Aksi penolakan penguburan  perawat oleh masyarakat RT 6 Dusun Sewakul, Kelurahan Bandarjo, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang  telah membuat viral dunia maya. Penolakan ini disebabkan oleh karena perawat tersebut meninggal setelah tertular Covid 19 dari pasien yang dirawatnya.
Kecaman terus berdatangan kepada warga terutama ketua RT yang memimpin langsung aksi penolakan tersebut.
Seseorang yang telah berjuang melawan virus corona hingga mengorbankan nyawa, ditolak untuk dikuburkan disamping makam ayahnya. Â Hati siapa yang tidak miris mendengarnya.
Hari ini kita diperlihatkan sebuah drama permintaan maaf dari ketua RT yang memimpin langsung aksi penolakan tersebut. Mungkin bagi para tenaga medis yang membaca berita tersebut terbersit sebuah kalimat "setelah viral baru minta maaf".
Mungkin permintaan maaf tersebut benar tulus dari dalam lubuk hati, akan tetapi apa gunanya? Jenasah tersebut pun tidak tahu jika tubuhnya ditolak dimakamkan oleh warga. Permintaan maaf dan tangisan penyesalan pak RT pun tidak didengar oleh jenasah tersebut.
Coba kita sedikit merenungkan didalam hati kita jika suatu saat Pak RT atau warganya datang kerumah sakit dan ditolak oleh para tenaga medis. Lalu setelah wafat karena tidak ditangani,  pihak  medis memohon maaf karena menolak dengan alasan bla.. bla... bla..Â
Untungnya para tenaga medis kita tidak seperti itu. Mereka memiliki kode etik dalam  melakukan tindakan penyelamatan kepada pasiennya. Dan saya yakin seluruh tenaga medis akan tetap bersikap profesional dan tetap berjuang menhadapi wabah ini.
Rakyat Indonesia benar-benar dalam krisis rasa empati kepada sesamanya. Saya coba mencari informasi apakah ada pengaruh pilpres tahun 2019 lalu dengan hilangnya rasa empati pada sesama ataupun golongan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Sayangnya belum ada penelitian ataupun riset yang dilakukan untuk hal tersebut.Â
Kasus yang terjadi didaerah jawa tengah pun terjadi didaerah lain. Termasuk didaerah saya. Mungkin kasusnya tidak begitu firal sehingga tidak menarik perhatian khalayak banyak.
Apa sih salah jenasah itu sampai harus ditolak? Sewaktu hidup mereka para penderita covid 19 diisolasi dari kehidupan sosialnya, setelah meninggal jenasah mereka pun diisolasi dan dianggap aib oleh masyarakat. Betapa berat tantangan mereka saat ini.
Dimana empati kita ? Dimana rasa kasih kita?
Cukup sudah... biarlah itu menjadi kejadian terakhir di Negri ini. Pemerintah sudah mengeluarkan aturan dan mekanisme dalam  pemakaman jenasah korban covid 19, kita ikuti saja mekanismenya.
Sebuah puisi menutup tulisan ini karya  Rako Prijanto yang sepertinya mampu menggambarkan perasaan para pasien positif  Covid 19, ODP, dan PDP yang telah terisolasi dalam kehidupan sosialnya.
***
Ku lari ke hutan, kemudian menyanyiku
Ku lari ke pantai, kemudian teriakku
Sepi-sepi dan sendiri
Aku benci
Aku ingin bingar,
Aku mau di pasar
Bosan Aku dengan penat,
Dan enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga jika Ku sendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai,
biar mengaduh sampai gaduh,
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih,
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya, biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan lalu belok ke pantai?
Tentang Seseorang, Rako Prijanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H