Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RoseRTC] Limerence

15 September 2016   09:39 Diperbarui: 15 September 2016   10:06 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arco iris de colores, Flowerybeauty.blogspot.co.id

Pagi-pagi sekali kafe yang berada di seberang jalan itu telah melayani pelanggan. Padahal biasanya baru akan buka saat hari menjelang siang. Sudah beberapa hari ini kulihat tempat minum kopi bernama Limerence itu menerima pengunjung lebih awal.   

Setiap hari aku melewatinya. Coffeeshop dengan gaya bangunan natural minimalis itu berada di jalan Senopati. Jalan yang menghubungkan apartemen ku dengan Wisma Cendana. Kantorku berada disana. Aku bekerja di sebuah tabloid wanita. Editor pada salah satu kolom pembaca. Teman-teman sering menyebut ku miss Lilium Longiflorum

Jangan berpikir aku ini hispanik latino, apalagi sebangsa tumbuh-tumbuhan. Tidak sama sekali. Aku ini pribumi tulen, homo sapiens. Perkara panggilan itu semua berawal dari nama asli pemberian orang tuaku; Lily Katlene. Jika pernah belajar biologi kau pasti akan mengerti. Agak kebarat-baratan memang tapi percayalah kalau aku sama sekali tidak berambut pirang apalagi bermata biru.

Selain perihal nama tersebut, teman-teman di kantor dari dulu juga telah paham kalau gadis pengayuh sepeda dames ini sangat menggilai bunga lily. Bukan suatu kebetulan memang kalau aku ternyata begitu menyukainya. Sewaktu kecil ibu selalu mengajaku menanamnya di halaman depan rumah. Saat itu kami memiliki kebun lily yang sangat cantik.

Aku mengidolakan semua jenis lily kecuali satu yang terbuat dari plastik. Bunga itu selalu menarik di mataku. Hampir setiap hari aku membelinya di toko yang berada di seberang kafe Limerence. Toko bunga itu bernama Floris. Mereka tidak hanya menjual bunga lily. Ada beraneka macam bunga tersedia di sana.

Bunga yang kubeli selalu dibungkusnya menggunakan kertas crepe. Aku biasa meletakannya pada keranjang dames. Sesampainya di kantor bunga-bunga itu langsung kupindahkan ke vas kristal berwarna hijau. Aku tak ingin kelopaknya menjadi layu begitu cepat.

***

Sepanjang yang aku ingat, seperti kafe-kafe pada umumnya tempat itu memang selalu tutup di pagi hari. Tidak ada perayaan khusus atau semacamnya yang mengharuskannya buka lebih awal. Yang terlihat berbeda dari pemandangan di sana hanyalah hujan yang kini terus menerus mengguyurnya tanpa henti.

Memasuki bulan September hujan turun sepanjang hari. Air-air itu seperti sedang menumpahkan segala perasaannya pada bumi. Di bulan yang banyak orang bilang romantis ini, hari-hari sepenuhnya telah menjadi miliknya. Juga kenangan-kenangan yang telah lama menunggui derainya.

Di ujung perempatan jalan, di bawah rimbunnya dahan kiara. Sepasang kekasih terlihat sedang berteduh. Berlindung dari rintik hujan yang tak pernah menyerah. Tangan lelaki itu merangkul kekasihnya. Sementara satunya sibuk membenarkan posisi jaket denim yang digunakannya untuk menutupi kepala mereka. Memeganginya agar tak bergeser atau pun jatuh ketika berlari menyeberangi jalan.          

***

Aku melihatnya dari tempatku berdiri. Lelaki yang setiap pagi duduk sendirian di dalam Limerence. Ia selalu memandangi toko bunga Floris. Ditemani secangkir minuman hangat di atas meja. Tak ada siapa-siapa di sampingnya. Tak ada teman apalagi kekasih. Tidak, aku tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya.

Sesekali pandangannya jatuh di antara bunga-bunga lily yang sedang kupilih. Tadinya ku kira ia sedang memperhatikan aku. Ternyata tidak. Ia diam saja saat aku memberinya senyuman. Dasar, padahal itu sudah yang paling manis.

Aku penasaran dengan kafe itu. Aku memang tak pernah mengunjunginya. Rasa ingin tahuku kali ini tak bisa lagi kubendung. Sejauh ini tempat favoritku minum kopi hanyalah balkon kamar apartemen. Barangkali kafe itu lebih menarik darinya.

Dengan seikat lily berwarna kuning aku mendekati kafe itu. Sesampainya di depan pintu payung ku segera kuletakan. Di musim hujan seperti ini aku tidak mengendarai dames. Kutinggalkan sepeda itu di apartemen.   

Saat membuka pintu label yang menggantung sempat terbaca olehku; Closed. Aku berhenti sejenak, kemudian mengabaikannya. Kupikir itu hanya sebuah kealfaan seorang karyawan saja.

Aku menyisir seisi ruangan kafe hanya dengan sekali pandang. Tempat itu ternyata tidak begitu luas. Dan betapa terkejutnya aku saat menyadari kalau hanya lelaki itu satu-satunya pengunjung di sana. Pandangan ku langsung tertuju padanya. Ia menoleh dan nampak terkejut melihat kehadiranku.

Aku balas mengabaikannya kali ini. Langkah ku kuarahkan pada meja yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Kulihat asap masih mengepul di atas cangkirnya. Bunga-bunga lily kuletakan agak ke samping. Kepalaku menoleh berusaha menemukan pelayan kafe. Tak ada seorang pun.

“Maaf Nona, kami masih tutup!” 

Ia mengagetkanku. Aku memandangnya bingung. Mataku berkedip-kedip mencerna kata-katanya. Namun segera kualihkan setelah benar-benar mengerti maksudnya.  

“Ya, aku tahu!” jawab ku gugup. Kepalaku mengangguk sambil tersenyum berusaha menenangkan diri.

“Aku membacanya di situ” kucoba meyakinkannya dengan menunjuk ke arah pintu kafe dengan lonceng berwarna emas. Namun nampaknya ia telah lebih dulu mengetahui kebohongan yang kututupi. Kurasai wajahku memerah. Aku sangat yakin kalau saat itu tampangku terlihat sangat bodoh.

Bodoh!! kataku dalam hati. Sekarang harus bagaimana? Aku tak bisa keluar begitu saja dari ruangan ini. Meskipun sebenarnya aku bisa melakukannya. Aku tak mengenalnya, ia pun demikian padaku. Tapi mau dikemanakan harga diriku nanti?

“aku hanya penasaran” kataku mencari alasan, “tidak biasanya kafe ini sudah buka pagi-pagi sekali”

“kami masih tutup, Nona!” ia kembali mengulang kata-katannya tadiKini aku benar-benar merasa bodoh

“ohh iyaa…” aku hanya bisa menunduk. Entah mau disembunyikan di mana lagi mukaku ini. Aku tak bisa berkata apa-apa. Melihatku tak berdaya, lalu ia meneruskan.

“ini September, Nona!”

Aku masih menunduk, tak mengerti.

“aku sangat menyukai hujan, terutama yang turun di pagi hari”

Aku mengangkat wajah tanpa suara

“bukankah ia begitu sederhana? Coba kau perhatikan!

Aku menurutinya, Kata-katanya menghipnotisku. Pandanganku kini telah berada tepat di etalase toko bunga lily langgananku itu. Menyisir setangkai demi setangkai bunga-bunga yang berada di sana.

“tidakkah kau menyukai hujan?!”  

“Tidak!!” kataku spontan. Aku terkejut mendengar jawabanku yang tak lagi dipikir itu. Rautnya tiba-tiba berubah. Aku panik berusaha mencari kata-kata yang bisa memulihkan suasana. Diantara banyak kosa kata yang kutimbang entah kenapa kalimat berikut yang justru terlontar.

“tapi aku menyukai lelaki yang memandangi hujan!” 

Bumi serasa berhenti berputar. Seluruh tubuh ku mati rasa. Keringat bercucuran. Suara hujan hilang ditelan detak jantung yang bergemuruh. Semua menjadi bisu. Kututup muka ku dengan seikat bunga Lily. Oh Tuhan, kenapa aku begitu bodoh, kataku meratapi diri.

Dari ujung mataku diam-diam kulihat ia berdiri berjalan melewatiku. kurasai saat ia tepat berada di belakang. Aku menahan nafas. Siap dengan kemungkinan paling buruk sekalipun. Bahkan aku telah memikirkan bagaimana harus bersikap jika ia tiba-tiba langsung mengusirku. 

“Nona mau minum apa?!”

Aku menoleh serta merta. Ia tersenyum. Bola matanya yang hitam terlihat bercahaya. Ada lesung di pipi kirinya. Ahhh ia ternyata begitu manis.

“Cappucino” kataku pelan.

Ia kembali meneruskan langkahnya. Aku tersenyum memandangi bunga lily yang kini berada di genggaman itu. Dan entah kenapa aroma Lilium Longiflorum berwarna kuning itu tiba-tiba kini menjadi lebih harum.

---o0o---

Depok, 14 September 2016

---

Sepeda Dames, sepeda untuk wanita

Limerence  

Logo Rumpies The Club
Logo Rumpies The Club

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun