinya ku kira ia sedang memperhatikan aku. Ternyata tidak. Ia diam saja saat aku memberinya senyuman. Dasar, padahal itu sudah yang paling manis.
Aku penasaran dengan kafe itu. Aku memang tak pernah mengunjunginya. Rasa ingin tahuku kali ini tak bisa lagi kubendung. Sejauh ini tempat favoritku minum kopi hanyalah balkon kamar apartemen. Barangkali kafe itu lebih menarik darinya.
Dengan seikat lily berwarna kuning aku mendekati kafe itu. Sesampainya di depan pintu payung ku segera kuletakan. Di musim hujan seperti ini aku tidak mengendarai dames. Kutinggalkan sepeda itu di apartemen.
Saat membuka pintu label yang menggantung sempat terbaca olehku; Closed. Aku berhenti sejenak, kemudian mengabaikannya. Kupikir itu hanya sebuah kealfaan seorang karyawan saja.
Aku menyisir seisi ruangan kafe hanya dengan sekali pandang. Tempat itu ternyata tidak begitu luas. Dan betapa terkejutnya aku saat menyadari kalau hanya lelaki itu satu-satunya pengunjung di sana. Pandangan ku langsung tertuju padanya. Ia menoleh dan nampak terkejut melihat kehadiranku.
Aku balas mengabaikannya kali ini. Langkah ku kuarahkan pada meja yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Kulihat asap masih mengepul di atas cangkirnya. Bunga-bunga lily kuletakan agak ke samping. Kepalaku menoleh berusaha menemukan pelayan kafe. Tak ada seorang pun.
“Maaf Nona, kami masih tutup!”
Ia mengagetkanku. Aku memandangnya bingung. Mataku berkedip-kedip mencerna kata-katanya. Namun segera kualihkan setelah benar-benar mengerti maksudnya.
“Ya, aku tahu!” jawab ku gugup. Kepalaku mengangguk sambil tersenyum berusaha menenangkan diri.
“Aku membacanya di situ” kucoba meyakinkannya dengan menunjuk ke arah pintu kafe dengan lonceng berwarna emas. Namun nampaknya ia telah lebih dulu mengetahui kebohongan yang kututupi. Kurasai wajahku memerah. Aku sangat yakin kalau saat itu tampangku terlihat sangat bodoh.