“Jawaban apa Nak?!” Timpal Ayah sambil mencium pipi Andi.
“Ayah, bambu runcing itu memang tidak secanggih senapan. Tapi ia lebih kuat!”. Katanya dengan percaya diri.
“Lohh..ko bisa lebih kuat?!” Tanya Ayah sambil lalu. Ia kini sibuk melepas sepatu kantor yang sudah seharian melekat dikakinya itu.
“Iya Ayah, karena bambu runcing itu punya semangat para pejuang kita Ayah. Jadi lebih kuat!” Andi menatap ayahnya dengan serius. Ia sedang mengajaknya berdiskusi.
“Ah masa?! Ayah tidak percaya”. Kali ini Ayah sedikit meledek.
“Katanya Semangat itu adalah semangat berkorban untuk kemerdekaan negeri kita Ayah!!. Mereka berjuang tanpa rasa takut, melawan senapan canggih itu. Berjuang tanpa pamrih!! begitu katanya Ayah”. Ia melanjutkan.
“Ohhh...begitu ya?! Ayah baru tau. Ternyata bambu runcing lebih kuat dari senapan. Memang pintar nih anak Ayah!!. Ayah kemudian menggelitik tubuh Andi. Ia tertawa kelabakan. Namun keseriusannya cepat kembali datang.
“Buktinya mbah Darmin masih hidup Ayah!. Katanya dulu ia juga ikut berperang Ayah. Menggunakan bambu runcing. Melawan penjajah. Pokoknya kerennnn deh Ayahh....!!. Ciaattt..!!. Tiba-tiba Andi berlari memutari sofa. Ia memperagakan sebuah perkelahian. Gerakannya begitu semangat. Seolah-olah ia sedang berada dimedan pertempuran. Melawan penjajah
“Mbah Darmin?! Ayah berbalik menatap anaknya.
“Kata ibu aku harus memanggilnya mbah Darmin. Ia sudah tua Ayah, seperti kakek. Rambutnya putih dan giginya sudah ompong. Bajunya keren deh Ayah. Ada topinya juga. Seperti pejuang yang ada dibuku sejarah Abang itu!”
Kemudian Ayah berteriak ke arah dapur.