Edisi Rectoverso, Soundtrack: "Feeling" by Morris Albert
Seorang perempuan berdiri di ujung lorong cahaya. Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku berusaha menggapainya. Namun tanganku tak pernah bisa menyentuhnya. Hanya kehampaan yang terus saja coba ku genggam. Perempuan itu kemudian memanggil-manggil namaku.
“Rann..!!Rann..!!”
“Ibuuu…..!!”
Aku terbangun. Nafasku terengah-engah. Aku melihat ke arah weker. Pukul dua pagi. Sebuah perasaan aneh kembali menelusup kedalam hatiku. Menarik lelap tidurku untuk kembali tersadar. Perasaan ini, yang terasa begitu kelabu. Adalah perasaan yang sama yang hadir 22 tahun yang lalu. Saat aku masih berusia tujuh tahun. Saat itu aku sedang duduk menghadapi jenazah ibuku. Kanker di tubuhnya telah membawanya pergi. Aku tak menangis. Aku hanya memandangi wajah pucatnya. Kebisuannya sangat mengabaikanku.
Sebenarnya aku ingin berteriak di depan kematiannya. Dan bertanya kenapa ia begitu tega telah meninggalkanku. Namun ku urungkan. Aku tak ingin membuat ibu kembali menangis. Aku ingat, ibu pernah berkata bahwa ia sangat ingin berhenti menangis. Dan kini di depanku do’anya telah terkabul. Meski dengan kematian ia harus mendapatkannya.
Aku tak mau menangis. Karena aku tak ingin membuang air mata. Tentu saja kematian ibu sangat menyakitkan. Namun aku tahu, menjalani hidup sebatangkara. Tentu kepiluannya akan jauh lebih menusuk. Jadi ku putuskan untuk menyimpan air mataku. Akan ku gunakan nanti. Saat bertemu kepahitan hidup yang sudah menungguku di depan. Dengan air mataku, akan ku bujuk agar ia mau sedikit lebih bermurah hati pada kesendirianku.
Kepergian ibu terasa begitu mendadak. Ia memang sudah lama sakit. Tapi belakangan kondisi kesehatannya sebetulnya sempat membaik. Namun sayang Tuhan berkata lain. Aku berharap sebelum ia pergi. ia sempat memberitahuku siapa keluarga yang harus kutemui setelah kematiannya nanti. Namun nyatanya mengucapkan kata perpisahan padaku saja tidak.
Pada Ibu, bahkan aku belum sempat bertanya tentang satu hal. Tentang sebuah nama “aneh” yang diberikannya padaku. “Grandi Navi Veloci”. Belakangan aku baru tahu bahwa ternyata nama itu adalah nama sebuah kapal pesiar di Italia. Kemudian aku mulai menebak-nebak. Jangan-jangan tidak hanya namaku saja yang berasal dari Itali. Bisa jadi sebagian darahku juga. Melihat pada rambut ikalku yang sedikit agak pirang serta kulitku yang cokelat cerah kemerahan. Nampak seperti photo pria yang ada di dompet ibu itu.