Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Cerpen: Lenggogeni

17 November 2015   06:08 Diperbarui: 17 November 2015   19:32 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicaranya amat lembut. Kata-katanya pun sopan. Jujur-patuh pada orangtua. Lenggogeni, ia adalah anak perempuan yang baik. Bahkan tidak berlebihan bila ia disebut sebagai anak yang berbakti. Ia pandai memasak. Kemahirannya itu turunan dari ibunya. Ia selalu dibawa ke mana pun ibunya pergi memenuhi panggilan memasak. Biasanya memasak untuk acara-acara hajatan warga di kampung. Sedari kecil ia juga sudah pandai mengaji. Dulu ia sering membantu almarhum bapaknya. Mengajarkan anak-anak mengeja huruf-huruf Hijaiyah. Mereka biasa memanggilnya Mbak Geni. 

Jika tidak ada panggilan memasak, sehari-hari, setiap pagi buta, Lenggogeni pergi ke pasar. Bukan untuk membeli sayur atau beberapa ekor ikan untuk diolah menjadi lauk. Melainkan membantu ibunya menjual kue-kue basah hasil buatan sendiri di rumah. Menyusuri jalan kampung yang gelap, Geni akan menjunjung tampah berisi berbagai macam penganan yang menggunung. Kabut dan udara kaki gunung yang menggigil sudah sangat bersahabat dengan langkah-langkah kakinya. Seperti biasa, ia hanya menggunakan kebaya tipis. Kain batik yang ia lipatkan sampai ke mata kaki menjadi satu-satunya penghangat di tubuhnya. Ia bergegas - mengejar gelap yang perlahan mulai terisap di ufuk timur. Ia harus sudah sampai di ujung perbatasan desa. Sebelum langit menjadi terang.

Bermacam kue dihasilkan Geni bersama ibunya. Ada kue bugis, cucur, talam, klepon, maupun kue pisang. Sesampainya di pasar, ia akan duduk menggelar kue-kuenya di salah satu sudut. Tepat di bagian orang lalu lalang. Ia meletakkan tampah kuenya di atas meja kayu kecil yang selalu ia tinggalkan bersama sebuah jengkok tua. Senyumnya akan mengembang sepanjang pagi. Menyapa kesibukan orang-orang. Membujuk mereka untuk membeli kuenya beberapa potong.

***

Sehabis magrib pelataran rumah berpagar bambu itu selalu ramai dengan suara anak-anak mengaji. Cahaya lampunya terlihat lebih diterangkan dari rumah-rumah di sebelahnya. Membuat anak-anak tidak terlalu memicingkan mata. Geni akan duduk di atas tikar pandan. Ia menyandar pada salah satu tiang penyangga atap krepyak rumahnya.

Anak-anak akan duduk mengerubung. Mereka serentak - berbarengan akan membaca dengan lantang beberapa surat-surat pendek. Setelah itu, mereka akan bergantian menyodorkan hafalan bacaan masing-masing. Tak ada yang berebut. Tak ada yang saling desak. Apalagi menyalip antrian. Mereka hanya sedikit mencuri kedekatan secara diam-diam. Menggeser - melipat jarak duduknya, menempel pada pangkuan Geni.

Perhatiannya akan selalu jadi rebutan anak-anak. Tak jarang dari mereka begitu mengharapkan usapan lembut tangannya di kepala. Senyum sederhana Geni sungguh mengemong. Membuat beberapa anak secara tiba-tiba ingin tertidur di atas pangkuannya. Jika mereka mulai sedikit tidak sabar, banyak yang tiba-tiba menjadi nakal. Terutama anak laki-laki. Mereka akan berlarian atau mengganggu anak perempuan. Hanya untuk merebut konsentrasinya. Geni sudah hapal itu. Ia bagi beberapa anak, mungkin lebih keibuan dari ibu mereka sendiri.

***

Pagi itu Geni bersama ibunya menuju rumah seorang kerabat dekat. Ia sedang tidak pergi ke pasar. Seperti biasa ia libur berjualan jika panggilan memasak hajatan sudah di tangan. Geni sangat suka memasak untuk banyak orang. Ia akan membumbui masakannya dengan banyak cinta. Sepupu perempuannya baru saja mendapat lamaran. Ia pun turut bahagia.

Geni dan ibunya membagi tugas. Ibunya menangani olahan lauk tanpa kuah. Sedangkan ia harus mematangkan semur daging dan sayur kentang. Usia telah menggerogoti kecekatan tangan ibunya dalam meracik beberapa bumbu masakan. Kini menu-menu utama sudah jadi bagian Geni. Banyak orang telah mengakui. Olahan dagingnya lebih baik dari ibunya. Teksturnya begitu empuk. Hancur di mulut saat gigitan pertama.

Para kerabat yang lain berkumpul di ruang tengah. Kebanyakan terdiri dari ibu-ibu yang selalu senang berhaha-hihi. Di hari bahagia seperti ini tak ada obrolan yang terlalu serius. Yang terdengar hanyalah suara tawa mengisi sudut-sudut ruang, tempat orang-orang menitipkan kue dan makanan. Geni sesekali datang ke ruang tengah. Bukan untuk ikut bersenda gurau. Ia hanya meletakkan beberapa hidangan yang telah selesai dimasak. Atau sekedar merapikan jejeran penganan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun