Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Arus Zaman

3 September 2016   05:22 Diperbarui: 3 September 2016   07:06 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.shitlicious.com

Tahun 1995. Usiaku baru sepuluh tahun. Saat itu tidak ada hal yang lebih menyenangkan bagi anak-anak seusiaku daripada menunggu waktu akhir pekan yang akan segera tiba. Sekolah libur dan aku dapat bermain sepuasnya sepanjang hari. Sejatinya hari minggu memang harinya keluarga, hari untuk anak-anak, begitulah ungkapan yang pernah aku dengar di radio tua milik bapak atau pada sebuah acara televisi.

Hari libur waktunya untuk bersenang-senang. Membebaskan pikiran dari penatnya berbagai mata pelajaran. Memang aku tidak pergi ke pasar atau mengunjungi saudara di Jakarta seperti yang biasa dilakukan oleh keluarga Aldo. Hanya menghabiskan waktu senggangku dengan bermain gala asin atau melempar bola kasti pada tumpukan bata merah yang telah disusun rapih. Berlarian di bawah pohon menteng yang rindang, mencari temen-temen yang bersembunyi. Ternyata itu sudah cukup membuat hati ku dipenuhi kegembiraan.

Minggu pagi juga merupakan waktu yang selalu kutunggu-tunggu. Di waktu itu hiburan anak-anak akan tayang memenuhi layar kaca. Film-film kartun kesukaan ku diputar saluran-saluran televisi swasta. Sebut saja Doraemon, si kucing ajaib yang memiliki pintu kemana saja atau Sinichi Kudo alias Conan sang detectif. Sailor Moon dan P-Men juga tak ketinggalan beraksi. Serta masih banyak lagi sederetan suguhan yang sangat memanjakan imajinasi anak-anak itu.

Sebenarnya aku tidak punya televisi. Televisi merupakan barang mewah bagi keluarga kami. Biasanya aku dan dua orang adikku yang belum sekolah pergi ke rumah nenek jika ingin menonton kartun. Rumah nenek tidak jauh, hanya berjarak tiga rumah saja dari tempat kami tinggal.

Pagi-pagi sekali biasanya kami sudah duduk di teras rumah nenek. Tentu saja dengan kondisi tubuh yang telah harum serta muka putih dipenuhi bedak. Pipi dan kening kedua adikku itu nampak seperti kue apem yang baru saja ditaburi serbuk gula. Putih dan tentu saja manis. Di hari libur seperti itu kami selalu pergi ke kamar mandi lebih pagi dari biasanya.

Seringkali di waktu-waktu kami datang, pintu dan jendela rumah nenek masih tertutup rapat. Terang saja itu karena kedatangan kami yang terlampau pagi. Tapi mau bagaimana lagi, di hari Minggu kartun-kartun itu bahkan telah tayang sejak pukul enam pagi. Sehingga kami harus datang sebelum cahaya matahari benar-benar menyinari pelataran rumah nenek.

Meski begitu namun kenyataannya kami tidak dapat langsung menonton layar kaca tersebut. Bibi May adik ibu yang paling bungsu itu baru akan membuka pintu dan jendela setengah jam setelah film kartun pertama dimulai. Ia bilang agar kami menunggu, karena ia harus membersihkan lantai serta kaca-kaca jendela terlebih dahulu. Kami menurut, duduk di teras menunggu dengan sabar.

Pukul tujuh kurang lima menit. Bibi may baru selesai menyapu lantai dan mengelap kaca-kaca jendela. Aku mulai gelisah. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdo’a agar bibi May dapat menuntaskan tugasnya itu dengan cepat.

Mendekati pukul delapan bibi May belum juga selesai. Menyisakan lantai bagian luar tempat kami menunggu. Setelahnya ia masih harus mengeringkan ubin-ubin yang telah di gosoknya menggunakan air sabun itu dengan kain kering.

Dari lubang jendela yang terbuka aku kembali melihat jam dinding yang menggantung di atas kursi. Pukul delapan lewat sepuluh menit. Aku makin gelisah. Pikiranku mulai tak karuan. Mungkin saat ini Nobita sudah berpetualang jauh ke negeri awan bersama Sizuka menggunakan baling-baling bambu. Sekilas aku juga bisa membayangkan Giant dan Suneo melayang mengikuti mereka di belakang.

***

Kami dengar paman Martin telah pulang. Paman Martin yang biasa kami panggil Om itu adalah adik keempat ibu. Ia satu-satunya adik ibu yang bekerja di jakarta. Yang lain ikut kakek bercocok tanam. Paman Martin masih muda dan belum menikah.

Paman Martin selalu pulang di akhir bulan. Biasanya saat itu ia telah gajian. Ia bekerja di daerah Pulogadung. Kerja di sebuah pabrik. Pabrik apa pastinya aku tidak tahu. Tapi aku pernah melihat foto paman martin bersama teman-temannya di depan bangunan tempatnya bekerja. Dan di sana tercetak sebuah tulisan yang biasa aku lihat pada kendaraan milik ayahnya Aldo; Toyota.  

Kepulangan paman Martin merupakan sebuah kabar gembira bagi kami, terutama bagi diriku. Bibi May memang selalu baik pada kami, juga nenek dan adik-adik ibu lainnya. Namun entah mengapa aku merasa kalau paman Martin tidak hanya sekedar baik, tapi juga sangat mengerti perasaanku. Ia juga selalu memberiku uang jajan untuk sekolah.

Jika ia sedang berada di rumah, televisi yang berada di atas buffet berwarna cokelat itu selalu dinyalakan ketika kami datang. Tidak peduli seberapa pagi kami telah hadir di teras rumah nenek. Bahkan saat lantai dan kaca-kaca jendela itu belum dibersihkan sekalipun tak jadi soal baginya. Ia tersenyum menyapa keponakan-keponakannya dengan ramah. Mempersilahkan kami masuk sambil sesekali meledek wajah adikku yang dilihatnya seperti buah kesemek itu.

Tak ada yang berani marah pada paman. Ia adalah penguasa di rumah nenek. Televisi itu serta perabot-perabot mahal lainnya merupakan barang-barang yang dibeli dengan gajinya sendiri. Kamipun merasa bahagia berada di dekatnya. Tak ada rasa canggung, apalagi takut. Bahkan adik-adiku yang biasa diam pemalu menjadi begitu cerewet di pangkuannya. 

Paman Martin sangat tahu film-film kartun kesukaan kami. Bahkan ia juga hafal jam tayangnya. Tiap kali satu serial habis ia akan menggantinya pada saluran lain yang akan menayangkan film kartun berikutnya. Bahkan seringkali ia meminta diriku untuk mengganti sendiri saluran yang diinginkan. Kadang aku sampai berpikir kalau ia sebenarnya tahu hal-hal yang sangat aku inginkan yang baru bisa aku dapatkan setelah ia berada di rumah nenek. 

Setiap kali pulang paman Martin selalu membawa benda-benda menarik. Barang-barang yang tersimpan di dalam kamarnya itu selalu membuat ku berdecak kagum. Kebetulan memang benda-benda itu juga merupakan barang yang selama ini aku suka.

Aku sangat menyukai binatang. Dan di kamarnya terdapat sebuah akuarium besar dengan ikan arwana berenang di dalamnya. Aku paling suka saat paman memberinya jangkrik atau pun kelabang. Ikan itu terlihat begitu gagah berwibawa.

Di samping akuarium terdapat radio tape. Aku suka mendengarkan lagu-lagu. Kalau biasanya tiap malam aku turut bapak mendengarkan sandiwara radio. Di sini aku bisa dengan bebas mendengarkan musik-musik yang aku suka. Koleksi kaset paman juga cukup banyak. Lengkap dari artis Indonesia sampai grup musik negeri barat.

Dari koleksi-koleksinya itu yang paling sering aku dengarkan adalah kumpulan lagu-lagu terbaik Ebit G Ade, Nicky Astria serta Broery Marantika. Sementara favorit paman adalah lagu-lagu Koes Ploes serta Iwan Fals.

Di atas dindingnya menggantung sebuah samurai. Tentu saja itu hanya sebuah pajangan. Karena penasaran pernah aku diam-diam menurunkannya dengan bantuan sebuah meja kaca. Benda itu ternyata sangat berat. Aku sempat menarik selongsongnya meski tidak sampai mengeluarkan senjata itu. Dan ternyata samurai itu cukup tajam serta amat berkilau. Aku hanya melihatnya sebentar. Takut terjadi sesuatu kemudian segera kukembalikan benda itu ke tempat semula.

Dari sekian banyak barang-barang milik paman. Yang paling membuat ku berdecak kagum adalah harmonika miliknya. Aku pernah punya harmonika. Membelinya di toko mainan saat lebaran. Alat musik tiup yang kubeli itu terbuat dari kaleng. Memang suaranya memiliki nada namun sayangnya tak bertahan lama karena dimakan karat.

Harmonika milik Paman sangat panjang. Dua kali panjang harmonika kaleng miliku. Warnanya biru metalik dan silver pada bagian lubang-lubang yang ditiup. Di simpan di dalam kotak kayu penuh ukiran. Sungguh amat cantik.

Aku menggenggamnya. Alat musik itu terasa begitu meyakinkan saat di pegang. Bulu kuduk ku merinding saat meniupnya. Suaranya begitu merdu. Beda sekali dengan harmonika kaleng ku yang cempreng.

***           

Beberapa tahun setelah aku lulus sekolah dasar, paman dirumahkan dari pabrik tempatnya bekerja. Saat itu sekitar tahun 1998. Aku tak tahu kenapa bisa demikian. Kata ibu paman diPHK karena hanya berijazah STM. Tapi kalau memang benar demikian kenapa ayahnya Aldo yang bergelar sarjanapun turut berhenti bekerja. Aldo sendiri yang cerita padaku. Dari beberapa berita yang kudengar, ternyata saat itu memang banyak pabrk-pabrik yang bangkrut akibat krisis.

Zaman sekarang orang bilang bekerja itu minimal harus memiliki ijazah sarjana. Terlebih setelah terjadinya krisis persaingan dunia kerja menjadi begitu sengit. Aku sempat bertanya kepada ibu, kenapa paman Martin tidak sekolah lagi. Faktor usia yang sudah tidak memungkinkan begitu jawabnya. Setelahnya paman Martin memang lebih banyak di rumah. Kadang nongkrong bersama teman-temannya di warung kopi.

Kata ibu aku harus sekolah setinggi-tingginya jika tidak ingin tergerus arus perubahan zaman. Saat ini dunia berubah dengan sangat cepat, begitu yang kudengar dari pembaca berita di televisi. Hanya pendidikan tinggi disertai dengan keterampilan yang mengikuti perkembangan yang mampu membuat manusia modern bertahan.

***

Di mana-mana macet. Setiap hari kendaraan bertambah memenuhi jalan. Tidak hanya di Jakarta, di Kota-kota satelit yang menjadi penyokong ibu kota pun kondisinya tak jauh berbeda. Di waktu-waktu sekarang ini alat transportasi umum yang paling efektif dan efisien hanyalah kereta listrik. Moda transportasi itu kini menjadi andalanku setiap kali berangkat ke kantor untuk bekerja.

Persoalannya aku masih harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai ke lokasi stasiun terdekat. Tidak mungkin menggunakan mobil pribadi apalagi angkutan umum. Karena pagi-pagi sekali jalanan sudah dipenuhi dengan kendaraan-kendaraan yang berlomba-lomba menuju ibu kota.

Itulah sebabnya aku lebih memilih untuk menggunakan jasa antar jemput ke stasiun menggunakan sepeda motor. Lebih praktis untuk menghindari kemacetan yang sudah dalam kondisi kronis itu. Aku sangat terbantu dengan adanya jasa angkutan tersebut. Bahkan sekarang sudah tersedia layanan jasa angkutan on line lengkap dengan aplikasinya. Bisa dipesan di mana dan kapan saja melalui handphone.

Kini aku tidak terlambat lagi. Bahkan bisa masuk kantor sesuai jadwal. Kulepaskan helm yang masih melekat, juga jas hujan yang telah melindungi pakaianku dari basah. Kebetulan pagi ini cuaca agak kurang bersahabat. Setelah semua kulepas segera kukeluarkan uang untuk membayar.

“kebanyakan, Gus!”

“Gak apa-apa, Om! Buat uang jajan Andi!”

“Terimakasih, Gus! Kamu memang keponakan yang baik”

“sama-sama, Om Martin juga sangat baik”

Aku bergegas meninggalkan Om Martin yang masih sibuk merapikan helm dan jas hujan yang baru saja kupakai. Setelah masuk ke stasiun diam-diam aku kembali menoleh padanya. Memperhatikan sosoknya yang kini sudah tidak muda lagi itu. Lalu dengan sedikit perasaan haru tiba-tiba saja hatiku berucap.

“Terimakasih, Om!

---o0o---

Depok, 02 September 2016

Bufet, lemari tempat menyimpan barang-barang pajangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun