Saat itu umurku belum genap empat belas tahun, masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Aku anak ketiga dari delapan bersaudara. Bapakku seorang buruh bangunan, sedangkan Emak hanya di rumah mengurus kami. Kakak pertamaku perempuan, menikah dan punya satu anak. Suaminya hanya seorang sopir angkot. Kakak keduaku laki-laki, kelas 3 STM, aku memanggilnya Abang. Adikku lima, tiga perempuan dan dua laki-laki.
Beda usiaku dengan Abang sekitar lima tahun. Sedangkan beda usiaku dengan lima orang adikku, dua tahun dan kelipatannya. Jadi adikku paling besar berumur sekitar dua belas tahun, sedangkan aku dengan si bontot berbeda usia sepuluh tahun. Melihat beda usiaku dengan Abang, kadang aku curiga. Jangan-jangan kami dulu berenam tidak masuk dalam program anak mereka. Tapi kenapa bisa sebanyak enam. Mungkin kebablasan. Selain Abang dan aku, tiga adiku juga bersekolah. Kami bersekolah di madrasah yang sama.
Hidup kami sederhana, pas-pasan lebih tepatnya. Gaji Bapak hanya sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah per minggu. Bapak biasanya gajian di hari Sabtu sore. Aku sungguh senang kalau Bapak gajian. Kami akan ikut Emak pergi ke warung, bergerombol, membeli beras. Tiap Sabtu sore, rumah akan terasa berbeda, terasa lebih ramai, rasanya seperti esok mau lebaran. Di Sabtu sore jugalah aku akan melihat Bapak lebih bermain-main dengan asap rokoknya. Canda kami akan sedikit lebih gaduh. Emak juga lebih banyak berkata-kata, mengomeli kami yang tak habisnya melorotkan sarung-sarung bantal.
Piring-piring kami akan terisi dengan lauk-lauk favorit. Membuat kami tersenyum girang sepulang dari sekolah. Menu favorit keluarga kami sayur bening dan ikan asin. Sayur bening Emak banyak variasi, kadang bayam, sawi putih, bahkan gandul. Tambahan sambal terasi akan menjadikan menu favorit kami menjadi menu special. Emak akan menghidangkannya di meja makan yang terbuat dari papan kayu.
Menghidupi 10 kepala dalam satu rumah tentu membuat gaji Bapak cepat menguap. Biasanya di hari Rabu piring-piring kami sudah sepi dari lauk. Emak sudah tidak punya gandul maupun ikan asin. Hanya terasi yang tersisa, yang akan dicampur Emak dengan garam. Dioseng dengan sedikit minyak sisa menggoreng ikan asin. Itu akan membuat nasi kami terasa nikmat. aku paling senang mengaduknya hingga rata. Sampai warnanya menyerupai nasi dari beras merah. Kalau nasi di bakul sekiranya masih cukup, aku biasanya nambah.
Gaji Bapak tentu tidak hanya untuk makan kami saja, melainkan juga untuk keperluan sekolah Abang, aku dan adik-adikku. Hanya Abang yang sekolahnya naik kendaraan umum, sekolahnya jauh di Pasar Jumat. Sedang aku dan ketiga adikku cukup dengan berjalan kaki. Madrasah kami dekat hanya berjarak 2 km dari rumah. Tidak perlu ongkos, hanya 500 rupiah di tangan untuk jajan, itu pun kalau Emak masih menyimpan uang.
Sekolah Abang akan selalu jadi prioritas Bapak. Kalau ada rezeki lebih biasanya Bapak akan memberikannya kepada Abang untuk melunasi tunggakan iuran SPP. Meski aku dan adikku memiliki tunggakan iuran SPP lebih banyak dari Abang. Aku tidak pernah merasa iri. Aku mengerti, Abang adalah harapan Bapak, harapan kami. Berita kelulusan Abang akan selalu menjadi kabar yang paling kami nantikan.
Hari kamis Emak sudah kehabisan uang. Sudah tidak bisa membeli beras. Biasanya Emak akan meminta dulu di warung langganan. Kadang juga dengan sebungkus cabe-bawang. Jika Emak masih punya sedikit keberanian, sekantong kecil ikan asin bisa kami dapatkan. Kemudian di hari Jumat Emak hanya bisa membawa pulang 1,5 liter beras saja. Emak akan membayarnya Sabtu sore, seperti biasanya.
Bapak adalah satu-satunya tulang punggung keluarga, satu-satunya yang mempunyai gaji. Bapak sosok pahlawan di mata kami, terlebih di mataku. Begitu banyak harapan-harapanku pada Bapak. Harapan agar Bapak tetap bekerja. Tetap memiliki gaji, sehingga Emak tetap bisa membayar hutang-hutangnya di warung dan bisa meminta hutangan kembali untuk menyambung hidup kami.
***
Suatu pagi di tahun 1997, saat aku akan berangkat sekolah. Aku melihat Bapak masih tertidur. Masih berkerubung sarung. Padahal sudah tepat pukul 6.00. Biasanya Bapak sudah ngopi dan makan nasi sangan, bersiap-siap pergi bekerja. Entah kenapa sepanjang hari itu di sekolah, pikiranku selalu tertuju pada Bapak. Hatiku tiba-tiba saja banyak dipenuhi kecemasan. Dua hal yang selalu aku takutkan akan terjadi. Pertama: Bapak sakit, kedua: pekerjaan Bapak telah selesai. Sekeras mungkin aku mecoba tidak memikirkan dua hal tersebut. Bapak hanya telat bekerja, pikirku meyakinkan diri. Namun tetap saja tidak berhasil. Ketakutan-ketakutan itu selalu kembali muncul.
Sepulang dari sekolah aku tidak melihat Bapak. Dengan berdebar aku mencari Emak. Aku menanyakan hal yang sebenarnya ragu untuk ditanyakan. Disebabkan antara takut jawabannya yang tidak sesuai harapan atau memang sebenarnya aku sudah mengetahui jawabannya.
"Bapak ke mana, Mak?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutku. "Bapak baru saja keluar," Emak menjawab, suaranya nyaris tidak kudengar, lunglai tertiup angin. Aku bersandar lemas pada kusen pintu. Pandanganku jauh melewati Emak yang sedang mengangkat jemuran di belakang rumah. Bapak jelas sudah tidak bekerja. Kata Bu Guru, kondisi saat ini memang sedang susah. Kemudian tiba-tiba saja rumah terasa sangat sepi.
Keesokan pagi dan beberapa pagi hari ke depan, Bapak masih sama dengan tidurnya. Aku menengok tubuh Bapak yang masih berkerubung sarung di atas tikar. Bapak tidur meringkuk, seluruh badan dan kepalanya terbungkus sarung. Menyembunyikan mukanya, menyembunyikan kegelisahannya. Sesekali gerakan kakinya mengisyaratkan kalau Bapak sebenarnya sudah terbangun, ia hanya tidak mau bangun. Ya Bapak hanya sedang bersembunyi. Aku mengerti perasaan Bapak, begitu juga dengan perasaan Emak.
Emak akan lebih banyak diam. Emak memang seperti itu, dari dulu.. Meski Emak harus mengutang beras di warung sambil menunggu Bapak gajian. Meski Bapak belum bekerja lagi. Bahkan saat Bapak tidak pulang karena tergoda pelayan warung kopi. Emak tidak pernah marah sama Bapak. Emak hanya diam. Ia juga tidak pernah bercerita apa-apa kepada anaknya. Bahkan tidak pernah mengeluh. Seperti biasa Emak akan menyapu lantai, menjemur dan melepit pakaian, melepit segala persoalan, menyimpannya dalam-dalam.
Emak terlihat sangat gelisah, tidak biasanya. Beras sudah tidak ada. Hutang Emak sudah menumpuk belum terbayar. Sudah beberapa Sabtu Emak tidak menerima uang dari Bapak. Keberanian Emak juga sudah habis untuk meminta beras di warung. Bapak segera keluar rumah, lewat pintu belakang. Bapak kemudian pulang dengan membawa baskom dipenuhi beras hasil pinjaman dari saudara sebelah rumah. Emak segera memasaknya.
Dalam kondisi sulit seperti ini, Kami hanya makan satu kali di siang hari. Kadang jika Bapak sedang sulit mendapat pinjaman, kami harus bersabar menunggu piring-piring kami terisi nasi sampai malam. Emak sering membangunkan kami yang sempat tertidur karena menunggu Bapak hingga terlalu larut. Begitu kami melewati hari demi hari, bertahan hidup.
Tiap pagi Bapak tergopoh-gopoh, mondar-mandir mencari pinjaman ongkos kepada tetangga dan saudara buat Abang. Kadang Bapak tidak kembali ke rumah sampai hari menjelang siang. Abang akan duduk di kursi, tetap menunggu Bapak. Emak menyapu sudut-sudut lantai dengan sapu ijuk yang sudah mulia tipis karena rontok. Menyapu kegelisahan Abang, kegelisahan kami, dan kegelisahannya sendiri. Serta kegelisahan-kegelisahan hari berikutnya yang sudah menanti.
***
Kini hanya tinggal aku dan Abang yang bersekolah. Ketiga adikku sudah berhenti, tidak lagi melanjutkan. Bapak dipanggil pihak sekolah. Bapak ditagih membayar tunggakan-tunggakan iuran SPP kami yang sudah enam bulan lebih tak terbayar. Tak banyak yang bisa dikatakan Bapak, sudah terlalu banyak minta keringanan kepada sekolah. Aku duduk di sampingnya mendengarkan. Sekolah akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan kami, aku dan ketiga adiku. Aku menatap Bapak, Bapak terdiam tak berani balas menatap ke arahku. Aku pun tak berani memindahkan tatapanku ke arah lain. Karena air mataku sudah menetes di pipi. Namun Bapak memohon kepada pihak sekolah agar aku tetap diberi kesempatan. Pihak sekolah menerima dan Bapak diminta melunasi tunggakan iuran SPP-ku bulan depan.
***
“Ahmad...!” Tiba-tiba saja suara Bu Guru mengagetkanku.
“Kenapa melamun?”
Aku tak menjawab, sadar tak memperhatikan pelajaran, kemudian aku menunduk.
“Ahmad, kamu kurus sekali, Kamu kenapa?!”
“Mikirin beras Bu..!” suara teriakan datang dari arah belakang, diikuti riuh tawa teman yang lain.
Aku tak menjawab pertanyaan Bu Guru, tak ada yang bisa kujawab. Aku hanya bisa diam, ya diam. Diam melihat Bapak tak punya pekerjaan. Diam melihat Abang duduk di pagi hari tak punya ongkos. Diam melihat adik-adiku putus sekolah dan diam melihat Emak menyapu lantai-melepit pakaian, dalam diamnya yang semakin diam.
-----------o0o-----------
Depok, 24 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H