“Sudah ya Nak!, Ayah harus kekantor. Nanti sore kita sambung lagi bincang-bincangnya ya!”.
“Iya Ayah!”.
Andi mencium tangan ayahnya. Ayahnya membalas dengan sebuah kecupan hangat dikening.
“Dadah Ayahhhh...!”.
Andi melambaikan tangannya. Ayahnya balas melempar senyum dari balik kaca jendela mobil - yang mulai melaju meninggalkan rumah.
***
Kebetulan Andi libur sekolah hari ini. Ibu mengajaknya pergi kepasar tradisional untuk belanja keperluan dapur. Pasar itu berada didalam sebuah gedung berlantai dua. Mereka menaiki kendaraan umum. Jarak rumah Andi ke pasar itu tidaklah terlalu jauh. Hanya melewati tiga kemesraan minimarket saja. Ya kemesraan. Minimarket-minimarket itu terlihat seperti pasangan yang sedang berkencan. Perhatikan saja. Dimana minimarket merah berdiam, disitu minimarket biru menempel. Seolah tak mau dipisahkan. Begitupun sebaliknya. Kemesraan minimarket yang mulai merajalela itu, seolah telah menjadi berita kematian bagi keberadaan warung-warung kelontong - yang sudah ada jauh sebelum mereka berdiri.
Sesampainya mereka dipasar. Tak biasanya Andi menolak ikut ibunya berkeliling. Ia lebih memilih untuk menunggu diluar gedung. Andi meminta duduk dibangku kayu yang berada tepat didekat pintu pasar. Ibunya sedikit khawatir.Tapi Andi begitu memaksa. Ia terlihat senang melihat motor-motor yang berdatangan. Ibu Andi mendekati petugas pasar yang sudah sering ia temui itu. Dan menitipkan Andi padanya.
***
Ayahhh...Ayahhh...!! teriak Andi menyambut kepulangan Ayahnya. Ia begitu antusias. Ayahnya - yang baru saja turun dari mobil - langsung memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan.
“Ayah aku sudah tahu jawabannya!”