Pagi itu disebuah meja sarapan keluarga.
“Ayah!, kata Abang Dafi. Pada jaman penjajahan dulu. Pahlawan kita hanya menggunakan senjata sederhana untuk berjuang. Apa itu betul Ayah?!”
“Iya Andi, betul kata Abang!. Para pejuang kita memang hanya menggunakan bambu runcing untuk melawan penjajah”
“Bambu runcing? Maksud Ayah pejuang kita melawan penjajah hanya dengan sebatang bambu?! Bukankah penjajah menggunakan senapan Ayah?!
“Iya Nak. Demikian yang Ayah tahu”
“Dari mana Ayah tahu?!
“Dari buku sejarah Nak!. Sama seperti buku yang Abang punya itu. Dulu, guru Ayah disekolah juga bilang begitu!. Sebentar lagi kan kamu naik kelas. Nanti kamu juga akan belajar tentang sejarah Nak”.
“Aku masih belum mengerti Ayah. Kenapa pejuang kita hanya menggunakan bambu? Sedangkan penjajah menggunakan senapan. Apa kita tidak punya senjata yang lebih canggih Ayah?”.
“Nak, Waktu itu negara kita belum merdeka seperti sekarang. Kita juga belum punya senjata canggih seperti yang kamu lihat dipameran militer kemarin. Kita hanya punya bambu runcing. Ada senapan, tapi jumlahnya tidak banyak Nak. Hanya beberapa saja”.
“Ayah kalau begitu kenapa kita bisa menang?! Masa senapan kalah dengan bambu. Sangat tidak masuk akal”.
“Sudah ya Nak!, Ayah harus kekantor. Nanti sore kita sambung lagi bincang-bincangnya ya!”.
“Iya Ayah!”.
Andi mencium tangan ayahnya. Ayahnya membalas dengan sebuah kecupan hangat dikening.
“Dadah Ayahhhh...!”.
Andi melambaikan tangannya. Ayahnya balas melempar senyum dari balik kaca jendela mobil - yang mulai melaju meninggalkan rumah.
***
Kebetulan Andi libur sekolah hari ini. Ibu mengajaknya pergi kepasar tradisional untuk belanja keperluan dapur. Pasar itu berada didalam sebuah gedung berlantai dua. Mereka menaiki kendaraan umum. Jarak rumah Andi ke pasar itu tidaklah terlalu jauh. Hanya melewati tiga kemesraan minimarket saja. Ya kemesraan. Minimarket-minimarket itu terlihat seperti pasangan yang sedang berkencan. Perhatikan saja. Dimana minimarket merah berdiam, disitu minimarket biru menempel. Seolah tak mau dipisahkan. Begitupun sebaliknya. Kemesraan minimarket yang mulai merajalela itu, seolah telah menjadi berita kematian bagi keberadaan warung-warung kelontong - yang sudah ada jauh sebelum mereka berdiri.
Sesampainya mereka dipasar. Tak biasanya Andi menolak ikut ibunya berkeliling. Ia lebih memilih untuk menunggu diluar gedung. Andi meminta duduk dibangku kayu yang berada tepat didekat pintu pasar. Ibunya sedikit khawatir.Tapi Andi begitu memaksa. Ia terlihat senang melihat motor-motor yang berdatangan. Ibu Andi mendekati petugas pasar yang sudah sering ia temui itu. Dan menitipkan Andi padanya.
***
Ayahhh...Ayahhh...!! teriak Andi menyambut kepulangan Ayahnya. Ia begitu antusias. Ayahnya - yang baru saja turun dari mobil - langsung memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan.
“Ayah aku sudah tahu jawabannya!”
“Jawaban apa Nak?!” Timpal Ayah sambil mencium pipi Andi.
“Ayah, bambu runcing itu memang tidak secanggih senapan. Tapi ia lebih kuat!”. Katanya dengan percaya diri.
“Lohh..ko bisa lebih kuat?!” Tanya Ayah sambil lalu. Ia kini sibuk melepas sepatu kantor yang sudah seharian melekat dikakinya itu.
“Iya Ayah, karena bambu runcing itu punya semangat para pejuang kita Ayah. Jadi lebih kuat!” Andi menatap ayahnya dengan serius. Ia sedang mengajaknya berdiskusi.
“Ah masa?! Ayah tidak percaya”. Kali ini Ayah sedikit meledek.
“Katanya Semangat itu adalah semangat berkorban untuk kemerdekaan negeri kita Ayah!!. Mereka berjuang tanpa rasa takut, melawan senapan canggih itu. Berjuang tanpa pamrih!! begitu katanya Ayah”. Ia melanjutkan.
“Ohhh...begitu ya?! Ayah baru tau. Ternyata bambu runcing lebih kuat dari senapan. Memang pintar nih anak Ayah!!. Ayah kemudian menggelitik tubuh Andi. Ia tertawa kelabakan. Namun keseriusannya cepat kembali datang.
“Buktinya mbah Darmin masih hidup Ayah!. Katanya dulu ia juga ikut berperang Ayah. Menggunakan bambu runcing. Melawan penjajah. Pokoknya kerennnn deh Ayahh....!!. Ciaattt..!!. Tiba-tiba Andi berlari memutari sofa. Ia memperagakan sebuah perkelahian. Gerakannya begitu semangat. Seolah-olah ia sedang berada dimedan pertempuran. Melawan penjajah
“Mbah Darmin?! Ayah berbalik menatap anaknya.
“Kata ibu aku harus memanggilnya mbah Darmin. Ia sudah tua Ayah, seperti kakek. Rambutnya putih dan giginya sudah ompong. Bajunya keren deh Ayah. Ada topinya juga. Seperti pejuang yang ada dibuku sejarah Abang itu!”
Kemudian Ayah berteriak ke arah dapur.
"Siapa itu mbah Darmin Bu?!”
Ibu balas berteriak
“Ituloh Pak..!. Bapak tua yang biasa jagain motor di pasar Swadaya Merdeka. Ndak biasanya hari ini dia rapih berseragam begitu. Sampai-sampai bendera merah putih ia kalungkan dilehernya. Andi jadi ndak mau jauh-jauh dari si mbah.”
Ayah terdiam. Ia masih mencerna informsi yang baru saja didengarnya. Kemudian Andi kembali mendekat. Kali ini dia berjalan. Namun wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya. Ia kemudian memeluk ayahnya dan berkata.
“Ayahhh....Ayahhh!! mbah Darmin lucu deh. Ia berteriak pada semua orang dipasar. Merdeka!! Merdeka!!. Terus tertawa. Gigi ompongnya kelihatan. Hehehe…”
Terus mbah Darmin ikutan duduk disamping aku Ayah. Ia juga bilang merdeka padaku. Tapi suaranya pelan Ayah. Tidak berteriak. Mungkin ia sudah lelah. Lalu ia bilang begini padaku Ayah.
"Nak, Selamat Hari Pahlawan!!"
Abis itu ketawa lagi deh, hehehehehehe”
Andi terkekeh-kekeh kembali menirukan suara tertawa mbah Darmin. Suara tawa yang telah begitu setia menemaninya. Melewati hari-harinya yang penuh dengan segudang kesulitan hidup. Bersama keluarga, di Negeri tercinta.
-----o0o-----
Selamat Hari Pahlawan
Depok, 10 November 2015
----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H